Sabtu, 28 Februari 2015

Surga di Bawah Jurang


Oleh: Michelia Alba



“Mereka rela mengantri sepanjang ini hanya untuk bunuh diri?” Badrun terkejut mendengar penjelasan Suparman.
Sebelumnya memang Badrun sempat curiga dengan kelakuan warga yang tiap minggu sekali mengadakan sebuah acara tertutup namun ramai pengunjung. Acara tersebut diadakan di tepi jurang dekat rumah Suparman. Setiap malam hari pasti tempat itu ramai sekali dikunjungi orang. Tidak hanya orang dari dalam negeri, orang luar negeri pun berdatangan ke tempat itu. Dan yang menariknya lagi ada papan nama besar terpampang di atas pintu masuk tempat mengerikan itu. Tulisannya “Surga”.
“Tempat ini memang selalu ramai pengunjung. Dari berbagai desa, kota, negara juga datang kemari untuk melakukan bunuh diri. Ada yang perorangan, ada yang masal, ada juga yang membawa teman-temannya atau saudaranya untuk melakukan itu.”
“Gila! Dunia ini memang kejam. Sudah gila orang-orang itu!”
“Pak, siapa yang bisa melawan penyakit? Semua penyakit datang kapan saja. Termasuk penyakit gila. Orang lagi tidur kemudian tiba-tiba rumahnya mendadak kebakaran. Barang-barangnya ludes. Ketika iman sudah hilang, ya… mau bagaimana lagi? Gila pun datang. Akhirnya orang itu gila mendadak. Dan saat gila seperti itu, apa ada orang lain mau menolongnya? Orang lain malah justru menjauhinya, kan?”
“Tapi pasti ada pilihan lain selain mati bunuh diri.”
“Ya, itu kan pikiran kita yang masih waras. Saya juga bilang apa? Gila itu bisa datang kapan saja. Ketika akal sudah hilang dan hati sudah meredup pikiran kotor pun akan merasuk. Bunuh diri menjadi jalan pintas untuk mempercepat datangnya kebahagiaan di surga kelak.”
“Surga katamu? Mana mungkin ada surga apabila seorang itu mati dengan cara bunuh diri. Omong kosong!”
“Yah, Bapak ini. Namanya orang stress, bahkan namanya sendiri saja mungkin sudah lupa. Bagaimana mungkin dia dapat mengingat pelajaran sekolah dasar tentang surga dan neraka? Kita memang belum merasakan suasana seperti itu, jadi kita tahu perasaan mereka. Kita hanya bisa membual tentang ini-itu tanpa mengerti perasaan mereka. Kita ini manusia yang sok tahu. Merasa paling benar dan paling tahu. Coba Bapak lihat di sana nanti. Sebuah perayaan besar-besaran hanya untuk orang yang ingin cepat masuk surga. Betapa senangnya mereka untuk cepat-cepat mengakhiri hidupnya. Bayangkan jika kita menghentikan kegembiraan itu. Kita akan merasa bersalah, bukan?”
“Tapi orang yang melakukan bunuh diri itu hanyalah orang pengecut. Yang hanya bisa lari dari kenyataan.”
“Iya, saya memang sudah tahu itu. Justru aksi bunuh diri itu adalah sebuah keberanian yang luar biasa. Siapa yang berani menggorok lehernya sendiri? Terjun dari ketinggian 1000 meter tanpa parasut? Selain mereka itu. Sebaiknya Bapak jangan ceramahi saya. Karena saya juga sama seperti Bapak. Tidak suka dengan praktek seperti ini. Karena saya masih waras. Seandainya saya sudah tidak waras mungkin saya akan berpikiran seperti mereka yang ada di sana. Dan saat itu pula ceramah Bapak itu sudah tidak berguna bagi saya.” Suparman memberhentikan sejenak kata-katanya untuk menyalakan rokoknya. Kemudian melanjutkannya lagi. “Begini saja, Bapak besok ikut saya ke tempat itu kalau Bapak penasaran. Nanti saya bayar tiket masuknya.”
“Tiket masuk?”
“Iyalah Pak. Uang zaman sekarang itu lebih dari sekedar nilai tukar barang. Uang bahkan bisa merajai otak orang-orang dungu. Termasuk pengelola tempat ini.”
“Jadi mau mati saja harus bayar?”
“Lha memang iya. Tanpa bunuh diri pun, mati kan memang harus membayar segala macam untuk mengurus ini-itu. Dari mulai pemandian jenazah, tahlilan, penguburan jenazah, kalau mau dipindahkan mayatnya harus bayar lagi, dan kalau mau pakai formalin juga harus bayar lagi. Sama saja kan Pak?”
