Selasa, 29 April 2014

Mata-Mata




 Oleh: Michelia Alba

            Di kamar nomor 48, Franc merebahkan badannya di kasur. ”akhirnya tugas ku selesai juga. Huuh.” gumamnya dalam hati sambil menarik napas panjang. Dengan kepalanya menghadap langit-langit matanya mulai bisa tertutup rapat. Namun belum juga menggapai mimpi di alam bawah sadar ,tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Franc pun berjalan lemas menuju pintu kamar. Setelah membuka pintu terlihat seorang pelayan berjas hitam rapi yang mengantarkan lelaki berambut pirang.
”Terima kasih.” ucap Muller kepada pelayan itu. ”Sama sama.” jawab pelayan itu sambil berjalan menjauh dari kamar Franc. Hotel bintang 2 dengan 6 lantai dan 68 kamar ini selain mempunyai fasilitas yang modern, staf yang ada di hotel ini juga berdedikasi dan ramah karna berasal dari orang yang terpilih. Tak heran hotel yang bernama Lords Hotel ini adalah salah satu hotel yang paling diminati oleh wisatawan asing maupun dari warga Inggris itu sendiri.
”Ada tugas baru untuk mu.” bisik Muller kepada Franc setelah menutup pintu dari dalam. ”Lagi? Ah, baru saja aku ingin menikmati libur panjang sehari saja. Kau mau menyiksaku?” dengan wajah lunglai dan mata yang mulai mengantuk. ”Payah sekali kau yang tadi itukan tugas pertamamu. Seperti orang yang sudah profesional saja. 
     ”Baiklah lalu apa tugasnya?” sambil mengeluarkan korek api dan rokok nya.”Kau merokok?” tanyanya lagi.
      ”Tidak aku punya asma, sedikit saja menghirup asap mungkin akan sesak setengah mati. Oh ya ,ada surat dari Prof. Dr. Lorenzo di Venice. Untuk presiden kita. Intinya beliau mengatakan, kotak rahasia yang ditemukan di Laut Baltic saat pesawat tempur F3-10 terjatuh mengeluarkan tulisan yang bercahaya ketika segelnya dibuka. Beliau dan anak buahnya sedang menyelidiki apa maksud dari tulisan kuno tersebut.Jika Lorenzo benar kita harus mempelajari dan mengetahui apa arti dari tulisan kuno tersebut, sebelum ada pihak lain mengetahuinya.”
     “Jadi kau ingin aku pergi ke Venice dan berbicara kepada Lorenzo?” tanya Franc.
        ”Lebih berat.”
        ”Maksudmu?”
      ”Lorenzo telah lenyap sejak 3 hari yang lalu. Kami menduga beliau ditawan oleh agen
GIA yang dipinpin oleh Lord Dalamus ’seribu wajah’.”
        ”Petunjuk pertama?”
       ”Lorenzo pernah menemui Prof. Dr. Brough sekitar 4 hari yang lalu sebelum akhirnya lenyap. Brough sudah sepakat akan memberi peralatan canggih dan beberapa arkeolog untuk meneliti kotak rahasia tersebut. Mungkin Brough memegang kunci utama dalam peristiwa ini. Kau harus menemuinya dan temukan Lorenzo segera. Kata sandimu Lazord. Kami telah memesan tempat untukmu di pesawat menuju Venice.”


