Jumat, 07 November 2014

Mulut Seorang Pelajar


oleh: Michelia Alba

 “Tidak mungkin. Pasti ada di suatu tempat. Aku yakin aku meninggalkannya di suatu tempat. Entah kapan. Entah dimana.” Suara batin itu hanya mampu menggesek dinding hati, rongga hidung, dan langit-langit mulut Sueb. Kemudian, telapak tangannya menggumpal seperti batu, uratnya ditarik hingga menegang, keringatnya pun mencair di permukaan kulitnya, dan otaknya berputar 180 derajat. Namun sayang, semua itu percuma. Suara Sueb menghilang seketika. Entah kapan. Entah dimana.
Sueb menggeledah barang-barang yang berada di kamar kostnya. Dalam sekejap kamar yang berlapis perak dan emas itu pun berubah menjadi berantakan. Buku-buku sejarah berdampingan dengan pakaian dalam, komputer terbungkus dengan handuk bekas mandi, dan entah bagaimana caranya gergaji karatan pun terbaring bebas di kamanya. Keadaan itu semakin membuatnya stres dan depresi. Dia benar-benar tidak menemukan suaranya.
Sore hari, saat nyanyian gagak terkadang mencabik-cabik perasaannya, Sueb menemui salah satu sahabatnya. Dengan tergopoh-gopoh membawa dua puluh buku di dalam tasnya, dia menerobos sunyi yang memaksanya untuk mundur. Tampaknya kali ini Sueb sungguh geram dengan alam dan waktu yang telah mengutuknya menjadi bisu. Langkahnya tidak bisa dihentikan.
“Tumben kamu datang ke sini. Apakah kamu sudah mau mendengarkanku?” ucap Ben, sahabat Sueb, dengan senyum yang sedikit miring.
Kurang dari sedetik mata Sueb menatap Ben. Kemudian matanya menoleh ke pintu, jendela, pakaian, celana atau apapun di sekitarnya. Sueb tidak bisa memaksakan matanya melakukan kontak dengan orang lain.
Tiba-tiba sunyi datang lagi menyelinap di antara mereka berdua. Tak ada yang berbicara sedikit pun. Sueb mengutuk dalam hati apabila Ben tidak mengizinkannya masuk, maka saat pagi datang Sueb akan langsung menghajarnya.
“Baiklah, silahkan masuk,” ucap Ben seolah-olah mendengar kutukan batin Sueb. “Sebentar akan kubuatkan kopi panas untukmu.”
Sueb termenung lama di atas sofa bermotif batik sembari membayangkan kesalahan apa yang pernah dilakukannya pada masa lalu. Ia bergerak perlahan menuju cermin yang terletak di dinding ruang tamu. Korneanya mulai retak karena ada butiran air yang berkali-kali mendobrak ingin keluar dan berteriak. Penyesalan seakan merampas otaknya begitu saja.
Tiga tahun sudah Sueb menjadi mahasiswa. Ambisinya memang sudah dipupuk dari pertama kali menginjakan kakinya di kampus untuk menjadi mahasiswa terbaik. Cita-citanya yang kuat dan janjinya kepada orang tua yang tinggal di tempat jauh membuat Sueb semakin serius untuk menekuni bidang yang dia ambil.
Dia sudah terbiasa melahap buku-buku tebal penuh teori dan analisis. Pergelangan tangannya sudah menghitam akibat sering mengetik di atas keyboard. Permasalahan apapun dalam makalah tidak ada satupun yang tidak bisa dia lewati. Mungkin pencernaannya haus dengan ilmu pengetahuan. Saat sakitpun entah kenapa hanya buku yang dapat menolongnya. Buku adalah obat paling baik baginya.
Ben dulu sering sekali mengajak Sueb untuk keluar dari kamarnya yang sudah tak terurus itu. Baik untuk berkumpul dengan suatu organisasi atau sekedar melepas penat dengan pergi mendaki gunung. Semua percuma saja. Sueb hanya ingin mempunyai satu tujuan dalam hidupnya. Adalah menjadi mahasiswa paling pintar dan sukses.
Berkali-kali Ben mengingatkan Sueb agar tidak terus-terusan berada di depan komputernya atau di hadapan bukunya. Itu juga percuma tidak ada satu pun ucapan Ben yang hinggap di pemikiran Sueb. Dengan nada bercanda, Ben mengatakan “Kesuksesan itu seperti takdir, bahkan orang bodoh pun bisa menjadi sukses. Jangan terlalu lama terhipnotis dengan buku. Aplikasikan segera ke dunia nyata. Lama-lama jika kau tidak mendengar ucapanku, telingamu itu akan mengering dan membusuk. Setelah itu, telingamu hanya akan bisa mendengar bunyi yang frekuensinya di bawah 20 Hz. Dengan kata lain, kau hanya bisa berbicara dengan bunyi yang frekuensinya di bawah 20 Hz. Dan saat itu pula, aku tidak akan pernah mendengar ucapanmu. Kau paham?”
“Kalimat itu terdengar seperti kutukan. Tetapi tidak mungkin. Mana ada teori semacam itu. Kau gila!” ucap Sueb yang matanya masih tetap terpaku dengan bukunya.
“Mmm.. Mungkin teori itu tidak ada di dalam buku. Itu ada di dunia nyata.”
Sueb melirik tajam.
“Oke, aku yang gila. Sekarang aku harus pulang. Sampai jumpa lagi. Kalau kau berubah pikiran, datanglah padaku. Kita akan bersenang-senang sejenak.” Ben mendekatkan wajahnya ke hadapan Sueb, “Sebelum terlambat.”
Setelah itu, Ben tidak pernah lagi membujuk Sueb untuk keluar. Sueb hidup dengan kesendiriannya. Melompat dari satu tempat ke tempat lain yang hanya ada buku di dalamnya. Lapar dan dahaganya sudah terpenuhi hanya dengan membaca buku. Di tambah dengan internet yang kini sebagai hidangan penutupnya. Sueb nyaris tak pernah berbicara, mendengar, dan menatap orang lain.
Sampai pada suatu hari ketika dia sedang memesan tiket kereta untuk pulang ke kampungnya, dia sudah kehilangan suaranya. Petugas stasiun kebingungan melihat tingkah Sueb yang hanya menggerak-gerakan mulutnya tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Sueb pun langsung bergegas menaiki motornya untuk kembali pulang ke kostannya. Dia mencari suaranya di dalam buku. Setiap halaman dibolak-balik dengan cepat.
Setelah tiga jam berkutat dengan ratusan buku, dia kembali ke stasiun. Sama seperti penyakit biasa yang menyerangnya, dia berharap membaca buku dapat mengembalikan suaranya yang hilang. Petugas stasiun pun lagi-lagi terheran-heran saat mendapati mulut Sueb yang bergerak tanpa menimbulkan suara. Sesudah berkali-kali pulang pergi dari kostan ke stasiun, akhirnya petugas stasiun menyarankan Sueb untuk pergi ke dokter. Namun Sueb menolak. Batinnya berkecamuk, “Ini pasti kutukan!”
“Kopi sudah datang.” Ben terdiam heran mengamati Sueb yang sedang memandang cemin, “Ada apa?”
Sueb menerima kopi pemberian Ben. Dengan tangan yang gemetar dan perasaan yang berat, Sueb mengambil gelas dengan kopi panas hangat di dalamnya. Ia dekatkan kopi itu ke hadapan cermin. Lalu, dia mengarahkan tangan kanannya dan mulai melukis kata-kata di permukaan cermin yang sudah terkena uap. “Sudah terlambat,” itulah tulisannya.
Ben terdiam cukup lama dan mencoba memahami situasi. Kakinya mulai berjalan perlahan mendekati kursi ruang tamu. Direbahkanlah tubuhnya itu sambil mengambil rokok di atas meja. Dalam sekejap asap sudah mulai memadati ruang tamu.
“Aku tidak percaya. Aku benar-benar telah mengutukmu.”
Malam itu menjadi lebih pekat daripada malam yang sebelumnya. Sueb pun berusaha berteriak seakan memanggil petir untuk bergemuruh. Tangannya berkali-kali menghantam cermin. Mulut Sueb menganga terus-menerus namun Ben hanya dapat mendengar pecahan cermin. Jika ada seseorang yang dapat melihat, hanya nyamuk yang menyingkir dari tempat itu. Mungkin benar, Sueb hanya bisa bersuara dengan frekuensi di bawah 20 Hz. Tidak lebih.
Ratapan Sueb tak pernah berhenti hingga malam sudah berada di tengah bumi. Dia sibuk mencari tahu di dalam buku. Suaranya tidak pernah ditemukan di dalamnya. Dia pun menjelajah ke kamar Ben. Hasilnya sama saja. Tidak ada buku yang dapat membuat suaranya kembali. Tubuhnya dibanting berkali-kali, kepalanya diremas, dan mulutnya dipukuli hingga dia mulai kelelahan. Mulut Sueb menganga dan meronta-ronta di hadapan Ben meminta belas kasih. Sementara itu, Ben hanya memandang lurus tanpa berkedip seakan Sueb hanyalah hologram. Sesekali asap rokok yang mengepul menahan air yang hendak jatuh dari matanya.

