Selasa, 13 Mei 2014

September di Septunus




Oleh: Michelia Alba

Dari kejauhan bintang-bintang menyentuh tanah secara bergerombol. Membuat tanah kering semakin menganga dan menjerit kesakitan. Tidak terdengar  lagi ayunan yang berdecit sempurna. Semua tertidur lelap bersama rumah-rumah yang kian rapuh. Mungkin tawa anak-anak sedang bepergian ke galaksi lain. Kini hanya suara rintihan dan luka yang tergeletak di sepanjang jalan. Pepohonan pun sedang berusaha merapihkan daunnya yang mulai rontok, sedangkan Gunung berapi Zerukhan di Pulau Anthenius mulai memuntahkan laharnya.
Dari kejauhan seseorang datang dengan tergesa-gesa, “Tuan Rafael, Smith sudah datang. Ia berhasil mengalahkan Patrick dan anak buahnya. Saya sudah mengantarkan dia ke kamarnya,” ucap Jammy, seorang anak buah dari Rafael.
Rafael lantas beranjak dari kursi merah miliknya itu. Ia tidak akan memaafkan dirinya sendiri bila sesuatu terjadi pada anaknya. Dia tidak bisa melarang anaknya untuk berperang. Tapi hati batu anaknya itu tak bisa dipecahkan begitu saja. Anaknya tetap melanjutkan langkahnya untuk berperang.
Langkah Rafael terhenti,  matanya tergeletak di hadapan anaknya yang terbaring di tempat tidur. Ia duduk disamping kanan anaknya yang sudah tidak berdaya lagi. Hatinya pecah menjadi tujuh kepingan. Tangisan mengalir di sela-sela nadinya, di bilik kanan dan serambi kiri jantungnya dan ada sebagian yang mengalir di hatinya. Ia menyimpan tangisan dengan sangat rapi.  Ada sedikit rasa sesal dan kesal tetapi ada juga rasa bangga terhadap anaknya itu. Kini tangan kiri Rafael mendarat di dahi Smith, lalu mengusapkan jarinya dengan sangat lembut.
“Ayah,” ucap Smith sambil membuka matanya secara perlahan.
“Jangan terlalu banyak berbicara, aku tak mau menangis di tempat ini,” ucap Rafael sambil menahan air mata yang sudah siap menguyur pipinya.
 Smith hanya bisa membuka setengah matanya dan  memperlihatkan sedikit senyuman di wajahnya. Dengan sangat memaksa ia pun mengeja kata demi kata,  “Oh ya, Giblin… ia sedang berada di laboratorium sekarang. Aku tidak bisa membawanya ke sini. Mmm… mungkin itu soal perasaan. Kau bisa mengerti?”
Sebelum melanjutkan percakapan mereka berdua, ledakan besar terjadi dan mengakibatkan gempa sesaat. “Meteor berjatuhan lagi. Ini lebih banyak,” ucap Jammy. Jarak pusat ledakan hanya berkisar 10 kilometer dari tempat mereka berpijak. Daratan bergoyang dahsyat namun tak berlangsung lama.
“Jammy, Jack, Henry! Bawa Smith pergi dari sini. Bawa dia ke kota Radivuz Palace. Semua orang sudah berkumpul di sana. Ada sekitar lima rocket lagi yang belum meluncur ke bumi. Selamatkan dia. Planet ini sudah tidak aman. Dan kau Rommy, ikut bersamaku!”
“Ayah, bagaimana denganmu?” tanya Smith dengan sangat cemas.
“Aku masih harus bertemu dengan Giblin dan melakukan sesuatu.”
“Tapi ayah…”
Rafael hanya meninggalkan senyuman. Tanpa menunggu perkataan balasan dari Smith, Rafael langsung berlari menuju mobilnya. Dia tidak ingin terlambat untuk menemui Giblin sebelum sesuatu terjadi padanya. Kemudian Rommy menyalakan mesinya dan langsung melaju dengan kecepatan penuh ke arah barat.  
Dalam bayangan Rafael, planet ini sudah tak lagi berbentuk. Tak ada lagi yang akan bisa hidup di planet ini. Meteor itu seperti burung yang bebas di angkasa. Semuanya seperti sedang bermain dengan gembira. Mobil Rafael terombang-ambing layaknya berlayar melawan ombak. Namun mobilnya tetap melanjutkan perjalanan ke Laboratorium SLG milik Giblin.