***


            Setelah dua jam lebih tiga puluh menit kemudian pesawat yang dinaiki Franc tiba Venice. Franc segera menemui Dr. Brough di rumahnya yang tak jauh dari kawasan Universitas Venezia.    
”Lorenzo sedang akan melakukan penemuan besar.” kata Brough saat mereka berdua duduk di sofa ruang tamu Brough. ”Kami menggunakan peralatan canggihku untuk menyelidiki kotak rahasia itu. Tetapi aku tak bisa berbuat apa-apa tanpa bantuan dari Lorenzo. Karena kunci memecahkan kode rahasia tulisan ini berada di tangan Lorenzo.Mari kita lihat tulisan tulisan kuno yang berada di kotak rahasia itu.”
Telepon berdering sebelum Franc sempat menjawab Brough yang menerima telepon itu dan memberi isyarat agar mendekat. ”Muller menelponmu dari London.” kata Brough.
”Maaf mengganggu,” kata Muller.”Tetapi ini sangat penting. Aku menerima laporan bahwa pesawat jet Fronze 464 baru saja mendarat di Bandar Udara Internasional Palermo, dua jam yang lalu. Pesawat itu membawa seorang agen GIA bernama Lamord Videnta yang menyamar menjadi sebuah usahawan. Ia juga sedang mencari jejak Lorenzo, dan kami mengikutinya. Seorang menjemputnya di lapangan terbang dan membawanya ke sebuah rumah di pesisir pantai. Ada motorboat berlabuh di teluk kecil di dekat tempat itu. Aku yakin Lamord berencana menggunakan motorboat itu untuk berhubungan dengan kapal selam GIA. Kau bisa mnyelidikinya. Mungkin ia bisa memberi petunjuk di mana Lorenzo berada. Jika kau bergegas, kau bisa memakai pesawat sore.” telepon itupun tiba-tiba putus sebelum Franc mengatakan sesuatu.
”Bawalah kotak rahasia ini! Jagalah baik-baik, jangan sampai berada di tempat yang salah” ucap Brough.
Akhirnya Franc langsung berangkat ke Palermo untuk membuntuti  Lamord Videnta. Sambil membawa pergi kotak rahasia tanpa melanjutkan melihat tulisan kuno itu.

***


            Beberapa jam kemudian Franc sudah mendarat di Palermo. Dia mengangkat tasnya dan keluar. Malam begitu dingin dan berkabut. Lalu sebuah mobil Ford merah muncul, berhenti di depan Franc. Seorang wanita berpakaian rapi keluar menemui Franc.
            ”Lazord?” tanya wanita itu, memberi isyarat agar Franc masuk ke mobilnya.
            Mungkin Muller telah menghubungi agen Dinas Rahasia Italy agar membantu  tugas Franc. Franc mendekati mobil wanita itu dan sedikit melirik ke jok mobil bagian belakang. Terlihat dua orang bertubuh besar menggunakan topi yang hampir menutupi wajahnya.
            Wanita itu mengetahui kata sandinya. Jadi pasti ia ada di pihak Franc. Namun timbul kecurigaan yang berlebih  saat itu. Mungkin alasan kecurigaannya tak beralasan.
”Kau kenal Muller?” tanya Franc.”Ya, aku kenal baik dengannya. Dia sahabatku.” jawab wanita itu. ”Lalu apa rokok kesukaan Muller?” tanyanya lagi. ”Dunhil Menthol” jawab wanita itu singkat.
Franc mundur selangkah menjauhi wanita itu. Franc cepat berpaling dan lari ke gerbang lapangan udara itu. Tanpa berhenti dia langsung melompat ke dalam taksi.
”Bawa aku ke Hotel Sicilia,” katanya pada sopir taksi. Taksi melaju ke arah jalan keluar. Dari jendela Franc melihat Ford itu mulai bergerak mengejarnya. ”Bisakah kau menjauhi mobil di belakang itu?” katanya lagi ke pada sopir taksi. Lalu sopir taksi itu menginjak gas, mumutar roda dengan suara yang menjerit jerit. Mobil ford itu pun mulai membuntuti dengan kecepatan tinggi.
Franc melihat pengukur kecepatan menunjukan 100 – 120 km perjam. Lampu lalu lintas berganti kuning. Kendaraan yang ada di depan mulai berhenti. Lalu lintas dari arah kiri dan kanan mulai bergerak. Namun kesempatan untuk lolos hanya kali ini saja. tak ada waktu untuk mengurangi kecepatan.
”Kebut saja!” Franc berseru. Sopir menekan gas. Taksinya melesat menyebrangi perempatan pada saat lampu sudah merah. Sebuah truk besar siap menyambar taksinya dari arah kanan.
”Awas!” teriak Franc. Sopir mencoba menghindar namun ekor taksi telah dilahap oleh truk itu. Membuatnya terbanting berguling berguling. Franc juga terhempas. Sebelum Franc tak sadarkan diri, dia sekilas melihat kotak rahasia dalam bayangannya.

***


Ketika sadarkan diri, Franc berada di rumah sakit. Yang pertama dia lihat adalah Muller dan sopir taksi berada tepat di sebelahnya. ”Hai Lazord? Kau perlu banyak istirahat. Berita baiknya tugasmu selesai. Kotak rahasia sudah kami amankan. Kau berhasil menyelamatkan kotak rahasia itu. Berita buruknya Lorenzo meninggal di laboratorium rahasianya. Dia dibunuh oleh Lord Dalamus karna tidak ingin memberitahu di mana kotak rahasia dan kuncinya berada. Untungnya Lamord Videnta berhasil membawa kunci kotak rahasia itu sebelum Lorenzo terbunuh.”
”Lamord Videnta? Dia bukannya adalah...”
”Ya. Dia memang agen GIA anak buah dari Lord Dalamus.” Muller memotong pembicaraan. ”Namun dia adalah anak dari Lorenzo. Lamord tak akan mungkin menghianati ayahnya sendiri. Jangankan kau, aku saja baru mengetahuinya setelah dia mengatakan hal yang sebenarnya terjadi.” lanjutnya.
”Ah, untunglah berakhir bahagia.” ucap Franc sambil menghela nafas panjang.
”Oh ya, kenalkan supir taksi ini. Namanya adalah Lamord Videnta mata mata terhandal dari agen GIA.” ucap Muller.
Franc tercengang melihat supir taksi itu. Lalu perawat datang ”Dia harus banyak istrahat. Silahkan kalian menunggu di luar.” Ucap perawat kepada dua orang yang menjenguk Franc.
Franc sadar dia memerlukan istirahat yang banyak. Sambil memikirkan betapa anehnya kejadian yang baru saja dia alami. Dia sadar Lamord adalah mata-mata kelas kakap. Tak lama kemudian Franc tertidur pulas bersama mimpi yang indah.


*Ditulis ketika saya menginjak sekolah menengah pertama

Minggu, 27 April 2014

Seperti Mati


Oleh: Michelia Alba

Petang tak lagi kau biasa menyapa
Dalam kantuk tak jua kau merana
Sampai sejenak kau tinggalkan aku yang lupa mati
Serupa zaman yang tak berbalas budi
Usiaku tergesek badan jalan
Hingga rinai yang ranum bergeletakan di sepanjang trotoar
Tiada dengus debu yang berdesir
Sampai kelam butakan dosa di perempatan kematian
Cegat dosa tanpa ampun
Merangkak di bibir dedaunan
Pun merasa bisu, seperti masuk dalam gerbong tanpa peta
Gelap
Seperti mati