*****

Satu bulan setelah malam itu, Ben terus mengajak Sueb untuk bercakap-cakap bersama. Terkadang Sueb diajak untuk berkunjung ke dalam sebuah organisasi. Setidaknya usaha itu mengalami perkembangan. Sueb mulai bisa tersenyum kembali meskipun masih mengucapkan kalimat dengan terbata-bata.
Hanya saja, ketagihannya membaca buku tidak dapat ditolerir lagi. Dia bahkan membiarkan lambungnya kosong hanya untuk menghabiskan waktu bersama bukunya itu. Makanan yang dibelikan Ben di warung depan pun hanya dijamah beberapa kali saja oleh Sueb.
Ben benar-benar tidak menyangka kalau perkataannya itu benar. Rasa bersalah pun terkadang menyelimuti mimpi buruknya. Meskipun dengan cara berkumpul dengan orang banyak sudah menujukan kemajuan bagi Sueb, Ben merasa ada yang kurang dari semua usaha itu. Ben akhirnya mengantarkan Sueb untuk pulang ke kampungnya. Siapa tahu dengan mengajaknya pulang ada secercah harapan baru.
Sebelum berangkat, Ben menukar buku-buku Sueb yang ada di dalam tasnya dengan pakaian tanpa diketahui Sueb. Benar saja, selama perjalanan Sueb mengalami kegelisahan yang luar biasa tanpa buku. Dia merasa sangat ketakutan. Dia tidak berani menatap orang di sekitarnya. Sueb berkali-kali mengutuk sahabatnya itu di dalam hati. Hingga akhirnya Sueb menghabiskan perjalanannya di dalam toilet kereta. Para penumpang lain pun terpaksa menggunakan toilet lain untuk buang air setelah Ben memberikan penjelasan pada mereka.
Langit sudah menjadi jingga ketika Sueb sampai di kampungnya. Ben menyampaikan apa yang terjadi pada kedua orang tua Sueb. Orang tuanya bergeming lemas tak berdaya.
“Ini bukan semata-mata salahmu. Kamilah yang memulai. Kami bahkan tidak sempat melihat pertumbuhanmu,” Ibunya Sueb kehilangan kata-katanya. Tangisannya meledak tanpa bisa dijinakan.
Sueb hanya menunduk di hadapan orang tuanya dengan tatapan yang kebingungan. Ayahnya Sueb berusaha melanjutkan perkataan istrinya itu, “Sejak SD kami sudah menyekolahkanmu di luar kota. Kami yang berjuang di sini, dan kau berjuang di sana. Kami titipkan kamu kepada Bibi Yati. Namun setelah beliau meninggal, kini kamu hidup sendiri. Kami tidak  bisa mengurusmu dan mendidikmu. Kami memang orang tua yang tidak becus.”
“Maafkan Ibu, Sueb.” Ibunya Sueb langsung memeluk tubuh Sueb. “Ibu tidak ingin hal ini terjadi padamu. Jika saja ibu selalu ada di sampingmu, mungkin hal ini tidak akan pernah terjadi. Bahkan menjadi bisu pun Ibu tidak tahu. Ibu menyesal. Ibu minta maaf. Ibu merindukanmu, Sueb.”
“Aku juga merindukanmu, Ibu.”
“Hah?” Ibunya Sueb melepas pelukannya.
“Iya. Maksudku, maafkan aku juga Ibu. Aku tidak bisa mengurus diriku sendiri. Aku bukanlah anak yang baik.”
“Bukan itu. Bukan itu maksud Ibu. Kamu bisa bicara lagi?”
“Hah?”

Surakarta, 17 September 2014
(Juara I Lomba Safik Saseru UNS 2014)

Kamis, 06 November 2014

Hai Dosen

Hai dosen
Jangan lupa menggauli istrimu
sebagaimana yang tertera pada perjanjian pernikahan

Hai dosen
Jangan lupa menggauli istrimu
Hidupmu penuh teori
Jangan-jangan alatmu itu hanya sekedar kata-kata
Dan kau suruh istrimu untuk merangkumnya

Hai dosen
Jangan lupa menggauli istrimu
Agar tidak digauli kucingku

Hai mahasiswa
Jangan lupa untuk bernafas
Jangan-jangan kau ingin menjadi dosen yang lupa istri

Hai mahasiswa
Jangan kau gauli istri dosenmu
Nanti dia ingat kalau sudah punya istri