*****

“Gibliiin!” teriak Rafael begitu sampai di ruangan Giblin.
“Hai Rafa, Sampaikan salamku pada Smith. Jika ia tidak ada, mungkin aku sudah tiada,” ucap Giblin dengan santai. Lalu ia bertanya lagi kepada Rafael. “Hmm.. Ada apa kau kesini?”
Rafael jalan mendekati Giblin. Ia terheran-heran melihat sahabatnya itu sedang merebahkan tubuhnya di kursi santai, “Apa… apa maksudmu? Apa… Apa yang kau lakukan?” tanya Rafael terbata-bata melihat tingkah laku sahabatnya itu.
“Apa?” alis mata kiri Giblin mengangkat ke atas, senyuman sombong terlempar dari bibir tebal khas Amerika.
“Kamu duduk di kursi santai tanpa menggunakan baju dan hanya menggunakan celana pendek. Sementara diluar hujan meteor semakin merajalela. Apa kau sudah gila?” ucap Rafael dengan suara yang agak keras.
“Hahaha.”
“Apa yang lucu? Maksudmu aku yang gila?” Rafael mendekatkan wajahnya ke hadapan Giblin. “Ayolah,  kamu harus pergi dari sini! Planet ini sudah tidak aman. Lihat di luar sana! Semua hancur, semua mati. Planet ini akan kiamat. Tidak ada lagi yang bisa kita lakukan. Kita juga harus menjauhkan planet ini dari bumi. Jika tidak, serpihan planet ini akan menghancurkan bumi.  Aku tidak pernah mengerti apa jalan pikiranmu,”
Aura panas mundul dari tubuh Rafael. Ia seperti keledai yang sedang berbicara dengan batu raksasa. Sebelum kilat menyambar, batu itu tidak akan sampai terbelah. Namun pengharapan belum dikatakan mustahil. Ia tetap menunggu sahabatnya untuk keluar dari tempat itu.
“Ini laboratorium milikku. Seharusnya kau yang keluar dari sini!” Kali ini otot-otot Giblin sudah mulai berkontraksi. Darah semakin mengalir kian cepat, seolah-olah tergesa-gesa untuk sampai dikerongkongan. Matanya tidak bersahabat lagi, seakan ingin menerkam harimau yang sedari tadi mencakar wajahnya.
“Tapi aku yang membuat laboratorium ini!” bentak Rafael seakan tak mau kalah dengan serigala di hadapanya.
“Hey… Tak pernahkah kamu lihat pemandangan seindah ini? Lihat di luar sana bagai sakura di sore hari. Semuanya tersenyum, menampakan kepakan sayapnya yang indah. Mereka menari dan senantiasa menghiburku. Oh coba kau dengar ledakan di luar sana. Selama aku hidup aku tak pernah mendengar lagu seindah itu,” ucap Giblin. Ia pun tak tahu harus senang atau sedih dalam kondisi ini. ”Lihat itu! Lebih indah dari kembang api,” ia mengacungkan telunjuknya ke arah jendela.
“Baik sudah cukup. Sekarang ayo ikut aku!” Rafael menarik pergelangan tangan Giblin dengan sangat kuat. Namun ternyata raga dan jiwa Giblin menolak sentuhan itu. Secara refleks, tangan Giblin berkelit dan sebuah dorongan keras diletakan tepat di dada Rafael. Rafael terhuyung ke belakang dan hampir terjatuh. Untung saja masih ada kursi putar yang menyangga tubuhnya.
“Aku bahagia disini. Lantas biarkan aku hidup dan mati di planet ini. Planet ini adalah ciptaan kita. Ciptaan manusia. ” Giblin mendekati Rafael dengan kemarahan yang sudah menjalar di sepanjang darahnya. Kemudian mulutnya kembali berbisa, “Pergi dari sini sekarang juga!” kata-kata Giblin sedikit membuat sahabatnya terkena gangguan otak sesaat.
Rafael terdiam sejenak mendengar lontaran kata seperti itu. Otak dan hati seakan hancur dan berserakan di laboratorium. Dia berusaha memungutnya lagi dan menyusunnya satu persatu. Lalu ia mulai kembali mengeja kata demi kata, “Jika Septunus hancur, bumi akan merasakan akibatnya. Aku harus menjauhkan Septunus dari bumi.” Rafael berusaha mengangkat tubuhnya kembali tegak berdiri. “Aku yang salah. Hanya atas tangan Tuhan lah planet bisa dikendalikan. Aku salah menciptakan ini.”
“Sudahlah, aku tak percaya Tuhan. Kamu tahu itu sejak dulu. Bahkan aku ciptakan dewa dikalangan penduduk Septunus,” suara Giblin lebih tegak dari semula. Seakan menggema diseluruh planet Septunus. “Karna aku tidak percaya Tuhan, maka aku yang kendalikan,” lanjutnya. Suara Giblin mengecil dan wajahnya tiba-tiba ramah seketika.