Bogor, 3 Oktober 2006

Kamis, 24 April 2014

Lukisan Imaginario



Oleh: Michelia Alba

Manuel melihat ke segala arah dan hasilnya sama saja. Tidak ada satupun yang buruk di matanya. Ratusan lukisan mewarnai bola matanya yang berwarna biru. Sekujur tubuhnya seperti dilumuri semen tetapi pikirannya seperti diwarnai pelangi. Lidahnya tak mampu lagi bersenandung mengalunkan nafas-nafas yang berirama. Di antara keheningannya, antusias yang dimilikinya tak mau diam saja melihat kenyataan. Ia mencoba melawan dan merontokan semen yang melumuri tubuhnya itu. Lalu ia mencoba melangkah dari satu lukisan ke lukisan yang lain.
“Mengapa banyak anak kecil disini?” kata-kata itu seakan memberontak liar di pikirannya, namun mulutnya masih mampu menahan pemberontakan itu. Kemudian mata Manuel kembali meraba sekelilingnya. Semua pengunjung yang melihat lukisan itu menampilkan raut wajah yang bermacam-macam. Ketengangan, kesedihan, ketakutan, kebahagiaan, dan warna wajah yang lain mengalun mesra di benak setiap pengunjung yang datang ke tempat ini. Namun, mereka semua sama, hanya diam terpaku seperti lukisan di depan lukisan.
Ada yang menarik perhatiannya saat itu. Ia melihat seorang anak yang berambut panjang dan berwarna pirang yang berusia sekitar 15 tahun berada tepat di sampingnya. Anak itu sedang melihat lukisan abstrak yang ukurannya 3 x 5 meter. Manuel tidak bisa membayangkan pesan yang tersirat dari lukisan itu. Lukisan itu didominasi dengan warna biru dan ada sedikit pecahan kaca dan berlian yang tergeletak disetiap sudut. Lukisan itu terlalu abstrak dan membingungkan bagi Manuel.
“Dasar anak kecil! Tahu apa dia tentang lukisan. Seharusnya dia sekolah hari ini atau mungkin dia belum dapat uang jajan dari orang tuanya? Dia terlalu polos dan lugu untuk datang ke tempat berbahaya seperti ini. Kemana orang tuanya? Apakah orang tuanya sudah lupa pernah membuat seorang anak?” gumam Manuel di dalam hati.
Setelah beberapa lama memperhatikan anak itu, tiba-tiba dari arah belakang ada yang menepuk pundaknya. “Tuan Juan Manuel Garcia Perez?” tanya orang asing yang baru saja menepuk pundaknya itu.
“Iya benar sekali. Maaf….?”
“Mmm.. Perkenalkan, saya Alessandro Marcelino. Panggil saja saya Marcel. Saya anak dari Tuan Watson. Apakah Anda sedang menunggu beliau?”  ucap Marcel sambil menyodorkan tangannya yang siap diterkam oleh mangsanya tanda sebuah perkenalan.
“Oh ya, tentu saja. Pukul 10.00 saya harus bertemu dengannya.”
“Baiklah. Karena masih ada waktu sekitar 2 jam lagi, perkenankan saya untuk mengajak Anda berkeliling dan memperkenalkan lukisan-lukisan yang ada di sini,” ucap Marcel sambil memperhatikan jam tangan miliknya.
“Dengan senang hati,” ucap Manuel. Mereka berdua berjalan meninggalkan tempat semula secara perlahan-lahan sambil menikmati pemandangan indah yang tertera dalam lukisan.
“Museum ini baru didirikan 2 tahun yang lalu. Ayah saya yang memberikan modal. Namun, dari segi konsep dan ide serta rancangan bangunan tentu bukan ayah saya yang memikirkannya. Ada orang lain yang mungkin Anda sendiri tidak akan percaya bahwa dia yang mempunyai ide membuat museum seindah ini,” ucap Marcel membuka topik pembicaraan.
“Boleh saya bertanya sesuatu?” tanya Manuel.
“Apapun itu.”
“Mengapa banyak anak kecil di sini? Apakah mereka sudah mengerti mengenai lukisan?” Pertanyaan yang semula hinggap dan terkurung dalam hatinya akhirnya meluap juga ke permukaan.