Untukmu yang seharusnya ingat siapa yang mencintaimu

Senin, 03 November 2014

Yasmin Karam di Benua Biru


oleh: Michelia Alba

Empat belas tahun yang lalu, aku masih melihat Yoga seperti benih yang sedang berlari-larian di depan halaman rumahku. Sesekali, dia ajak adiknya bermain bola. Suaranya yang riang membuat bibir tipisku mengembang menuai senyuman. Kemudian, tanpa kusadari benih itu mulai tumbuh merangkak menuju matahari terbit. Aromanya sudah seperti yasmin. Namun, entah mengapa suara lantangnya mengubah tahun-tahunku bersamanya. Mengubah semua alam menjadi haru dan gelap. Mengubah keadaan menjadi 180 derajat.
“Aku mencintainya dan itu urusanku. Aku yang menjalaninya. Tidak ada yang lain selain dia Ibu. Dia yang terbaik untukku,” kata Yoga dengan suaranya yang meninggi bahkan membuat air di dalam gelasku bergelombang. Untung saja Chiko tidak melihat kakaknya seperti ini. Jika dia berada di sini, mungkin dia akan langsung membelaku. Namun yang aku takutkan suatu saat nanti Chiko akan menuruti jejak kakaknya.
Air mata yang hendak membasahi pipiku dapat kutahan untuk sementara waktu. Aku berusaha tegar menghadapi amarah anakku yang satu ini. Tetanggaku bilang usianya memang sudah tepat untuk menjadi seorang pembangkang.
“Ibu yakin, dia bukan wanita yang tepat untukmu. Ibu tahu yang terbaik untukmu. Lepaskan dia. Percayalah padaku, Yoga.” Suaraku pelan karena air mata yang tersangkut dalam tenggorokanku. Hatiku sudah tidak lagi padat berisi, kulitnya sudah berongga-rongga akibat bentakan anakku yang setiap hari masuk melalui telingaku.
“Ibu tahu apa yang terbaik untukku? Memangnya siapa Ibu? Lebih baik Ibu urus saja Chiko yang di dalam darahnya mengalir darah Ibu. Bukan aku.” Tanpa merendahkan suaranya sedikitpun, Yoga terlihat sedang membereskan pakaian dan tasnya.
“Ibu memang bukan Ibu kandung kamu. Tapi selama empat belas tahun, Ibu yang mengurusi kamu. Ibu yang selalu menyayangi kamu seperti anak Ibu sendiri. Ibu tahu siapa kamu.”
“Ibu tahu siapa aku? Seberapa besar ibu mengetahui aku? Kita tidak sedarah.”
“Kamu cemburu pada adikmu?”
“Tidak.”
“Lantas apa? Bagi Ibu, sedarah atau tidak itu bukanlah sesuatu yang penting. Faktor biologis tidak berpengaruh pada kasih sayang. Kasih sayang seorang ibu sangat murni dan tidak ada kaitannya dengan darah. Semua ibu memiliki surga di kakinya. Darah adalah bentuk lahir yang merupakan simbol seorang anak di mata manusia lainnya, sedangkan surga dalam kaki ibu adalah simbol sebuah keagungan seorang wanita di hadapan Tuhan. Kasih sayang terkait dengan batin yang ada dalam diri manusia. Naluri seorang ibu bukan mengalir dalam darah tetapi mengalir dari setiap kasih sayang yang tercurahkan pada anaknya.”
“Omong kosong,” ucap Yoga.
“Apa ini yang diajarkan oleh orang Eropa? Apakah ini yang kau dapat dari pengalamanmu berada di kapal pesiar?”
Yoga membawa tasnya dan langsung bergegas keluar dari rumah.
“Yoga, mau kemana kamu?”
Gebrakan pintu adalah jawaban terakhirnya. Entah apa yang ingin disampaikan dengan sikapnya yang keras. Aku justru tidak mempercayai semua keadaan ini. Bunga yasmin yang sedari dulu aku pupuk hingga sedemikian matang dan indah, ternyata berubah menjadi seekor singa yang ganas. Bahkan tidak sedikitpun kenangan indah yang terbesit dalam ingatannya. Cemas dan khawatir ini mendorong air mataku turun ke pipi. Suara air keran yang bocor mengiringi kesepianku di sore yang temaram. Aku ingin jangan sekarang Chiko datang. Dia tidak boleh melihat aku menangis. Biar saja tembok-tembok yang menghinaku. Biar saja langit-langit serta cicak-cicak yang mencibirku sebagai ibu yang tidak berguna.
***
Aku pun pernah tahu apa itu cinta. Cinta itu bagai api yang membakar apa saja selain yang dicintainya. Bahkan ibunya sekalipun tidak mejadi perhatian yang penting baginya. Dia benar-benar sudah dirasuki oleh cinta yang membara dan cinta yang menurutku salah. Aku masih tetap berdiri di pendirianku yang kokoh. Wanita yang Yoga cintai bukanlah wanita yang baik untuknya.
Argumenku bukan tanpa alasan. Sebulan yang lalu, Reni pernah datang bersama Yoga ke rumahku. Saat itu Yoga memperkenalkannya. Tatapan mata yang tajam dari wajah Reni membuat buluku merinding. Ada sesuatu yang kejam dari dirinya. Auranya terpancar gelap dari sekujur tubuhnya. Firasat apa ini? Aku tidak mengerti mengapa pagi yang begitu cerah mendadak suram bagiku.
Waktu seakan deras sekali menyedot hari-hariku. Kemudian, di halaman depan aku berbincang-bincang pada Yoga.
“Dia kekasihmu?”
“Iya, Bu. Bagaimana?”
“Tidak ada yang lain?” Entah mengapa ucapan itu langsung terucap tanpa disaring. Pembukaan pembicaraan yang buruk. Aku terlalu terbawa emosi. Seluruh sistem sarafku bekerja menuruti alam bawah sadarku.
“Maksud Ibu?” tanya Yoga
“Maksudnya…”
“Ibu tidak setuju dengan pilihan Yoga?”
“Firasat Ibu mengatakan bahwa dia bukan yang terbaik untukmu,” kataku dengan nada yang rendah sempurna. Aku harus mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi dalam diriku. Tidak baik memendam firasat telalu lama. Terkadang firasat harus segera diucapkan sebelum keadaan lebih cepat mengubah semuanya. Dialog pagi itu berjalan sangat singkat dan buruk. Tidak ada penyelesaian dan penyesalan. Yoga tetap menaruh pilihan pada Reni. Yoga meninggalkan aku di halaman depan bersama seutas sunyi.
Aku memang bukan ibunya. Dia adalah anak dari saudaraku yang setengah waras. Dulu aku memeliharanya karena tidak tega melihat keadaan Yoga. Badannya kurus kering tanpa ada yang memedulikannya. Ibunya yang setengah waras berkali-kali memukul Yoga apabila dia merengek-rengek meminta makan.