*****

Tidak seperti biasanya, langit menggambar Septunus dengan warna merah. Burung-burung berenang di angkasa bersama mega dan halilintar. Sementara itu pepohonan kini tak lagi merdu, suaranya serak. Hari sudah mulai menutup matanya. Danau dan rawa sudah siap-siap untuk menarik selimutnya. Lahar-lahar panas sudah mulai membeku meskipun suaranya terdengar sangat panas di telinga Giblin.
Giblin kembali meletakan tubuhnya di kursi santai, sementara Rafael terdiam kaku berdiri di samping kanan Giblin. Ia merasa seperti benda mati atau radio usang yang sudah tak terpakai. Ia meletakan fokus matanya jauh ke depan menembus kaca jendela berukuran sangat besar. Tak ada lagi yang berbicara. Hanya terdengar suara cangkir kopi yang bergetar di atas meja kecil yang diletakan tepat disebelah kiri Giblin. Selebihnya suara meteor jatuh dan gemuruh yang sangat dahsyat di luar sana.
“Mau kopi hangat?” tawaran Giblin itu sedikit meredakan emosi yang sempat memanas. Namun Rafael tetap diam seribu bahasa menunggu kata-kata selanjutnya yang terlontar dari mulut Giblin.
Giblin membiarkan kopi hangatnya mengalir melalui tenggorokannya, lalu ia mulai menggerakan lidahnya lagi, “Bulan September… bulan ini mengingatkan aku pada tanggal 27 September 2170. Kita menemukan sebuah planet mendekati bumi. Jauh lebih dekat dari bulan. Lalu kita memikirkan bagaimana caranya agar bisa sampai di planet itu.”
“Sudahlah, hentikan…” ucap Rafael sambil memandang wajah Giblin.
Giblin menoleh dan menatap mata Rafael begitu dalam. Matanya seolah-olah berkata, “Biarkan aku bercerita.” Kemudian Rafael  kembali melempar pandangan matanya lurus ke depan. Ia berusaha mendengarkan perkataan Giblin.
“Akhirnya kita mendarat juga di planet ini. Lalu kita beri nama planet Septunus. Gunung yang berapi, lautan yang luas, bunga yang cantik, serta gravitasi dan ozon yang meyakinkan kita untuk bernafas. Sungguh tiruan bumi yang nyata.” Giblin diam sejenak. Ia mengangkat kepalanya lalu mengalihkan matanya ke langit-langit. Ia berusaha menata kembali kata-kata yang hendak diucapkan. Mulutnya mulai berkicau kembali, “Dulu aku tidak percaya sepenuhnya kepadamu. Aku tidak yakin kamu dapat membuat alat pengendali planet.”
“Aku tahu, itulah sebabnya waktu itu aku sempat memukul wajahmu yang manis itu,” ucap Rafael dengan wajah tanpa ekspresi. Kaca jendela yang ia tatap sedari tadi menggambarkan hari kiamat yang nanti akan datang kepadanya. Ia terpaku di sana tanpa tahu harus melakukan apa. Satu-satunya yang terlintas dalam benaknya adalah bagaimana cara membawa temannya itu keluar dari Septunus.
 “Jangan terlalu banyak berharap, kamu pikir aku tidak akan membalasnya? Jangan khawatir aku pasti membalasnya, ” Giblin menaikan badannya ke posisi duduk dan mengambil secangkir kopi yang sudah mulai hangat.
Setelah mengatur nafas dan emosinya yang sempat berantakan, Rafael kembali mengatakan apa yang ia rasakan, “Aku menyesal mengajak sebagian dari makhluk bumi pindah ke planet ini. Dulu aku pikir dengan adanya planet ini, manusia tidak akan lagi serakah, tidak akan lagi berperang, dan mereka akan selalu damai. Bahkan Patrick, sahabat kita saja ingin memiliki planet ini seutuhnya.”
“Apa yang kau harapkan dari makhluk bumi seperti kita? Dimanapun tetap sama. Manusia tidak akan merasa cukup meski sudah diberi kecukupan. Mereka memaksakan kehendak mereka sendiri. Tak ada yang bisa menyatu dengan bumi. Tak ada yang bisa merasakan dan menghargai hal-hal yang sebenarnya bisa menghidupinya.”