“Hampir semua pengunjung bertanya seperti itu. Aku sering mengatakan bahwa melihat lukisan bukan seperti melihat kapal Titanic yang dapat dilihat secara jelas dan harganya pun sesuai dengan logika. Bukan juga seperti melihat Federica Ridolfi telanjang di dalam sebuah film yang tidak semua orang boleh melihatnya. Melihat lukisan seperti melihat dan menikmati segelas air putih. Semua bisa menikmatinya. Semua bisa mencampurkannya dengan gula, garam, atau sirup. Kemudian, hal yang terpenting adalah tidak ada satupun orang yang mengira bahwa segelas air putih dapat mencapai miliaran dollar.”
“Lalu, mengapa museum ini sangat terkenal? Mengapa banyak orang yang datang? Mengapa lukisan di sini sangat mahal? Apa yang membedakan lukisan di sini dengan lukisan yang lain?”
“Itu artinya Anda belum benar-benar melihat lukisan itu. Orang-orang sering menyebut museum ini ‘il museo immaginario’. Lukisan yang berada di sini adalah sebuah film yang bergerak dan merasuki pikiran manusia. Lukisan itu mampu mengubah pandangan seseorang tentang hidup dan dunia. Imajinasi yang tinggi akan membuat semuanya bergerak dan berjalan. Tidak ada lagi kenyataan dan logika di tempat ini. Semua mengalir dalam alam imajinasi seseorang.”
“Jadi itu sebabnya banyak anak kecil di sini?”
“Mereka mempunyai imajinasi yang tinggi dan sangat liar seperti singa yang mengamuk. Namun, terkadang orang disekitarnya mengekang dan mengurung imajinasi tersebut dalam sebuah pengetahuan yang sempit. Imajinasi itu kemudian terkurung dan terkubur. Kurungan itu terbentuk dari larangan orang tua terhadap anaknya dan ilmu-ilmu pasti yang membentuk seseorang menjadi robot-robot bumi.”
“AAAAAAA….!!!!” tiba-tiba terdengar jeritan serentak dari 8 orang ketika melihat salah satu lukisan.
“Apa yang…..?” tanya Manuel setelah melihat kejadian tersebut.
“Hahaha…” Marcel tertawa kemudian tersenyum geli. “Lukisan yang mereka lihat berjudul ‘Ghosts in the Museum’. Lukisan itu menceritakan tentang pembantaian misterius yang dilakukan di sebuah museum. Awalnya lukisan itu memang tidak terkesan dan tidak menarik. Namun, adegan yang menyeramkan akan muncul secara tiba-tiba di pertengahan.” ucap Marcel.
“Jadi, lukisan ini benar-benar bisa bergerak?”
“Baru saja Anda melihat buktinya,” Marcel menjawab dengan senyum.
 Hati Manuel bergetar melihat keajaiban yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Pikirannya sedang menolak bahwa ini adalah sebuah kenyataan. Akhirnya kesadaran pula yang membawanya yakin bahwa dia sedang terkalahkan oleh anak-anak kecil. Anak kecil tersebut bisa melihat lukisan yang bergerak sedangkan ia tidak mampu melihat ada pergerakan sedikitpun yang terjadi dalam lukisan-lukisan itu.
Ia memikirkan hal lain selain lukisan. Hal itu tentang pekerjaan, percintaan, dan semua masalah yang ia hadapi. ia merasakan adanya kebutaan imajinasi dalam setiap langkah yang dilakukannya. Jangan-jangan ia tak mampu berkembang disebabkan karena alam imajinasinya telah hancur berkeping-keping. Mungkin saja alam imajinasinya sedang kering kerontang.
“Saya harus menanam beberapa tumbuhan dalam alam imajinasi saya. Kemudian menyraminya setiap saat agar tampak subur dan indah ketika dilihat orang lain. Paling tidak saya lebih pandai dari anak-anak kecil. Anak-anak kecil mungkin mempunyai imajinasi, tetapi ia tidak terlalu pandai untuk membuat sebuah rumah. Bahkan untuk mengganti bajunya saja perlu bantuan orang tua,” Manuel kembali berpikir dalam benaknya.
Manuel melontarkan pertanyaan kepada Marcel, “Apakah saya terlalu tua untuk mempunyai imajinasi yang tinggi?”
“Anda tidak langsung terlahir dalam keadaan yang sedemikian besar ini, bukan? Itu artinya Anda tinggal kembali kepada masa kecil Anda. Tidak perlu sungkan, Anda kembali ke masa lalu hanya untuk mengambil imajinasi yang pernah tercipta dalam pikiran Anda,” kata Marcel. “Akan saya tunjukan kepada Anda,” lanjutnya sambil membuka pintu menuju studio lukisan.
Mereka masuk ke sebuah tempat yang menyerupai bioskop. Hanya saja kursi yang ada di tempat itu hanya 20 biji saja. Kemudian mereka duduk di kursi paling depan. Rona wajah yang kebingungan terpampang jelas hingga menyilaukan mata Marcel. Marcel pun tersenyum dan menjelaskan tentang tempat itu.
“Hari ini kita akan menonton lukisan yang berjudul ‘Heysel’,” ucap Marcel.
“Menonton lukisan?” tanya Manuel terheran-heran.
Tirai di hadapan mereka berdua terbuka lebar. Lukisannya pun keluar dan menampakan dominasi warna hijau, hitam gelap dan putih kusam.
Awalnya Manuel hanya melihat lukisan itu adalah lukisan biasa. Setelah beberapa waktu ia mengamati, lukisan itu benar-benar bergerak. Seakan-akan memperlihatkan pertandingan sepak bola dengan segala atributnya. Penonton yang ramai dan antusias. Api yang membara saat sebelum pertandingan dimulai sudah menyala. Lalu perang dimulai antara penonton dan penonton. kemudian hancurlah tubuh dan caci maki di antara penonton. Mereka hancur bersama lapangan yang mereka singgahi. Lukisan itu benar-benar menceritakan sebuah tragedi menyeramkan dan menegangkan.
Manuel hanya bisa terdiam dan tak berkutik melihat sesuatu yang aneh di depan matanya. Ia merasa sangat puas dan menyenangkan berada di tempat itu. Baru pertama kali jiwanya terasa bebas dan tenang tanpa ada aturan yang mengikat.
“Ayah saya tak pernah salah mengajak orang untuk datang ke tempat ini. Apalagi Anda berasal dari Spanyol. Biasanya orang yang diajak oleh ayah saya adalah orang-orang yang tidak percaya akan imajinasi dan keajaiban. Mereka selalu terpaku dengan masalah pekerjaan dan keuangan yang mereka miliki. Percayalah imajinasi dapat membuat orang senang dan kenyang. Einstein pernah berkata bahwa logika akan membawa Anda dari A ke B tetapi imajinasi akan membawa Anda kemana-mana. Saya hanya ingin mengucapkan selamat datang di Italia,” ucap Marcel.
“Mungkin ini adalah pertanyaan terakhir dari saya. Siapa yang membuat ide semacam ini? Sungguh, saya sangat ingin tahu akan hal itu. Bagaimanapun orang lain tidak percaya, mungkin saya bisa mempercayainya.”
“Ini sulit, tapi baiklah. Tadi Anda sempat melihat anak kecil berambut panjang dan berwarna pirang. Ia sedang melihat lukisan berjudul ‘Costa Concordia’. Lukisan itu menceritakan tentang tenggelamnya kapal Costa Concordia pada tanggal 13 Januari 2013. Lukisan itu dilukis oleh seseorang yang bernama Aberto Cesar. Ia juga yang telah membuat ide dan konsep lukisan seperti ini. Kemudian ia merancang bangunan semegah ini. Lalu ayah saya mengaktualisasikannya menjadi seperti ini. Dan yang tak bisa Anda percaya adalah Anda pernah bertemu dengannya.”
“Kapan? Dimana?”
“Anak kecil yang berambut panjang dan berwarna pirang itu sedang melihat lukisan buatannya sendiri.”
“Apaaa?”

Surakarta, 4 Juli 2014

 *Menjadi juara 2 Lomba Cerpen Festival Budaya Surakarta






Rabu, 23 April 2014

Dua Sisi

Oleh: Michelia Alba

Hidungnya kembang kempis
Mulutnya semerbak aneka bunga bangkai
Raut wajahnya pilu dan rusak
Kancing bajunya terbuka, tersingkap ke atas pemikirannya
Harta bertengger di ketiaknya
Turun ke bawah sampai kaki, terlihat logam mulia dan emas
Wanita dari jauh merongrong
Berbagi kasih di tingkap merapuh
Satu jua tak bisa hilang nafsunya

Sementara rakyat jelata sempoyongan di tepi kali
Menggali puing-puing sampah
Hanya bertemu dengan sesuap ikan mati
Siapa punya kepala?
Dia yang termakan bau pesing
Akhirnya jatuh di sungai tiada bertepi
Jeritan tak bernada
Jauh bagai lenyap di antara selongsong jiwa

Satu bersenang dan satu bersedih
Bagai dua sisi mata uang berbeda nominal
Sampai kapan ini terus berlangsung?
Kasihan
Dosa tapi tak tahu
Mereka sudah gila atau masih perjaka?
Mereka mungkin belum baliq

Selasa, 22 April 2014

Bisa

Oleh: Michelia Alba

Sejenak ku terpasung di reruntuhan setengah zaman
Semacam tumbal bagi sang denawa
Terpotong empat bagianlah tubuhku
Satu merangkak meminta nyawa
Satu merangkak meminta ibu
Satu merangkak meminta uang
Satu merangkak meminta pulang
Juga dengan darah darah yang senantiasa mengalir
Lewat jantung dan lamunan seketika
Meratap mengaung diberbagai jeritan
Sampai hilang di tepian hutan tak berpenghuni
Litak sudah harapanku
Raih angan tak kunjung jua
Sampai kini

Minggu, 06 April 2014

Tanahairanumia



Oleh: Michelia Alba

Atas nama daratan yang merakyat
            dan lautan yang berawan
aku di atas bumi katulistiwa
terbentang ribuan nafas dalam sekali tenggak
Betapa megah tanah itu bertengger di samudra
Oh, surga dari segala zaman
Sejuk ini menerpa batinku, menerkam jiwaku
Dengar wanginya!
Menggiurkan bibir-bibir ramah disepanjang jelamprang biru sangkala pagi melambai
Aaaah….. ini surga?
Elok parasnya, seketika melur berguguran
Segara hijau mewarnai rabun senja milik pertiwi raya
Tentang aku tak ingin mati
dari bumi selama beliau bernafas
Lihat juga suaranya!
atas nama sejarah dan waktu
sampai tegak beliau berlenggok di tengah keramaian
Katakan wahai zamrud yang ranum!
Ini surga?
suaranya sepoi-sepoi sekilas seperti semerbak seribumi
taram berujung malam
tak hilang sinarnya dari pekat
Rupanya terdapat lentera pelangi di dasar kolam,
teratai menari di dalam pelita,
jeladri berbisik di tengah danau,
sanubari yang mekar di pelupuk mata,
merpati mendesir di atas kerajaan

Maka atas nama sepasang bulan purnama
yang bergerak pagi dan sore hari
Sungguh berada… tanahku ini
Tak habis jiwanya diterpa serampang
Layaknya Batara yang turun dari Sanghiang
tercipta sebagai langit daripada bumi
sebagai mega daripada hujan
Ini surga?    
Marilah tiba di sini!
Dimana hutan firdaus terlentang lagi sembahyang
Dimana pucuk samudra Hindia bertahta
Tanah lagi maha berair
Sungguh tercipta bagi desir awan yang menyeruak
Marilah tiba di sini bersama hamba!
Tiada nista lagi dusta
Marilah berpesta beserta Sumatra!
Marilah tiba di sini bersama hamba!
di tanah lagi maha berair




27 November 2011

Sabtu, 05 April 2014

Sayembara Enam Puluh Lima


Oleh: Michelia Alba

Wahai kau yang berani!
Barang siapa yang tampak di wajahku ini
Ketika tiada lagi perahu kan terbenam
Sampai malam menjahit kening dan kerongkonganku
Tampak segan jemalaku kian rapat
Seperti mayat….
Kirik beradu beladu di waktu silam
Tepat di enam puluh lima jatuh tengkurap
Oh gelap…
Sungguh gelap di lorong buaya ini
Dia yang tercipta di atas matahari cucu-cucuku
Meniupkan lilin yang tak lagi menggema di sebuah rakyat kota batu
Tak jua kini melambai sepi di penderitaan kian merambat
Wahai kau yang suci!
Bangunkan aku di saat pita simpul tak terikat lengan baju merahku
Disaat kain putih menyingkap ketiak “bau tanah” airku
Seperti yang kini kau tanamkan bumi kecil di kota raya
Pepepohonan mengikat ranum daun nasakom
Tiada lagi isak hingga pelatuk menyapa rerumputan
Peluru tak berdaya merasuk hampa tanah kosong
Jiwa terang hingga tak jua ditelan hama
Aku yang bernyawa tak lagi
Hanya berpatung di pekarangan Pondok Gede
Rambut menghelaikan cabuknya di atas janji haram
Aku tergeletak menyamai racun racun yang :
sama rata sama ratu sama rasa sama raga sama ratap sama rapuh
Bosan!

Barang siapa?
Yang tampak di wajahku ini
Aku ingin meratap meraung merajai alam semesta raya hingga matahari -
tak lagi menyala, hingga Sabang dan Merauke merangkak di pagi hari
Aku ingin tiba waktuku menggenggam pembuluh nyawa salira
Tiada lagi ku lepas sampai lemas hingga laras merampas parasmu.
Akan lagi kujatuhkan tiang bendera mereka yang biadap
Sampai jatuh urat nadi tatkala hujan meranggas di bibir dedaunan
Akan tiba saatnya kupecahkan nadi dan pergelangan otak kananmu
Dan kuinjak-injak kepingan telinga dan mata yang tabu itu.
Barang siapa?
Melayang kan tak terhingga jatuh di pematang
Merobek kain monumen pancasila
Hingga petang hudangkan mata irama pendosaan
Lalu kami berkata:
“Pembunuh!”
“Mati! “
“September!”
“Enam Puluh Lima!”
Tersudut di jangkar samudra hindia
Ketika bibir tergeletak di sepanjang jelamprang merah darah, menggaung!
Kaulah yang membunuh ratu ratu kerajaan Nusantara Raya!
Tak terkecuali kau yang aku tau!
Tak juga kau yang tanya siapa aku!
Matilah dosa dan doa yang terinjak rapi di semak semak bulan purnama
Barang siapa?
Yang tak merasa kami berlumur sampah
Atas belati api serta dimainkan di hadapan dan di harapanku
Sirna esok hari seakan mati menantang laju ombak di tepi siantar
Bayangkan mati! Bayangkan mati!
Kau mengabaikan aku di pemakaman kemarin sore!

Barang siapa?
Wahai salira yang ada di sana!
Seperti inikah engkau dimalam hari, sampai kau habiskan darah darah pejuangmu
Tidak sekali serta merta menengok siapa dan apa aku ini.
Tak jua kau pikir aku tiba di pelupuk matamu
Kau membabi buta maka aku membasi busuk
Bilamana esok petang jangan lagi datang
Ketika itu jasadmu telah kuraih
Sekarang sudahlah
Sudah habis zaman purbakala sudah habis zaman reformasi
Kini bendera agak condong ke arah barat
Ingatkah wahai beliau beliau saat:
Bendera itu ditegakan?
Sampah serapah itu dipendengarkan?
Kini hitam sudah kelabu
Tidurlah bung!
Hidupkan kembali jiwa-jiwa mu yang tergeletak di tempurung
Hidupkan kembali wajah-wajahmu yang kian keresot
Hidupkan kembali putra-putramu yang terbengkalai menjadi bangkai
Tegaklah kamu di tiang lapang
Dan barang siapa?
Hendak andai aku yang mati bisa bersuara
Maka lantunan sejarah mungkin tiada lagi menanya