Badrun mengistirahatkan mulutnya untuk sejenak. Pikirannya sudah mulai tak karuan mendengar omong kosong Suparman. Jelas apa yang dikatakan Suparman itu hanya akan didengar oleh orang dungu saja. Orang yang tidak berpendidikan atau tidak beriman. Bagi Badrun orang-orang seperti itu memang sepantasnya masuk “surga” dengan cara mengenaskan.
Badrun pulang ke rumahnya dengan sisa-sisa kantuk yang dibawanya. Sebenarnya pulang ke rumah hanya akan mengingatkannya pada anjing kurap yang sering kali merengek-rengek bagai bayi yang meminta sebutir permen. Belum lagi petugas kepolisian yang mungkin akan datang sewaktu-waktu. Entah kapan dan dimana. Yang pasti, untuk saat ini, Badrun tidak boleh berada di kota sampai pengusutan kasus pengedaran narkoba sudah dianggap tuntas. Setidaknya selama dia bersembunyi di desa ini, namanya akan dianggap hilang.
Badrun memang sempat mendekap di penjara bersama istrinya selama 6 bulan karena terbukti bersalah mengedarkan narkoba di kalangan pejabat. Setelah dipotong dengan hari raya dan hari libur dia dan istrinya pun dibebaskan. Tidak butuh waktu lama untuk keluar dari penjara, karena memang dalam penjara pun mereka masih tetap mengedarkan narkoba. Usaha narkoba itu berjalan lebih pesat dibandingkan usaha di luar penjara. Sampai akhirnya Badrun mempunyai rumah sendiri di sebuah desa dengan mobil sederhana yang terlihat mewah bagi orang kampung sana. Maka dari itu, dia harus tetap bersembunyi agar tetap bisa menghirup udara sebebas-bebasnya. Apalagi kini istrinya sedang hamil 4 bulan. Harapan menuju masa depan yang indah ada di depan mata.
Keesokan harinya saat senja mulai mewarnai langit, Badrun pergi menuju tempat yang orang bilang “Surga” itu. Sedikit demi sedikit udara dan aroma masakan hilir mudik memasuki penciumannya. Suasana pedesaan yang sejuk disertai aroma dedaunan yang kering menyatu bersama embun pagi seperti mengingatkan kembali pada masa kecilnya dahulu. Masa kecil tanpa dosa dan tanpa masalah. Entah apa yang membuat desa ini seakan-akan menghipnotis Badrun menapaki tingkat ketenangan yang tinggi. Benar-benar relaksasi yang sempurna.
“Selamat sore, Pak Badrun!” sapa Suparman dengan semangat.
“Selamat sore. Bagaimana? Kita langsung ke sana?”
“Mari…mari. Saya antar.”
Puluhan orang sudah memadati “Surga”. Antrian kali ini lumayan panjang. Ada yang hanya sekedar menonton aksi bunuh diri. Ada pula peserta yang ingin mendaftar untuk bunuh diri. Untung saja acara ini dibatasi usianya. Bayangkan saja kalau anak-anak pun diikut sertakan dalam ajang ini. Generasi yang akan datang akan sangat hancur.
“Selamat sore, Pak! Bapak mau mati atau hidup?” ujar petugas loket.
“Apa?” Badrun terkejut.
“Bapak mau mati atau hidup?” ulang petugas loket.
“Mmm Pak. Ini semacam kode. Kalau Bapak mau mati, berarti Bapak mendaftar untuk menjadi peserta bunuh diri. Kalau Bapak mau hidup, berarti Bapak hanya sekedar menonton saja.” Jelas Suparman.
“Oh begitu. Ya sudah saya mau hidup saja.” ujar Badrun.
“Apa tidak sekalian mati saja Pak? Kan malu kalau hanya sekedar menjadi penonton.”
“Maksud Anda apa? Mau saya mati?”
“Maaf Pak. Kami hanya bertugas melayani. Memang disini kan ajang untuk bunuh diri. Jadi saya hanya menawarkan Bapak saja.”
“Ya sudah. Bayarnya berapa?”
“Dua puluh ribu Pak”
“Ini, saya yang bayar,” ujar Suparman sambil memberikan uang.
“Memangnya kalau biaya untuk bunuh diri itu berapa, Mbak?” Badrun penasaran
“Bapak mau mati?” tanya petugas loket.
“Bukaan! Saya hanya bertanya saja. Siapa yang mau mati?”
“Tergantung Pak. Bapak mau masuk surga yang mana? Kalau paling mahal surge firdaus. Biayanya sekitar  satu milyar.”
“Semahal itu?”
“Kalau yang gratis, Bapak bisa melakukannya di rumah sendiri. Tapi Bapak akan masuk neraka seperti kata-kata orang. Mereka yang bunuh diri secara cuma-Cuma akan masuk neraka. Bagaimana?”
Badrun tidak menjawab pertanyaannya. Orang-orang di desa ini akan semakin aneh jika omongannya ditanggapi. Lebih baik meninggalkan perkataan mereka yang tidak jelas refrensinya itu.
Suara gemuruh penonton semakin dahsyat ketika salah satu peserta memasuki arena “kematiannya”. “Ayo! Tunggu apa lagi! Jangan biarkan surga menunggu lama! Bidadari di sana menunggumu untuk kau permainkan!” teriak salah satu penonton diiringi tawa yang liar.
Ada delapan pintu masuk dengan tulisan yang berbeda. Firdaus, And, Na’im, Ma’wa, Darusslam, Maqamah, Al Maqaamul Ammiin, dan Khuldi. Mungkin itu adalah sebuah pertanda nama-nama surga. Bagi yang membayar paling tinggi maka dia akan memasuki surga yang paling tinggi. Saat itu, salah satu peserta memasuki pintu yang bernama Maqamah. Entah berapa bayaran yang harus dia bayar untuk mati di tempat itu. Dia tampak ragu. Kakinya gemetar, keringatnya seperti mengepul di seluruh badannya. Sorak sorai penonton semakin membuat wajahnya pucat.
“Astaga, Imron?” ucap Suparman.
“Imron?”
“Dia adalah salah satu orang yang tidak penah mau masuk ke dalam tempat ini. Ternyata dia rapuh juga,” Suparman tertawa.
Tiba-tiba teriakan menggelegar di arena “kematian”. Penonton bersorak bahagia. Badrun yang baru saja bercakap dengan Suparman menoleh ke peserta yang tadi. Badrun menyaksikan sendiri peserta itu lompat dan entah sekarang berada di mana. Benar-benar mengerikan. Dia terduduk lemas seperti tak ada darah yang mau mengalir. Jantung pun enggan memompa. Napas Badrun tersengal-sengal. Udara semakin menipis.
Saat Badrun mulai bisa bernapas, telepon genggamnya berdering. Dia mengangkatnya. Suara isak tangis keluar dari dalam telepon genggam.
“Ada apa?” Tanya Badrun. Dia tau persis itu adalah suara istrinya.
“Aku tertangkap, Mas. Sekarang rumah kita disita oleh petugas kepolisian. Sekarang aku sedang dalam perjalanan ke kantor polisi. Kamu juga dalam keadaan bahaya. Hati-hati jangan sampai tertangkap! Karena…” pembicaraan terpotong oleh kedatangan seseorang di hadapan Badrun.
Orang itu langsung menyapa, “Selamat malam. Kami dari…”
Badrun tidak mendengarkan kata-katanya. Badrun langsung lari terbirit-birit meninggalkan orang itu.
“Jangan bergerak!” dia petugas kepolisian setempat. Pistol pun diacungkan ke langit. Suara tembakan membuat sorak-sorai penonton menjadi ricuh dan menyeramkan. Penonton berhamburan keluar. Sementara itu, petugas kepolisian mengepung Badrun dari segala arah. Ketika Badrun mendapatkan celah untuk berlari, kakinya malah tertembak. Tangannya diborgol.
Namun Badrun berontak dengan liarnya. Polisi tidak ada yang bisa menghentiannya sekarang. Wajahnya merah seperti setan yang sedang mengamuk. Matanya tiba-tiba menghitam. Penglihataan Badrun semakin kabur tapi tubuhnya mencabik-cabik ke segala arah. Teriakan keras meluncur dari bibirnya. Semua orang tak ada lagi yang berani mendekatinya. Kesadaran Badrun hilang tanpa kendali. Jiwanya tertelan oleh gelapnya malam.
***
“Pak Badrun sudah siuman?” kata perawat.
“Kok saya bisa ada di rumah sakit?” tanya Badrun
“Munafik!” ujar Suparman.
“Munafik apanya?” tanya Badrun
Petugas loket yang kemarin masuk ke ruangan. Dia mengeluarkan secarik kertas. “Bapak Badrun sudah sadar ya? Kemarin itu Bapak masuk Surga Firdaus tapi Bapak belum bayar tiket. Semuanya jadi satu miliyar rupiah. Berhubung Bapak masih hidup, kami ada garansi kok Pak. Jadi, Bapak bisa melakukan bunuh diri lagi secara gratis. Bapak mau?”
Badrun meninggal. Padahal belum bayar tiket masuk.

Surakarta, 24 November 2014

(Pernah dimuat di Koran Solopos Edisi Minggu, 8 Februari 2015)