Dari kejauhan
bintang-bintang menyentuh tanah secara bergerombol. Membuat tanah kering
semakin menganga dan menjerit kesakitan. Tidak terdengar lagi ayunan yang berdecit sempurna. Semua
tertidur lelap bersama rumah-rumah yang kian rapuh. Mungkin tawa anak-anak
sedang bepergian ke galaksi lain. Kini hanya suara rintihan dan luka yang
tergeletak di sepanjang jalan. Pepohonan pun sedang berusaha merapihkan daunnya
yang mulai rontok, sedangkan Gunung berapi Zerukhan di Pulau Anthenius mulai
memuntahkan laharnya.
Dari kejauhan seseorang
datang dengan tergesa-gesa, “Tuan Rafael, Smith sudah datang. Ia berhasil
mengalahkan Patrick dan anak buahnya. Saya sudah mengantarkan dia ke kamarnya,”
ucap Jammy, seorang anak buah dari Rafael.
Rafael lantas beranjak
dari kursi merah miliknya itu. Ia tidak akan memaafkan dirinya sendiri bila
sesuatu terjadi pada anaknya. Dia tidak bisa melarang anaknya untuk berperang.
Tapi hati batu anaknya itu tak bisa dipecahkan begitu saja. Anaknya tetap
melanjutkan langkahnya untuk berperang.
Langkah Rafael
terhenti, matanya tergeletak di hadapan
anaknya yang terbaring di tempat tidur. Ia duduk disamping kanan anaknya yang
sudah tidak berdaya lagi. Hatinya pecah menjadi tujuh kepingan. Tangisan mengalir
di sela-sela nadinya, di bilik kanan dan serambi kiri jantungnya dan ada
sebagian yang mengalir di hatinya. Ia menyimpan tangisan dengan sangat rapi. Ada sedikit rasa sesal dan kesal tetapi ada
juga rasa bangga terhadap anaknya itu. Kini tangan kiri Rafael mendarat di dahi
Smith, lalu mengusapkan jarinya dengan sangat lembut.
“Ayah,” ucap Smith
sambil membuka matanya secara perlahan.
“Jangan terlalu banyak berbicara,
aku tak mau menangis di tempat ini,” ucap Rafael sambil menahan air mata yang
sudah siap menguyur pipinya.
Smith hanya bisa membuka setengah matanya dan memperlihatkan sedikit senyuman di wajahnya.
Dengan sangat memaksa ia pun mengeja kata demi kata, “Oh ya, Giblin… ia sedang berada di
laboratorium sekarang. Aku tidak bisa membawanya ke sini. Mmm… mungkin itu soal
perasaan. Kau bisa mengerti?”
Sebelum melanjutkan
percakapan mereka berdua, ledakan besar terjadi dan mengakibatkan gempa sesaat.
“Meteor berjatuhan lagi. Ini lebih banyak,” ucap Jammy. Jarak pusat ledakan
hanya berkisar 10 kilometer dari tempat mereka berpijak. Daratan bergoyang
dahsyat namun tak berlangsung lama.
“Jammy, Jack, Henry!
Bawa Smith pergi dari sini. Bawa dia ke kota Radivuz Palace. Semua orang sudah
berkumpul di sana. Ada sekitar lima rocket lagi yang belum meluncur ke bumi. Selamatkan
dia. Planet ini sudah tidak aman. Dan kau Rommy, ikut bersamaku!”
“Ayah, bagaimana
denganmu?” tanya Smith dengan sangat cemas.
“Aku masih harus
bertemu dengan Giblin dan melakukan sesuatu.”
“Tapi ayah…”
Rafael hanya
meninggalkan senyuman. Tanpa menunggu perkataan balasan dari Smith, Rafael
langsung berlari menuju mobilnya. Dia tidak ingin terlambat untuk menemui
Giblin sebelum sesuatu terjadi padanya. Kemudian Rommy menyalakan mesinya dan
langsung melaju dengan kecepatan penuh ke arah barat.
Dalam bayangan Rafael,
planet ini sudah tak lagi berbentuk. Tak ada lagi yang akan bisa hidup di
planet ini. Meteor itu seperti burung yang bebas di angkasa. Semuanya seperti
sedang bermain dengan gembira. Mobil Rafael terombang-ambing layaknya berlayar
melawan ombak. Namun mobilnya tetap melanjutkan perjalanan ke Laboratorium SLG
milik Giblin.
*****
“Gibliiin!” teriak
Rafael begitu sampai di ruangan Giblin.
“Hai Rafa, Sampaikan
salamku pada Smith. Jika ia tidak ada, mungkin aku sudah tiada,” ucap Giblin
dengan santai. Lalu ia bertanya lagi kepada Rafael. “Hmm.. Ada apa kau kesini?”
Rafael jalan mendekati
Giblin. Ia terheran-heran melihat sahabatnya itu sedang merebahkan tubuhnya di
kursi santai, “Apa… apa maksudmu? Apa… Apa yang kau lakukan?” tanya Rafael
terbata-bata melihat tingkah laku sahabatnya itu.
“Apa?” alis mata kiri
Giblin mengangkat ke atas, senyuman sombong terlempar dari bibir tebal khas
Amerika.
“Kamu duduk di kursi
santai tanpa menggunakan baju dan hanya menggunakan celana pendek. Sementara
diluar hujan meteor semakin merajalela. Apa kau sudah gila?” ucap Rafael dengan
suara yang agak keras.
“Hahaha.”
“Apa yang lucu?
Maksudmu aku yang gila?” Rafael mendekatkan wajahnya ke hadapan Giblin. “Ayolah,
kamu harus pergi dari sini! Planet ini
sudah tidak aman. Lihat di luar sana! Semua hancur, semua mati. Planet ini akan
kiamat. Tidak ada lagi yang bisa kita lakukan. Kita juga harus menjauhkan
planet ini dari bumi. Jika tidak, serpihan planet ini akan menghancurkan bumi. Aku tidak pernah mengerti apa jalan
pikiranmu,”
Aura panas mundul dari
tubuh Rafael. Ia seperti keledai yang sedang berbicara dengan batu raksasa.
Sebelum kilat menyambar, batu itu tidak akan sampai terbelah. Namun pengharapan
belum dikatakan mustahil. Ia tetap menunggu sahabatnya untuk keluar dari tempat
itu.
“Ini laboratorium
milikku. Seharusnya kau yang keluar dari sini!” Kali ini otot-otot Giblin sudah
mulai berkontraksi. Darah semakin mengalir kian cepat, seolah-olah tergesa-gesa
untuk sampai dikerongkongan. Matanya tidak bersahabat lagi, seakan ingin
menerkam harimau yang sedari tadi mencakar wajahnya.
“Tapi aku yang membuat
laboratorium ini!” bentak Rafael seakan tak mau kalah dengan serigala di
hadapanya.
“Hey… Tak pernahkah
kamu lihat pemandangan seindah ini? Lihat di luar sana bagai sakura di sore
hari. Semuanya tersenyum, menampakan kepakan sayapnya yang indah. Mereka menari
dan senantiasa menghiburku. Oh coba kau dengar ledakan di luar sana. Selama aku
hidup aku tak pernah mendengar lagu seindah itu,” ucap Giblin. Ia pun tak tahu
harus senang atau sedih dalam kondisi ini. ”Lihat itu! Lebih indah dari kembang
api,” ia mengacungkan telunjuknya ke arah jendela.
“Baik sudah cukup.
Sekarang ayo ikut aku!” Rafael menarik pergelangan tangan Giblin dengan sangat
kuat. Namun ternyata raga dan jiwa Giblin menolak sentuhan itu. Secara refleks,
tangan Giblin berkelit dan sebuah dorongan keras diletakan tepat di dada
Rafael. Rafael terhuyung ke belakang dan hampir terjatuh. Untung saja masih ada
kursi putar yang menyangga tubuhnya.
“Aku bahagia disini.
Lantas biarkan aku hidup dan mati di planet ini. Planet ini adalah ciptaan
kita. Ciptaan manusia. ” Giblin mendekati Rafael dengan kemarahan yang sudah
menjalar di sepanjang darahnya. Kemudian mulutnya kembali berbisa, “Pergi dari
sini sekarang juga!” kata-kata Giblin sedikit membuat sahabatnya terkena
gangguan otak sesaat.
Rafael terdiam sejenak
mendengar lontaran kata seperti itu. Otak dan hati seakan hancur dan berserakan
di laboratorium. Dia berusaha memungutnya lagi dan menyusunnya satu persatu.
Lalu ia mulai kembali mengeja kata demi kata, “Jika Septunus hancur, bumi akan
merasakan akibatnya. Aku harus menjauhkan Septunus dari bumi.” Rafael berusaha
mengangkat tubuhnya kembali tegak berdiri. “Aku yang salah. Hanya atas tangan
Tuhan lah planet bisa dikendalikan. Aku salah menciptakan ini.”