Aku membujuk suamiku di tengah makan malam. Kebetulan aku belum mempunyai anak pada saat itu. Saat melihat Yoga, sepertinya dia memang ditakdirkan Tuhan untuk bertemu aku. Akhirnya aku mengadopsi Yoga. Dia sudah menjadi tanggung jawabku sekarang. Kehidupan Yoga yang diselimuti dengan kekerasan dari seorang ibu berubah drastis ketika berada di tanganku.
Awalnya memang Yoga sulit untuk diatur. Bekali-kali dia melanggar perintahku. Berlari-lari di tengah rumah makan saat aku ajak makan di luar, bersepeda di dalam rumah, memecahkan gelas, dan berbagai kegiatan lainnya yang membuatku sedikit kewalahan. Untung saja kesabaran masih tertanam rapi di dalam batinku. Semuanya aku lakukan dengan ikhlas. Sampai semuanya berakhir ketika Chiko lahir. Dia menjadi sosok yang lebih dewasa. Tidak ada lagi orang yang bisa kupercaya selain Yoga. Dialah yang melindungi Chiko, dialah yang membuatkan susu untuk Chiko, dan dialah yang mencuci semua baju Chiko.
Saat itu juga aku resmi menangis dalam senyuman. Sangat indah melihat keadaan seperti itu. Lelah dan letihnya seorang ibu dapat hilang tanpa bekas ketika melihat anaknya berubah menjadi apa yang dia inginkan. Yoga menjadi seorang yang penurut bahkan menjadi contoh yang baik untuk adiknya. Tuhan menghadirkan Chiko untuk mengubah segalanya.
Seperti yang aku katakan, benih sudah tumbuh menjadi bunga yasmin yang indah. Saat itu, Yoga telah meneruskan kuliah di perhotelan dalam bidang kitchen. Dari dulu memang dia pintar memasak. Aku yang mengajarinya. Sampai akhirnya dia menjadi koki yang terbaik di Bogor. Peringkat nilainya paling tinggi, semua orang memuji kehebatan dan kerapihannya dalam memasak.
Tidak sampai disitu, prestasinya kian melejit hingga dapat lolos seleksi untuk menjadi koki di kapal pesiar. Aku menangis terharu mendengar kabar baik itu. Dalam waktu yang singkat, Yoga telah menjadi bagian dari koki di dalam kapal Costa Concordia. Dia sempat memperlihatkan foto-fotonya di Eropa saat pulang ke rumah. Aku hanya berharap semua perjalanan pulang pergi itu dapat melupakan Reni dan kenangannya di masa lalu.
Sebulan setelah dialog singkatku yang buruk bersama Yoga atau lebih tepatnya dua hari setelah Yoga berangkat ke Eropa, Reni menghubungiku. Dengan nada yang memaki, dia mengancamku dengan banyak hal. Aku tidak sempat berbicara untuk membalas perkataannya karena sudah terlanjur diputus. Tidak berhenti disitu, dia menghubungiku lewat pesan singkat  melalui telepon genggamku. “Ibu jangan ikut campur dengan urusan kami. Ibu bukan siapa-siapa Yoga. Ibu tidak berhak melarang Yoga untuk berpacaran dengan siapa saja. Kamilah yang menjalin hubungan, tidak ada kaitannya dengan Ibu,” begitulah pesan singkat yang dikirimkan oleh Reni.
Bagai kapal pesiar yang menghujam karang. Aku tidak tahu apakah Yoga dan Chiko merasakan yang kurasakan. Saat itu juga aku terkulai lemas persis di sebelah tempat tidur. Tangisan bercucuran tanpa henti. Harga diri sudah terlanjur jatuh di bawah tanah. Aku berharap Yoga terus berada di Eropa tanpa pernah pulang menemui Reni meskipun akibatnya juga akan terkena padaku. Namun, mungkin itulah yang terbaik. Bagiku, lebih baik Yoga dapat berbahagia di tempat yang jauh tanpa ada aku di sisinya daripada harus melihat Yoga bersama dengan Reni.
***
Yasmin yang sedari dulu sudah kusiram dengan pupuk dan air, kini mulai layu dan tejelembab pada lembah yang suram. Aku tidak bisa lagi mendirikan iman dalam batinnya yang rapuh. Dia sudah tergoda dengan cinta yang salah. Melihat kenangan tempo dulu saat Yoga mengasuh Chiko, memberi makan Chiko, membantu masak, aku yakin Yoga orang yang baik. Dia bukan orang yang seperti itu. Justru Reni yang mengubah segalanya.
“Bukan Reni jodohmu, Nak,” kataku dalam hati. Suaraku tentu tak terdengar olehnya yang sangat jauh dari tempatku berada. Sudah dua tahun aku kehilangan jejaknya sejak gebrakan pintu terakhir yang merupakan jawaban terakhir darinya.  Kudengar, dia pergi lagi ke Eropa untuk meneruskan cita-citanya. Entah harus bangga atau tidak ketika aku tahu dia pergi bersama dengan Reni.
Belum kering duka yang mengguyur keluarga kami, suamiku meninggal dalam ketenangan yang abadi. Aku sempat mengirim pesan kepada Yoga. Itulah pesan pertama kali yang kuterima setelah dua tahun silam menghilang sekaligus pesan terakhir kali darinya. “Aku turut berduka cita atas meninggalnya ayah. Maaf, aku tidak bisa pulang,” katanya melalui pesan pendek. Aku tidak menyangka kehilangan ayahnya bukan berarti apa-apa baginya.
Semua ini memang salahku karena tidak memberitahu ancaman-ancaman yang disampaikan oleh Reni kepada Yoga. Mengapa harus aku tutup-tutupi? Semua beban telah jatuh di pundakku. Sekarang hanya aku yang menangis menahan rasa sakit kehilangan anak serta suamiku sekaligus. Hanya Chiko yang aku punya sekarang.
Satu tahun berselang sepeninggal suamiku, berita buruk sampai di telingaku. Awan kembali kelabu dan mengelilingi aura tubuhku saat itu. Costa Concordia tenggelam di Isola del Giglio, Italia. Kontan tubuhku roboh seketika. Pada saat itu kalender menunjukan tanggal 13 Januari 2012. Aku sempat melihatnya sebelum mataku terpejam. Suara Chiko yang memanggil namaku terdengar seperti suara burung pipit yang justru menggiringku ke dalam ketaksadaran. Dalam gelapnya mataku, hatiku berbicara, “Aku tidak peduli siapa diriku, ibu kandung atau ibu tiri. Aku berharap Yoga tidak sedang berada di kapal pada saat itu. Aku ingin dia tetap hidup menjadi yasmin yang kudambakan. Menjadi yasmin yang mengharumkan segalanya yang ada di sekitarnya. Bukan menjadi yasmin yang layu dan bobrok imannya. Kumohon, Tuhan.”

Surakarta, 20 Juni 2014




Kamis, 30 Oktober 2014

Toilet

Serupa denganmu
tanpa doa hanya menunggu air terjun tiba di wajahmu

Serupa denganmu
berkubang dengan kotoran, bergeming dan hening

Serupa denganmu
gusar dan resah hanya seribu rupiah

Serupa denganmu
mereka mendatangimu hanya untuk melecehkanmu

Serupa denganmu
dingin kian menyergap tubuhmu

Rabu, 29 Oktober 2014

Burung Api

Mata kosong dalam langit
Setengah menghijau
Setengah lagi menguning
Adakah tirai yang menyelimuti pegunungan di sore ini?
Adakah Pekat yang melindungi rawa-rawa ini?
Sungguh ku ingin bersemayam


Minggu, 31 Agustus 2014

Pekat

Oleh: Michelia Alba

Angin malam tegak berdiri
Mereka menghiasi wajahnya dengan pekat
Perlahan dedaunan gugur
Air matanya menetes ke udara
Memanggil langit untuk mendekat

Tak jua kumendekap lampion yang sedari tadi meraba jemariku
Jingga dan berisik suaranya
Seperti melodi tempo dulu
Batang beton jugalah berdiri di kanan kiriku
Subur mereka
Seperti hendak ditanam atap-atap gedung

Lihatlah wajah itu
Menggerayang tubuhku yang sudah mulai sesak
Angin itu bertambah pekat
Meleleh dan mendidih
Krik
Krik
Krik

Tiada yang lebih kelam dari malam dalam kepalaku
Sunyi ini mengaduh kesakitan
Seperti jangkrik yang berdecit
Biarlah seperti ini Tuhan
Biarlah seperti ini Tuhan
Selalu

Angin malam tegak berdiri
Mereka menghiasi wajahya dengan pekat

Selasa, 05 Agustus 2014

Resensi Novel Negeri di Ujung Tanduk Karya Tere Liye




Novel: Negeri di Ujung Tanduk
Pengarang: Tere Liye
Penerbit: PT Gramedia Pustaka
Cetakan: pertama 2013
Halaman: 360, Tebal: 20 Cm
ISBN: 978-979-22-9429-3

Sinopsis Novel:
Di Negeri di Ujung Tanduk kehidupan semakin rusak, bukan karena orang jahat semakin banyak tapi semakin banyak orang yang memilih tidak peduli lagi.
Di Negeri di Ujung Tanduk para penipu menjadi pemimpin, para pengkhianat menjadi pujaan, bukan karena tidak ada lagi yang memiliki teladan, tapi mereka memutuskan menutup mata dan memilih hidup bahagia sendirian.
Di Negeri di Ujung Tanduk setidaknya, kawan, seorang petarung sejati akan memilih jalan suci, meski habis seluruh darah di badan, menguap segenap air mata, dia akan berdiri paling akhir, demi membela kehormatan.

Sinopsis Secara Keseluruhan:
Petualangan Thomas belum selesai, dia harus membantu klien politiknya yang bernama JD agar dapat memenangkan pemilihan presiden. Awal cerita dikisahkan bahwa Thomas sedang ingin bertarung melawan Lee, seorang petarung dari China. Kemudian setelah Thomas menang, dia mendapat kabar bahwa klien politiknya dituduh sebagai seorang tersangka korupsi. Padahal tinggal beberapa langkah lagi klien politiknya itu menjadi presiden. Thomas pun menyadari bawha terdapat rekayasa dan kebohongan dalam peristiwa tersebut. Thomas harus meluruskan hal itu.
Strategi dan rencana Thomas ternyata tidak selalu berjalan sesuai dengan rencana. Dia diceritakan bertemu dengan wartawan bernama Maryam yang terpaksa masuk ke dalam bagian dari ceritanya. Thomas pun disangka menyelundupkan narkoba oleh pemerintah setempat karena dalam perahu yang dia naiki terdapat bungkusan narkoba. Itu adalah jebakan. Thomas pun harus lari dari ancaman yang mengejar dirinya dan juga harus menyelamatkan klien politiknya.
Situasi bertambah rumit ketika Thomas tertangkap dan harus dijebloskan ke dalam penjara. Tidak hanya Thomas, Maryam pun ikut masuk dalam penjara bersama Opa dan Kadek. Namun Tuhan masih memberikan mereka kebebasan untuk meloloskan diri. Dibantu oleh Rudy kawan Thomas sesama petarung, mereka berhasil lolos dari dalam penjara.
Dalam situasi yang sangat rumit dan keadaan waktu yang semakin sempit, Thomas diharuskan memutarbalikan fakta dan membalas apa yang dilakukan kepada orang-orang yang ada di balik penangkapan JD. Pelarian dan tindakannya tidak terlepas dari bantuan skretarisnya, Magie dan Kris seorang programer yang ditugaskan untuk melihat benang merah di dalam pristiwa politik yang terjadi.
Kris diperintahkan untuk melacak lima pejabat yang diperkirakan menjadi dalang dari semua kekacauan tersebut. Lima pejabat itu memang ada hubungannya dengan kasus korupsi Gedung Olahraga Nasional. Alasan mereka merekayasa agar JD ditangkap dan memburu Thomas karena mereka takut kasus korupsi tersebut akan diusut kembali. Ternyata Kris mendapat pola yang menggambarkan lima pejabat tersebut. Namun hal itu blum selesai. Ada satu lagi orang yang mengatur semua kekacauan tersebut. Thomas memikirkan nama Shinpei, pengusaha besar, sekaligus teman Om Liem , ayahnya dan Opa. Namun nama Shinpei dalam internet sudah dihilangkan jejaknya sehingga Kris tidak dapat melacak polanya.
Shinpei pun akhirnya menculik Om Liem agar Thomas bersedia datang ke China. Shinpei membeberkan rahasianya di depan Thomas saat dia datang ke China. Semua kejahatannya terungkap. Shinpei juga ingin menghilangkan barang bukti yang berada di tangan Om Liem, namun Om Liem tidak mau mengatakannya. Saat Shinpei menyuruh salah satu anak buahnya untuk menembak paha Thomas agar Om Liem buka mulut, ternyata anak buahnya malah menebak dada Shinpei. Anak buah itu ternyata Rudy. Dia mengetahui semuanya dari rekaman yang dipasang di jam tangan Thomas yang sempat ia berikan pada Thomas.

Resensi Novel:
Cerita ini lebih menarik dari sebelumnya karena terdapat banyak orang yang berperan dalam peristiwa atau konflik tokoh utama. Cerita ini juga ada kaitannya dengan peristiwa Gedung Olahraga Hambalang dimana ada beberapa pejabat yang terlibat di dalamnya. Namun, dibungkus dengan kata-kata dan aksi yang lebih menarik. Sama halnya kasus Bank Century yang diubah namanya menjadi Bank Semesta dalam novel “Negeri Para Bedabah”.
Sama halnya dengan novel pertamanya, Tere Liye menggunakan alur dan setting waktu yang sangat cepat. Sekitar 4-6 hari yang diperlukan untuk tokoh utama lari dari China – Jakarta – Denpasar – China. Hal itu membuat para pembaca larut dalam ketegangan dan penasaran dengan episode berikutnya. Bab yang dibuat pun hanya 6 sampai 10 halaman sehingga pembaca disediakan untuk bernafas dalam setiap babnya. Pembaca menjadi tidak bosan dan suntuk ketika membaca novel tersebut.
Beberapa pelajaran yang bisa diambil adalah bahwa suara mayoritas bukanlah suara Tuhan. Suara mayoritas tidak menentukan sebuah kebenaran. Sejak kapan pemilihan presiden pertama Indonesia harus mengadakan pemilihan umun dan pemungutan suara dari seluruh rakyat Indonesia? Hal itu terlalu menghabiskan waktu dan suara rakyat tentu saja tidak akan sama. Rakyat tidak semuanya mengetahui keadaan yang sebenarnya. Maka dari itu banyak rakyat Indonesia yang mau mencoblos hanya karena diberi uang karena mereka tidak mengetahui siapa yang harus dia pilih. Seharusnya yang memilih adalah seorang yang berkopenten dalam bidang tersebut. Demokrasi tidak selamanya benar.
Selai itu, novel ini membuat pembaca menjadi membuka mata bahwa pada kenyataannya Indonesia sudah seperti itu. Kacau dan banyak kecurangan di dalamnya khususnya dalam arena politik. Ada kata-kata menarik dalam novel tersebut yang esensinya seperti ini: “Bagaimana cara membasmi korupsi? Ya, dengan cara melegalkan korupsi.” Itu pemikiran cerdik, cerdas dan licik. Dengan melegalkan korupsi maka tidak ada lagi yang berbuat salah. Dengan demikian bagaimana cara untuk melawan para bedebah? Melawannya dengan cara yang sama. Layaknya seorang bedebah. Itu lebih masuk akal.


Selasa, 22 Juli 2014

Berita: Sejumlah Posko Mulai Didirikan




Arus lalu lintas semakin padat menjelang hari raya idul fitri namun bagi pengendara yang merasa kelelahan atau sakit bisa beristirahat di rest area yang telah disediakan oleh Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informasi (Dishubkominfo) Kota Solo. Sampai saat ini sudah enam posko yang telah didirikan untuk kenyamanan para pengendara. Posko tersebut mulai didirikan dari H-7 hingga H+7 lebaran.
Lokasi posko yang didirikan diantaranya berada di depan Superindo Jl. Adi Sucipto, bekas Pertamina Gilingan Jl. Achmad Yani, depan Danarhadi Jl. Bayangkara, Taman Satwa Taru Jurug, palang kereta api Joglo Jl. Kadipiro, dan terminal Tirtonadi.
Posko yang berada di Taman Satwa Jurug sedikit mengalami keterlambatan untuk mendirikan posko namun diperkirakan segala fasilitas akan segera disediakan sebelum puncak kemacetan. Sementara itu, posko di Pertamina Gilingan sempat mengalami masalah dalam jaringan internet dan juga keterlambatan datangnya petugas puskemas dari dinas kesehatan. Namun, posko lainnya sudah lengkap dan siap untuk melayani para pengendara.
Ary Kusnandar, staf Dishubkominfo menjelaskan bahwa traffic counting sudah dimulai hari Senin. “Kami menghitung jumlah kendaraan dari sepeda motor, mobil pribadi, kendaraan sedang, dan kendaraan berat setiap 15 menit sekali baik dari barat ke timur maupun sebaliknya,” ujarnya. Saat ini jumlah data yang baru di dapat dari posko depan Superindo rata-rata arus dari barat ke timur 700 kendaraan sedangkan dari timur ke barat 500 kendaraan. Menurutnya, Dinas perhubungan dan jajaran kepolisian memperkirakan H-4 lalu lintas akan mulai padat.
Fasilitas yang disediakan antara lain tempat tidur untuk beristirahat, televisi, wa-fi, minuman dan makanan ringan, obat-obatan, dan info mengenai arus lalu lintas. “Untuk penangan yaang diberikan, kami menyediakan pengobatan dari puskesmas terdekat,” lanjutnya.
Sementara itu, Ary Wibowo, koordinator traffic counting menambahkan informasi mengenai aplikasi untuk memudahkan para pengendara. Aplikasi yang bernama Solo Destination itu dapat diunduh gratis melalui ponsel. “Aplikasi ini dapat memudahkan pengendara. Banyak fasilitas yang diberikan salah satunya yang menarik adalah info lalu lintas. Di sana terdapat live cctv streaming sehingga pengendara dapat melihat meihat kepadatan kendaraan lalu lintas dan memilih jalan yang sekiranya lebih lenggang,” ujarnya.(mg1/mg4) 

Rabu, 16 Juli 2014

Berita: Assalaam Adakan Pesantren Kilat untuk Anak Difabel



Allah telah menciptakan apa manusia dengan sebaik-baiknya. Setiap manusia berhak mendapatkan apa yang dia inginkan termasuk ilmu pengetahuan mengenai agama. Itulah latar belakang diadakannya pesantren kilat untuk anak-anak difabel atau penyandang cacat, Selasa (15/7) di Pondok Pesantren Modern Islam (PPMI) Assalaam.
Kegiatan tersebut diadakan karena PPMI Assalam dipercaya oleh Kementrian Pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbud) khususnya dari pendidikan dasar (dikdas) menjadi tempat pesantren kilat. Pasantren kilat itu akan dilaksanakan dalam satu hari dari pagi hingga selesai salat tarawih.
Acara itu diawali dengan sambutan dari pemimpin Ponpes Assalam Drs. H. Uripto Mahmud Yunus M. Ed, kegiatan mengelilingi Ponpes, dan ramah tamah atau perkenalan dengan pengasuh Ponpres. Selain itu ada pula materi yang diberikan untuk para peserta yakni, ilmu agama, etika, dan akhlak. Jumlah peserta yang mengikuti pesantren kilat itu diperkirakan 270 orang beserta dengan pendampingnya.

 “Pasantren kilat tersebut merupakan bagian dari salah satu misi kita untuk memberikan edukasi pada masyarakat agar mereka mendapatkan nilai-nilai yang diharapkan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu agar mereka merasakan bagaimana menjadi seorang santri walau hanya sehari,” ujar Qamaruddin, humas PPMI Assalaam menuturkan tujuan diadakannya pasantren kilat untuk difabel.
Kegiatan lain yang biasa dilakukan di dalam PPMI Assalaam ini yakni takjil ramadan yang dilakukan bersama masyarakat sekitar diawali dengan kajian agama selama Ramadan. Kemudian, pada tanggal 18 Juli nanti akan diadakan itikaf menjelang 10 hari terakhir Ramadan. Lalu ada pula pengamatan hilal menjelang idul fitri yang dilakukan di Observatorium PPMI Assalaam.(mg1/mg4)

Radar Solo, 16 Juli 2014

Senin, 14 Juli 2014

Berita: Cahyo Alkantana Berkunjung ke UNS


Ramadan tidak membuat seseorang menghentikan kegiatannya begitu saja. Seperti halnya mahasiswa pencinta alam (mapala) dari Sentraya Buana yang mengadakan acara talk show di ruang seminar Fakultas Sastra dan Seni Rupa (FSSR) UNS, Sabtu (12/7). Talk show dokumentasi petualangan yang mengusung tema “Kulihat Kudengar Kuabadikan” tersebut diadakan mulai dari pukul 15.00 hingga pukul 18.30. Dalam acara tersebut juga diadakan buka bersama dengan bintang tamu ternama yakni Cahyo Alkantana, vidografer sekaligus host Teroka di Kompas TV.
Sebelum acara dimulai, pembawa acara mempersilakan Baharudin, mahasiswa dari SKI FSSR UNS untuk melantunkan ayat suci Alquran terlebih dahulu. Soepono Sasongko, Pembantu Dekan III FSSR UNS mengaku sangat berterima kasih terhadap panitia atas terselenggaranya acara ini dan juga terhadap Cahyo Alkantana atas kehadirannya.
“Semoga acara ini dapat memberikan pencerahan dan motivasi kepada hadirin untuk lebih menggali lagi minat dan bakatnya sebagai seorang petualang. Alangkah bagusnya bagi Anda yang suka berpetualang semoga dapat mengkolaborasikannya dengan dunia keilmiahan sehingga tidak semata-mata hanya sekedar berpetualang,” ujar Soepono Sasongko dalam sambutannya.

Cahyo Alkantana menceritakan perjalanan hidupnya dari kecintaannya dalam beladiri silat hingga akhirnya bertemu tertarik untuk menjelajah karena sering berlatih silat di alam terbuka. Seorang diver yang mendapat beasiswa dari S1 hingga S3 itu juga menyampaikan bahwa di dalam film dokumenter  harus ada SEA, yakni Sience, Education, dan Adventure.
Pria yang pernah menjadi mahasiswa jurusan arsitek di Universitas Atmajaya itu juga tidak segan-segan memberi saran dan motivasinya bagi mahasiswa baik itu pencinta alam maupun secara umum untuk mendapatkan kesuksesan. “Apa yang kalian inginkan harus kalian kejar sampai dapat! Seseorang harus mempunyai target agar sesuatu yang diinginkan dapat tercapai!” terang pria yang juga videografer andalan National Geographic dan BBC Knowledge itu.
Nasitha Khurun, ketua panitia acara menuturkan bahwa sebagai pecinta alam sebaiknya dapat mendokumentasikan perjalanannya sehingga tidak hanya sekedar perjalanan yang membuang waktu tanpa mendapatkan ilmu dan manfaat. “Ada tiga hal yang menjadi latar belakang kami untuk mengadakan acara yang bertajuk dokmentasi petualangan ini. Kita tidak boleh membunuh kecuali waktu, tidak boleh meninggalkan sesuatu kecuali jejak, dan tidak boleh mengambil sesuatu kecuali gambar. Yang ketiga itulah yang membuat kami merealisasikannya dalam bentuk acara seminar seperti ini,” ujar mahasiswa tingkat semseter dua tersebut.
Nasitha pun berharap agar peserta yang menyaksikan acara ini setidaknya dapat mengerti cara pengambilan film dokumentasi petualangan serta mendapat inspirasi dan motivasi dari pembicara yang berkualitas.(mg1/mg4)

Jumat, 11 Juli 2014

Berita: Mandiri Tidak Ketinggalan untuk Berbagi Takjil




Ramadan merupakan momen yang sangat tepat untuk beramal dan memperbanyak pahala. Hal itu tidak dilewatkan oleh salah satu bank pemerintah Mandiri untuk membagi-bagi takjil kepada masyarakat sekitar, Jumat (11/7). Kegiatan tersebut diadakan menjelang buka puasa dan dikhususkan kepada masyarakat kecil seperti tukang becak, tukang sapu, pengamen, pengemis, dan pejalan kaki yang kebetulan lewat di depan Mandiri.
“Acara ini ditujukan untuk karyawan dan keluarga beserta dengan masyarakat umum,” ujar Anas salah satu panitia acara. Anas juga menyatakan bahwa acara ini berkaitan dengan bulan suci Ramadan dan Mandiri ingin memberikan kontribusi kepada masyarakat. Acara ini akan diadakan untuk kedua kalinya pada tanggal 19 Juli 2014 mendatang. Tidak ada tema khusus untuk acara seperti ini, hanya saja ingin membantu masyarakat luas saja.
“Untuk yang kedua kalinya kami akan mengundang anak yatim untuk disantuni,” terangnya. Bank Mandiri tidak ingin dibilang hanya mengurusi urusan uang dan traksasi tapi ingin menunjukan bahwa mereka sangat peduli kepada masyarakat sekitar terutama masyarakat kecil. Makanan yang disajikan antara lain adalah kolak, kacang, lapis dan aneka makanan ringan.
Sementara itu acara yang diadakan di dalam kantor berupa pengajian, buka puasa bersama, salat magrib dan tarawih bersama. Acara itu juga akan diisi dengan tausiah dari Agus Waluyo dari Karangpandan.
Menurut Yeni, pekerja yang bekerja di Solo Baru, dia merasa sangat senang karena baru pertama kali mendapat takjil gratis seperti ini. Ibu yang berasal dari Baki tersebut kebetulan lewat di depan Mandiri.(mg1/mg4)   

Kamis, 10 Juli 2014

Berita: Distro Meramaikan Bulan Ramadan




Di pertengahan bulan Ramadan sudah mulai terlihat banyak orang yang meramaikan tempat-tempat tertentu salah satunya pusat perbelanjaan. Hal itu dimanfaatkan oleh event oganizer Langit Biru Creativindio dari semarang untuk mengadakan Distro Clothing Festival yang diadakan di Gedug Graha Wisata pada tanggal 10-13 Juli mendatang. Tema yang diusung kali ini adalah lebaran fiesta 2014.
Acara ini bukan hanya diadakan sekali namun sudah sejak dari tahun 2007. Biasanya diselenggarakan tepat pada momen-momen tertentu seperti pada tahun baru lalu. Selain untuk memeriahkan Ramadan, tujuan lainnya adalah untuk membantu distributor outlet (distro) untuk menjajakan produknya sendiri tanpa melalui toko-toko kecil. “Dengan adanya event ini mereka bisa berjualan sendiri sehingga bisa langsung mengenalkan produknya dengan masyarakat,” ujar Yuda salah satu panitia event organizer.
Barang yang dijajakan beraneka ragam dari mulai baju, kaos, hem, celana, tas, eksesoris, dan lain-lain. Kemungkinan acara yang dibuka dari jam 10.00 hingga 22.00 tersebut akan semakin ramai pada malam hari. Tiketnya pun relatif murah dengan harga Rp. 10.000,00 pengunjung langsung dapat masuk untuk membeli barang sesuai dengan keinginan. “Acara ini sebenarnya adalah sebuah rangkaian tour ke lima kota antara lain Yogyakarta, Surakarta, Semarang, Purwokerto, dan Tegal,” ucap Yuda.
Menurut Yoga, salah satu pengunjung, merasa kualitas yang dijajakan sangat baik dan acaranya pun sangat menarik. “Saya berharap acara semacam ini diadakan lagi, karena barang-barangnya cukup berbeda dengan yang biasa dijajakan dipasaran,” ujar pria yang berasal dari Karangannyar tersebut. Yoga sendiri telah membeli beberapa barang belanja seperti jaket, baju, dan tas. (mg1/mg4)

Radar Solo, 10 Juli 2014
            

Senin, 07 Juli 2014

Berita: Bazar Kampung Ramadan Meriahkan Masjid Al-Falah





Kegiatan dalam rangka mengisi bulan Ramadan 1435 H ditunjukan oleh Komunitas Ukuwah Remaja Masjid Al-Falah (KURMA) dengan mengadakan bazar “Kampung Ramadan”, Senin (7/7). Sekitar 25 stan dagangan terisi penuh oleh para warga Cinderejo Kidul, Gilingan, Surakarta. Stan untuk warga sekitar diberikan cuma-cuma, sedangkan pengisi stan yang dari luar kampung Cinderejo dihargai Rp 50.000,00. Menurut Rio, ketua panitia, pengisi stan diprioritaskan untuk warga sekitar.     
Bazar ini diselenggarakan dari tanggal 6-15 Juli 2014. Acara ini dibuka dari pukul 15.00 sampai pukul 18.30. Awalnya acara ini diadakan dari pukul 14.00 namun karena kondisi yang tidak memungkinkan akhirnya dialihkan mejadi pukul 15.00. Bazar tersebut menjual berbagai macam makanan ringan, pakaian muslim, pakaian batik, pakaian anak-anak, accesoris dan pernak-pernik.  Meskipun suasana mendung, namun antusias warga sangat tinggi untuk mengikuti kegiatan bazar tersebut. Acara semakin ramai pada malam hari karena para pedagang PKL ikut menjajakan dagangannya di bazar tersebut.
Tujuan diselenggarakannya acara ini untuk mengawali panitia renovasi Masjid Al Falah dan memakmurkan serta meramaikan Masjid Al-Falah. “Kegiatan ini juga sebagai perkenalan diri bahwa Masjid Al-Falah ini mempunyai beraneka ragam kegiatan. Kami ingin menunjukan organisasi di Masjid Al Falah sangat aktif,” ujar Rio. Rio mengaku acara ini dimulai dari tekad yang kuat bahkan tidak mengeluarkan dana sedikitpun. Untungnya banyak sponsor dan donatur yang mendukung terselenggaranya bazar ini.
Sriwahyuni, salah satu pengisi stan bazar merasa sangat senang diadakan acara semacam itu. Ibu yang berasal dari Sangkrah itu menjual pepes bandeng, bakmi toprak, sayur pare, tahu acara, dan nasi bumbu Bali. “Saya harap kegiatan seperti ini diadakan lagi. Soalnya saya bisa jual makanan dan mendapatkan banyak untuk dari acara itu,” ujar Sriwahyuni.
Bazar ini merupakan penutupan dari serangkaian acara kegiatan pengajian akbar dan karnaval anak-anak TPA bertajuk Kampung Ramadan. Penutupan Bazar ini akan diselenggarakan pada tanggal 14 Juli bertepatan dengan 17 Ramadan atau Nuzulul Qur’an. KURMA juga mengumpulkan anak-anak dari berbagai komunitas Masjid untuk mengadakan acara lain seperti dongeng untuk anak. (mg1/mg4)

Radar Solo, 7 Juli 2014

Sabtu, 05 Juli 2014

Berita: Semangat Peserta Sanlat Belajar Qiroah




Pembacaan Alquran mempunyai bermacam-macam irama. Kesenian membaca Alquran dengan baik dan melalaui kaidah-kaidah yang telah ditentukan disebut sebagai qiro’ah. Kegiatan melantukan seni suara Alquran itulah yang sedang dipraktekan para peserta pasantren kilat Pondok Pasantren (Ponpes) Al-Muayyad, Jumat (4/7). Dalam kegiatan tersebut terlihat para santri melantunkan irama Alquran mengikuti arahan dari gurunya.
Menurut H.M. Ahmad Mundzir Sulaiman terdapat tiga metode dalam melantunkan lagu Alquran, diantara lain adalah tahkik, murottal, dan taghonni. Metode yang sering dilantunkan adalah taghonni. Di Indonesia, Tahgonni dibagi menjadi tujuh lagu yaitu bayati, shoba, hijaz, nahawand, rost, banjaka, dan sikah. Jika dalam acara biasa, ketujuh lagu tersebut tidak harus dilantunkan, tetapi jika dalam perlombaan MTQ biasanya diharuskan melantunkan ketujuh lagu tersebut. Biasanya bayati harus dilantunkan diawal dan diakhir pembacaan Alquran.
Kriteria penilaian dalam qiro’ah ada tiga, yaitu tajwid (keutuhan tajwid), fashohah (keutuhan lagu dan penempatan ayat), dan suara (keunikan irama, variasi, dan tempo lagu). Kesalahan yang biasa terjadi dilakukan oleh para pembaca Alquran adalah kesalahan khafi (ringan) seperti menghilangkan mad thabi’i, mad jaiz, gunnah, bilagunnah, dan tajwid lainnya. Kesalahan lainnya dalah kesalahan Jali (besar), misalnya muroatul harakat (salah mengucapkan harakat), muroatul huruf (salah melafalkan huruf), muroatul kalimah (meninggalkan salah satu kalimat), dan muroatul ayat (meninggalkan salah satu ayat).
“Qiro’ah ini bertujuan untuk mengembangkan seni suara membaca Alquran yang sudah merupakan budaya turun-temurun,” ujar guru qiro’ah yang berasal dari Purwokerto tersebut. Kemudian dia juga menjelaskan bahwa para santri baru dapat menguasai qiro’ah ini minimal setelah melewati pendidikan selama dua tahun. Ahmad Mundzir berharap agar para santrinya sedikitnya dapat menyamai prestasinya yang telah menjuarai tingkat nasional atau bahkan bisa melebihi dirinya.
Para santri biasanya dikelompokan menjadi dua bagian. Bagian pertama bagi murid yang kurang menguasai qiro’ah, dan bagian kedua adalah murid yang sudah memahami qiro’ah. Ahmad Mundzir justru lebih intensif memberi pelajaran kepada santri yang belum menguasai qiro’ah agar bakat mereka dapat lebih terasah lagi.
Fadila salah satu peserta pasantren mengaku menyukai pelajaran qiro’ah karena terinspirasi dari ayahnya. Dia sempat menguasai qiro’ah sebelumnya, kemudian termotivasi kembali untuk mengasah bakatnya tersebut. “Aku pengen mendapatkan piala atau penghargaan suatu saat nanti dalam bidang qiro’ah ini,” ujarnya. (mg1/mg4)

Radar Solo, 5 Juli 2014