 “Aku pikir jika bumi hancur, planet inilah jawabannya. Sebuah masa depan yang cerah. Tapi justru bumi lah yang masih tetap hidup. Aku terlalu munafik untuk meninggalkan bumi. Tempat ini palsu. Hanya sementara.” Rafael memasukan tangannya ke saku celana jean berwarna biru miliknya itu dan melanjutkan kata-katanya, “Aku sadar, jika bumi hancur maka semuanya akan hancur. Semuanya akan kembali kepada Tuhan. Termasuk planet ini. Bumi masih terlalu indah untuk ditinggalkan. Andai saja manusia lebih bisa mengerti dan  merawat apa yang dimilikinya dengan baik.”
“Baik, sudah cukup untuk hari ini. Antarkan aku pergi dari tempat ini,” ucap Giblin yang langsung bergegas menghabiskan kopinya.
Mereka berdua berlari keluar dari laboratorium. Rafael menemani temannya itu hingga pintu keluar. Sepanjang langkah ia bertanya-tanya apa yang membuat Giblin merubah pikirannya secepat itu. Entah ada malaikat apa yang bisa mengalahkan setan secepat itu. Atau itu bukan malaikat melainkan bidadari yang mampu mengetuk hatinya? Otaknya benar-benar bekerja keras untuk memikirkan hal itu. Tapi ia mengaggapnya sebagai anugerah.
Derap langkah kaki mereka tidak lagi terdengar saat sampai di ujung pintu keluar.  “Aku lupa, ada yang tertinggal,” ucap Giblin. Giblin memutar arah ke belakang secara cepat. Karena penasaran, Rafael pun memalingkan tubuhnya ke belakang. Namun hal yang tidak disangka sebelumnya, pukulan keras menghantam pipi Rafael. Ia pun terlontar jauh keluar pintu.
“Apa…apa yang kamu lakukan?” ucap Rafael terbata-bata sambil memegangi pipnya yang lebam itu.
“Sudah kubilang, aku akan membalasnya,” ucap Giblin sambil menatap Rafael dengan penuh kebencian. Ia langsung menutup pintu laboratorium dan menuju ruang kendali planet.
Rafael bangkit lagi dari jatuhnya. Ia langsung mendobrak pintu yang terbuat dari baja itu. Namun aliran listrik memaksa tubuhnya kembali terpelanting dan tersungkur ke tanah. “Sial, atas dasar apa aku membuat pintu baja beraliran listrik?” ia menggerutu kepada dirinya sendiri.
“Gibliiin! Buka pintunyaaa!” teriak Rafael. Ia pun kembali mendobrak pintu itu meskipun ia tahu Giblin tidak akan mendengar perkataannya. Aliran listrik membuat tubuhnya semakin kaku. Darahnya seperti menjadi es dan otaknya seakan tak lagi berfungsi. Namun ia tetap mendobrak sekuat tenaga.
“Gibliiiin!” suaranya habis. Matanya sudah tak sanggup berbicara. Yang terakhir ia rasakan, planet bergerak sedikit-demi sedikit. Namun ia tetap mencoba berkali-kali mendobrak pintunya. Ia merasa sudah tidak mungkin lagi pintu itu terbuka. Jantungnya mulai berpacu dengan cepat karena aliran listrik yang sangat kuat berkali-kali menyerangnya.
Suara samar-samar tiba-tiba datang menghinggapi telinganya yang lumpuh. “Tuan… !!” teriak Rommy. Namun tidak ada balasan dari mulut Rafael. Nampaknya bibir dan lidahnya mulai menyatu dan membeku. Rommy langsung memasukannya ke dalam mobil. Lalu pergi dari tempat itu.
Septunus kini bergerak menjauh dari bumi. Wajahnya sudah hancur lebur bahkan lebih rusak daripada bumi. Ledakan besar pun terjadi. Bumi bergetar sangat hebat, sementara suara ledakannya bergetar disetiap telinga makhluk bumi. Namun bumi tetap aman karena Septunus hancur bersama Giblin yang melakukan tugasnya dengan baik.

Surakarta, 25 April 2013
 (Pernah dimuat di buku kumpulan cerpen dan puisi Kukenang Wajahmu)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar