Kamis, 24 April 2014

Lukisan Imaginario



Oleh: Michelia Alba

Manuel melihat ke segala arah dan hasilnya sama saja. Tidak ada satupun yang buruk di matanya. Ratusan lukisan mewarnai bola matanya yang berwarna biru. Sekujur tubuhnya seperti dilumuri semen tetapi pikirannya seperti diwarnai pelangi. Lidahnya tak mampu lagi bersenandung mengalunkan nafas-nafas yang berirama. Di antara keheningannya, antusias yang dimilikinya tak mau diam saja melihat kenyataan. Ia mencoba melawan dan merontokan semen yang melumuri tubuhnya itu. Lalu ia mencoba melangkah dari satu lukisan ke lukisan yang lain.
“Mengapa banyak anak kecil disini?” kata-kata itu seakan memberontak liar di pikirannya, namun mulutnya masih mampu menahan pemberontakan itu. Kemudian mata Manuel kembali meraba sekelilingnya. Semua pengunjung yang melihat lukisan itu menampilkan raut wajah yang bermacam-macam. Ketengangan, kesedihan, ketakutan, kebahagiaan, dan warna wajah yang lain mengalun mesra di benak setiap pengunjung yang datang ke tempat ini. Namun, mereka semua sama, hanya diam terpaku seperti lukisan di depan lukisan.
Ada yang menarik perhatiannya saat itu. Ia melihat seorang anak yang berambut panjang dan berwarna pirang yang berusia sekitar 15 tahun berada tepat di sampingnya. Anak itu sedang melihat lukisan abstrak yang ukurannya 3 x 5 meter. Manuel tidak bisa membayangkan pesan yang tersirat dari lukisan itu. Lukisan itu didominasi dengan warna biru dan ada sedikit pecahan kaca dan berlian yang tergeletak disetiap sudut. Lukisan itu terlalu abstrak dan membingungkan bagi Manuel.
“Dasar anak kecil! Tahu apa dia tentang lukisan. Seharusnya dia sekolah hari ini atau mungkin dia belum dapat uang jajan dari orang tuanya? Dia terlalu polos dan lugu untuk datang ke tempat berbahaya seperti ini. Kemana orang tuanya? Apakah orang tuanya sudah lupa pernah membuat seorang anak?” gumam Manuel di dalam hati.
Setelah beberapa lama memperhatikan anak itu, tiba-tiba dari arah belakang ada yang menepuk pundaknya. “Tuan Juan Manuel Garcia Perez?” tanya orang asing yang baru saja menepuk pundaknya itu.
“Iya benar sekali. Maaf….?”
“Mmm.. Perkenalkan, saya Alessandro Marcelino. Panggil saja saya Marcel. Saya anak dari Tuan Watson. Apakah Anda sedang menunggu beliau?”  ucap Marcel sambil menyodorkan tangannya yang siap diterkam oleh mangsanya tanda sebuah perkenalan.
“Oh ya, tentu saja. Pukul 10.00 saya harus bertemu dengannya.”
“Baiklah. Karena masih ada waktu sekitar 2 jam lagi, perkenankan saya untuk mengajak Anda berkeliling dan memperkenalkan lukisan-lukisan yang ada di sini,” ucap Marcel sambil memperhatikan jam tangan miliknya.
“Dengan senang hati,” ucap Manuel. Mereka berdua berjalan meninggalkan tempat semula secara perlahan-lahan sambil menikmati pemandangan indah yang tertera dalam lukisan.
“Museum ini baru didirikan 2 tahun yang lalu. Ayah saya yang memberikan modal. Namun, dari segi konsep dan ide serta rancangan bangunan tentu bukan ayah saya yang memikirkannya. Ada orang lain yang mungkin Anda sendiri tidak akan percaya bahwa dia yang mempunyai ide membuat museum seindah ini,” ucap Marcel membuka topik pembicaraan.
“Boleh saya bertanya sesuatu?” tanya Manuel.
“Apapun itu.”
“Mengapa banyak anak kecil di sini? Apakah mereka sudah mengerti mengenai lukisan?” Pertanyaan yang semula hinggap dan terkurung dalam hatinya akhirnya meluap juga ke permukaan.
“Hampir semua pengunjung bertanya seperti itu. Aku sering mengatakan bahwa melihat lukisan bukan seperti melihat kapal Titanic yang dapat dilihat secara jelas dan harganya pun sesuai dengan logika. Bukan juga seperti melihat Federica Ridolfi telanjang di dalam sebuah film yang tidak semua orang boleh melihatnya. Melihat lukisan seperti melihat dan menikmati segelas air putih. Semua bisa menikmatinya. Semua bisa mencampurkannya dengan gula, garam, atau sirup. Kemudian, hal yang terpenting adalah tidak ada satupun orang yang mengira bahwa segelas air putih dapat mencapai miliaran dollar.”
“Lalu, mengapa museum ini sangat terkenal? Mengapa banyak orang yang datang? Mengapa lukisan di sini sangat mahal? Apa yang membedakan lukisan di sini dengan lukisan yang lain?”
“Itu artinya Anda belum benar-benar melihat lukisan itu. Orang-orang sering menyebut museum ini ‘il museo immaginario’. Lukisan yang berada di sini adalah sebuah film yang bergerak dan merasuki pikiran manusia. Lukisan itu mampu mengubah pandangan seseorang tentang hidup dan dunia. Imajinasi yang tinggi akan membuat semuanya bergerak dan berjalan. Tidak ada lagi kenyataan dan logika di tempat ini. Semua mengalir dalam alam imajinasi seseorang.”
“Jadi itu sebabnya banyak anak kecil di sini?”
“Mereka mempunyai imajinasi yang tinggi dan sangat liar seperti singa yang mengamuk. Namun, terkadang orang disekitarnya mengekang dan mengurung imajinasi tersebut dalam sebuah pengetahuan yang sempit. Imajinasi itu kemudian terkurung dan terkubur. Kurungan itu terbentuk dari larangan orang tua terhadap anaknya dan ilmu-ilmu pasti yang membentuk seseorang menjadi robot-robot bumi.”
“AAAAAAA….!!!!” tiba-tiba terdengar jeritan serentak dari 8 orang ketika melihat salah satu lukisan.
“Apa yang…..?” tanya Manuel setelah melihat kejadian tersebut.
“Hahaha…” Marcel tertawa kemudian tersenyum geli. “Lukisan yang mereka lihat berjudul ‘Ghosts in the Museum’. Lukisan itu menceritakan tentang pembantaian misterius yang dilakukan di sebuah museum. Awalnya lukisan itu memang tidak terkesan dan tidak menarik. Namun, adegan yang menyeramkan akan muncul secara tiba-tiba di pertengahan.” ucap Marcel.
“Jadi, lukisan ini benar-benar bisa bergerak?”
“Baru saja Anda melihat buktinya,” Marcel menjawab dengan senyum.
 Hati Manuel bergetar melihat keajaiban yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Pikirannya sedang menolak bahwa ini adalah sebuah kenyataan. Akhirnya kesadaran pula yang membawanya yakin bahwa dia sedang terkalahkan oleh anak-anak kecil. Anak kecil tersebut bisa melihat lukisan yang bergerak sedangkan ia tidak mampu melihat ada pergerakan sedikitpun yang terjadi dalam lukisan-lukisan itu.
Ia memikirkan hal lain selain lukisan. Hal itu tentang pekerjaan, percintaan, dan semua masalah yang ia hadapi. ia merasakan adanya kebutaan imajinasi dalam setiap langkah yang dilakukannya. Jangan-jangan ia tak mampu berkembang disebabkan karena alam imajinasinya telah hancur berkeping-keping. Mungkin saja alam imajinasinya sedang kering kerontang.
“Saya harus menanam beberapa tumbuhan dalam alam imajinasi saya. Kemudian menyraminya setiap saat agar tampak subur dan indah ketika dilihat orang lain. Paling tidak saya lebih pandai dari anak-anak kecil. Anak-anak kecil mungkin mempunyai imajinasi, tetapi ia tidak terlalu pandai untuk membuat sebuah rumah. Bahkan untuk mengganti bajunya saja perlu bantuan orang tua,” Manuel kembali berpikir dalam benaknya.
Manuel melontarkan pertanyaan kepada Marcel, “Apakah saya terlalu tua untuk mempunyai imajinasi yang tinggi?”
“Anda tidak langsung terlahir dalam keadaan yang sedemikian besar ini, bukan? Itu artinya Anda tinggal kembali kepada masa kecil Anda. Tidak perlu sungkan, Anda kembali ke masa lalu hanya untuk mengambil imajinasi yang pernah tercipta dalam pikiran Anda,” kata Marcel. “Akan saya tunjukan kepada Anda,” lanjutnya sambil membuka pintu menuju studio lukisan.
Mereka masuk ke sebuah tempat yang menyerupai bioskop. Hanya saja kursi yang ada di tempat itu hanya 20 biji saja. Kemudian mereka duduk di kursi paling depan. Rona wajah yang kebingungan terpampang jelas hingga menyilaukan mata Marcel. Marcel pun tersenyum dan menjelaskan tentang tempat itu.
“Hari ini kita akan menonton lukisan yang berjudul ‘Heysel’,” ucap Marcel.
“Menonton lukisan?” tanya Manuel terheran-heran.
Tirai di hadapan mereka berdua terbuka lebar. Lukisannya pun keluar dan menampakan dominasi warna hijau, hitam gelap dan putih kusam.
Awalnya Manuel hanya melihat lukisan itu adalah lukisan biasa. Setelah beberapa waktu ia mengamati, lukisan itu benar-benar bergerak. Seakan-akan memperlihatkan pertandingan sepak bola dengan segala atributnya. Penonton yang ramai dan antusias. Api yang membara saat sebelum pertandingan dimulai sudah menyala. Lalu perang dimulai antara penonton dan penonton. kemudian hancurlah tubuh dan caci maki di antara penonton. Mereka hancur bersama lapangan yang mereka singgahi. Lukisan itu benar-benar menceritakan sebuah tragedi menyeramkan dan menegangkan.
Manuel hanya bisa terdiam dan tak berkutik melihat sesuatu yang aneh di depan matanya. Ia merasa sangat puas dan menyenangkan berada di tempat itu. Baru pertama kali jiwanya terasa bebas dan tenang tanpa ada aturan yang mengikat.
“Ayah saya tak pernah salah mengajak orang untuk datang ke tempat ini. Apalagi Anda berasal dari Spanyol. Biasanya orang yang diajak oleh ayah saya adalah orang-orang yang tidak percaya akan imajinasi dan keajaiban. Mereka selalu terpaku dengan masalah pekerjaan dan keuangan yang mereka miliki. Percayalah imajinasi dapat membuat orang senang dan kenyang. Einstein pernah berkata bahwa logika akan membawa Anda dari A ke B tetapi imajinasi akan membawa Anda kemana-mana. Saya hanya ingin mengucapkan selamat datang di Italia,” ucap Marcel.
“Mungkin ini adalah pertanyaan terakhir dari saya. Siapa yang membuat ide semacam ini? Sungguh, saya sangat ingin tahu akan hal itu. Bagaimanapun orang lain tidak percaya, mungkin saya bisa mempercayainya.”
“Ini sulit, tapi baiklah. Tadi Anda sempat melihat anak kecil berambut panjang dan berwarna pirang. Ia sedang melihat lukisan berjudul ‘Costa Concordia’. Lukisan itu menceritakan tentang tenggelamnya kapal Costa Concordia pada tanggal 13 Januari 2013. Lukisan itu dilukis oleh seseorang yang bernama Aberto Cesar. Ia juga yang telah membuat ide dan konsep lukisan seperti ini. Kemudian ia merancang bangunan semegah ini. Lalu ayah saya mengaktualisasikannya menjadi seperti ini. Dan yang tak bisa Anda percaya adalah Anda pernah bertemu dengannya.”
“Kapan? Dimana?”
“Anak kecil yang berambut panjang dan berwarna pirang itu sedang melihat lukisan buatannya sendiri.”
“Apaaa?”

Surakarta, 4 Juli 2014

 *Menjadi juara 2 Lomba Cerpen Festival Budaya Surakarta






Tidak ada komentar:

Posting Komentar