“Sudahlah, aku tak
percaya Tuhan. Kamu tahu itu sejak dulu. Bahkan aku ciptakan dewa dikalangan
penduduk Septunus,” suara Giblin lebih tegak dari semula. Seakan menggema
diseluruh planet Septunus. “Karna aku tidak percaya Tuhan, maka aku yang
kendalikan,” lanjutnya. Suara Giblin mengecil dan wajahnya tiba-tiba ramah
seketika.
*****
Tidak seperti biasanya,
langit menggambar Septunus dengan warna merah. Burung-burung berenang di
angkasa bersama mega dan halilintar. Sementara itu pepohonan kini tak lagi
merdu, suaranya serak. Hari sudah mulai menutup matanya. Danau dan rawa sudah
siap-siap untuk menarik selimutnya. Lahar-lahar panas sudah mulai membeku
meskipun suaranya terdengar sangat panas di telinga Giblin.
Giblin kembali
meletakan tubuhnya di kursi santai, sementara Rafael terdiam kaku berdiri di
samping kanan Giblin. Ia merasa seperti benda mati atau radio usang yang sudah
tak terpakai. Ia meletakan fokus matanya jauh ke depan menembus kaca jendela
berukuran sangat besar. Tak ada lagi yang berbicara. Hanya terdengar suara
cangkir kopi yang bergetar di atas meja kecil yang diletakan tepat disebelah
kiri Giblin. Selebihnya suara meteor jatuh dan gemuruh yang sangat dahsyat di
luar sana.
“Mau kopi hangat?”
tawaran Giblin itu sedikit meredakan emosi yang sempat memanas. Namun Rafael
tetap diam seribu bahasa menunggu kata-kata selanjutnya yang terlontar dari
mulut Giblin.
Giblin membiarkan kopi
hangatnya mengalir melalui tenggorokannya, lalu ia mulai menggerakan lidahnya
lagi, “Bulan September… bulan ini mengingatkan aku pada tanggal 27 September 2170.
Kita menemukan sebuah planet mendekati bumi. Jauh lebih dekat dari bulan. Lalu
kita memikirkan bagaimana caranya agar bisa sampai di planet itu.”
“Sudahlah, hentikan…”
ucap Rafael sambil memandang wajah Giblin.
Giblin menoleh dan
menatap mata Rafael begitu dalam. Matanya seolah-olah berkata, “Biarkan aku
bercerita.” Kemudian Rafael kembali
melempar pandangan matanya lurus ke depan. Ia berusaha mendengarkan perkataan
Giblin.
“Akhirnya kita mendarat
juga di planet ini. Lalu kita beri nama planet Septunus. Gunung yang berapi,
lautan yang luas, bunga yang cantik, serta gravitasi dan ozon yang meyakinkan
kita untuk bernafas. Sungguh tiruan bumi yang nyata.” Giblin diam sejenak. Ia
mengangkat kepalanya lalu mengalihkan matanya ke langit-langit. Ia berusaha
menata kembali kata-kata yang hendak diucapkan. Mulutnya mulai berkicau
kembali, “Dulu aku tidak percaya sepenuhnya kepadamu. Aku tidak yakin kamu
dapat membuat alat pengendali planet.”
“Aku tahu, itulah
sebabnya waktu itu aku sempat memukul wajahmu yang manis itu,” ucap Rafael
dengan wajah tanpa ekspresi. Kaca jendela yang ia tatap sedari tadi
menggambarkan hari kiamat yang nanti akan datang kepadanya. Ia terpaku di sana
tanpa tahu harus melakukan apa. Satu-satunya yang terlintas dalam benaknya
adalah bagaimana cara membawa temannya itu keluar dari Septunus.
“Jangan terlalu banyak berharap, kamu pikir
aku tidak akan membalasnya? Jangan khawatir aku pasti membalasnya, ” Giblin
menaikan badannya ke posisi duduk dan mengambil secangkir kopi yang sudah mulai
hangat.
Setelah mengatur nafas
dan emosinya yang sempat berantakan, Rafael kembali mengatakan apa yang ia
rasakan, “Aku menyesal mengajak sebagian dari makhluk bumi pindah ke planet
ini. Dulu aku pikir dengan adanya planet ini, manusia tidak akan lagi serakah,
tidak akan lagi berperang, dan mereka akan selalu damai. Bahkan Patrick,
sahabat kita saja ingin memiliki planet ini seutuhnya.”
“Apa yang kau harapkan
dari makhluk bumi seperti kita? Dimanapun tetap sama. Manusia tidak akan merasa
cukup meski sudah diberi kecukupan. Mereka memaksakan kehendak mereka sendiri.
Tak ada yang bisa menyatu dengan bumi. Tak ada yang bisa merasakan dan
menghargai hal-hal yang sebenarnya bisa menghidupinya.”
“Aku pikir jika bumi hancur, planet inilah
jawabannya. Sebuah masa depan yang cerah. Tapi justru bumi lah yang masih tetap
hidup. Aku terlalu munafik untuk meninggalkan bumi. Tempat ini palsu. Hanya
sementara.” Rafael memasukan tangannya ke saku celana jean berwarna biru
miliknya itu dan melanjutkan kata-katanya, “Aku sadar, jika bumi hancur maka
semuanya akan hancur. Semuanya akan kembali kepada Tuhan. Termasuk planet ini. Bumi
masih terlalu indah untuk ditinggalkan. Andai saja manusia lebih bisa mengerti
dan merawat apa yang dimilikinya dengan
baik.”
“Baik, sudah cukup
untuk hari ini. Antarkan aku pergi dari tempat ini,” ucap Giblin yang langsung
bergegas menghabiskan kopinya.
Mereka berdua berlari
keluar dari laboratorium. Rafael menemani temannya itu hingga pintu keluar.
Sepanjang langkah ia bertanya-tanya apa yang membuat Giblin merubah pikirannya
secepat itu. Entah ada malaikat apa yang bisa mengalahkan setan secepat itu. Atau
itu bukan malaikat melainkan bidadari yang mampu mengetuk hatinya? Otaknya
benar-benar bekerja keras untuk memikirkan hal itu. Tapi ia mengaggapnya
sebagai anugerah.
Derap langkah kaki
mereka tidak lagi terdengar saat sampai di ujung pintu keluar. “Aku lupa, ada yang tertinggal,” ucap Giblin.
Giblin memutar arah ke belakang secara cepat. Karena penasaran, Rafael pun memalingkan
tubuhnya ke belakang. Namun hal yang tidak disangka sebelumnya, pukulan keras
menghantam pipi Rafael. Ia pun terlontar jauh keluar pintu.
“Apa…apa yang kamu
lakukan?” ucap Rafael terbata-bata sambil memegangi pipnya yang lebam itu.
“Sudah kubilang, aku
akan membalasnya,” ucap Giblin sambil menatap Rafael dengan penuh kebencian. Ia
langsung menutup pintu laboratorium dan menuju ruang kendali planet.
Rafael bangkit lagi
dari jatuhnya. Ia langsung mendobrak pintu yang terbuat dari baja itu. Namun
aliran listrik memaksa tubuhnya kembali terpelanting dan tersungkur ke tanah.
“Sial, atas dasar apa aku membuat pintu baja beraliran listrik?” ia menggerutu
kepada dirinya sendiri.
“Gibliiin! Buka
pintunyaaa!” teriak Rafael. Ia pun kembali mendobrak pintu itu meskipun ia tahu
Giblin tidak akan mendengar perkataannya. Aliran listrik membuat tubuhnya
semakin kaku. Darahnya seperti menjadi es dan otaknya seakan tak lagi
berfungsi. Namun ia tetap mendobrak sekuat tenaga.
“Gibliiiin!” suaranya
habis. Matanya sudah tak sanggup berbicara. Yang terakhir ia rasakan, planet
bergerak sedikit-demi sedikit. Namun ia tetap mencoba berkali-kali mendobrak
pintunya. Ia merasa sudah tidak mungkin lagi pintu itu terbuka. Jantungnya
mulai berpacu dengan cepat karena aliran listrik yang sangat kuat berkali-kali
menyerangnya.
Suara samar-samar tiba-tiba
datang menghinggapi telinganya yang lumpuh. “Tuan… !!” teriak Rommy. Namun
tidak ada balasan dari mulut Rafael. Nampaknya bibir dan lidahnya mulai menyatu
dan membeku. Rommy langsung memasukannya ke dalam mobil. Lalu pergi dari tempat
itu.
Septunus kini bergerak
menjauh dari bumi. Wajahnya sudah hancur lebur bahkan lebih rusak daripada
bumi. Ledakan besar pun terjadi. Bumi bergetar sangat hebat, sementara suara
ledakannya bergetar disetiap telinga makhluk bumi. Namun bumi tetap aman karena
Septunus hancur bersama Giblin yang melakukan tugasnya dengan baik.
Surakarta,
25 April 2013
(Pernah dimuat di buku kumpulan cerpen dan puisi Kukenang Wajahmu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar