Oleh: Michelia Alba
Manuel
melihat ke segala arah dan hasilnya sama saja. Tidak ada satupun yang buruk di
matanya. Ratusan lukisan mewarnai bola matanya yang berwarna biru. Sekujur
tubuhnya seperti dilumuri semen tetapi pikirannya seperti diwarnai pelangi.
Lidahnya tak mampu lagi bersenandung mengalunkan nafas-nafas yang berirama. Di
antara keheningannya, antusias yang dimilikinya tak mau diam saja melihat
kenyataan. Ia mencoba melawan dan merontokan semen yang melumuri tubuhnya itu. Lalu
ia mencoba melangkah dari satu lukisan ke lukisan yang lain.
“Mengapa
banyak anak kecil disini?” kata-kata itu seakan memberontak liar di pikirannya,
namun mulutnya masih mampu menahan pemberontakan itu. Kemudian mata Manuel
kembali meraba sekelilingnya. Semua pengunjung yang melihat lukisan itu
menampilkan raut wajah yang bermacam-macam. Ketengangan, kesedihan, ketakutan,
kebahagiaan, dan warna wajah yang lain mengalun mesra di benak setiap
pengunjung yang datang ke tempat ini. Namun, mereka semua sama, hanya diam
terpaku seperti lukisan di depan lukisan.
Ada
yang menarik perhatiannya saat itu. Ia melihat seorang anak yang berambut
panjang dan berwarna pirang yang berusia sekitar 15 tahun berada tepat di
sampingnya. Anak itu sedang melihat lukisan abstrak yang ukurannya 3 x 5 meter.
Manuel tidak bisa membayangkan pesan yang tersirat dari lukisan itu. Lukisan
itu didominasi dengan warna biru dan ada sedikit pecahan kaca dan berlian yang
tergeletak disetiap sudut. Lukisan itu terlalu abstrak dan membingungkan bagi
Manuel.
“Dasar
anak kecil! Tahu apa dia tentang lukisan. Seharusnya dia sekolah hari ini atau
mungkin dia belum dapat uang jajan dari orang tuanya? Dia terlalu polos dan
lugu untuk datang ke tempat berbahaya seperti ini. Kemana orang tuanya? Apakah
orang tuanya sudah lupa pernah membuat seorang anak?” gumam Manuel di dalam
hati.
Setelah
beberapa lama memperhatikan anak itu, tiba-tiba dari arah belakang ada yang
menepuk pundaknya. “Tuan Juan Manuel Garcia Perez?” tanya orang asing yang baru
saja menepuk pundaknya itu.
“Iya
benar sekali. Maaf….?”
“Mmm..
Perkenalkan, saya Alessandro Marcelino. Panggil saja saya Marcel. Saya anak
dari Tuan Watson. Apakah Anda sedang menunggu beliau?” ucap Marcel sambil menyodorkan tangannya yang
siap diterkam oleh mangsanya tanda sebuah perkenalan.
“Oh
ya, tentu saja. Pukul 10.00 saya harus bertemu dengannya.”
“Baiklah.
Karena masih ada waktu sekitar 2 jam lagi, perkenankan saya untuk mengajak Anda
berkeliling dan memperkenalkan lukisan-lukisan yang ada di sini,” ucap Marcel
sambil memperhatikan jam tangan miliknya.
“Dengan
senang hati,” ucap Manuel. Mereka berdua berjalan meninggalkan tempat semula
secara perlahan-lahan sambil menikmati pemandangan indah yang tertera dalam
lukisan.
“Museum
ini baru didirikan 2 tahun yang lalu. Ayah saya yang memberikan modal. Namun,
dari segi konsep dan ide serta rancangan bangunan tentu bukan ayah saya yang
memikirkannya. Ada orang lain yang mungkin Anda sendiri tidak akan percaya
bahwa dia yang mempunyai ide membuat museum seindah ini,” ucap Marcel membuka
topik pembicaraan.
“Boleh
saya bertanya sesuatu?” tanya Manuel.
“Apapun
itu.”
“Mengapa
banyak anak kecil di sini? Apakah mereka sudah mengerti mengenai lukisan?”
Pertanyaan yang semula hinggap dan terkurung dalam hatinya akhirnya meluap juga
ke permukaan.
“Hampir
semua pengunjung bertanya seperti itu. Aku sering mengatakan bahwa melihat
lukisan bukan seperti melihat kapal Titanic yang dapat dilihat secara jelas dan
harganya pun sesuai dengan logika. Bukan juga seperti melihat Federica Ridolfi
telanjang di dalam sebuah film yang tidak semua orang boleh melihatnya. Melihat
lukisan seperti melihat dan menikmati segelas air putih. Semua bisa
menikmatinya. Semua bisa mencampurkannya dengan gula, garam, atau sirup.
Kemudian, hal yang terpenting adalah tidak ada satupun orang yang mengira bahwa
segelas air putih dapat mencapai miliaran dollar.”
“Lalu,
mengapa museum ini sangat terkenal? Mengapa banyak orang yang datang? Mengapa
lukisan di sini sangat mahal? Apa yang membedakan lukisan di sini dengan
lukisan yang lain?”
“Itu
artinya Anda belum benar-benar melihat lukisan itu. Orang-orang sering menyebut
museum ini ‘il museo immaginario’. Lukisan
yang berada di sini adalah sebuah film yang bergerak dan merasuki pikiran
manusia. Lukisan itu mampu mengubah pandangan seseorang tentang hidup dan
dunia. Imajinasi yang tinggi akan membuat semuanya bergerak dan berjalan. Tidak
ada lagi kenyataan dan logika di tempat ini. Semua mengalir dalam alam
imajinasi seseorang.”
“Jadi
itu sebabnya banyak anak kecil di sini?”
“Mereka
mempunyai imajinasi yang tinggi dan sangat liar seperti singa yang mengamuk.
Namun, terkadang orang disekitarnya mengekang dan mengurung imajinasi tersebut
dalam sebuah pengetahuan yang sempit. Imajinasi itu kemudian terkurung dan
terkubur. Kurungan itu terbentuk dari larangan orang tua terhadap anaknya dan
ilmu-ilmu pasti yang membentuk seseorang menjadi robot-robot bumi.”
“AAAAAAA….!!!!”
tiba-tiba terdengar jeritan serentak dari 8 orang ketika melihat salah satu
lukisan.
“Apa
yang…..?” tanya Manuel setelah melihat kejadian tersebut.
“Hahaha…”
Marcel tertawa kemudian tersenyum geli. “Lukisan yang mereka lihat berjudul ‘Ghosts in the Museum’. Lukisan itu
menceritakan tentang pembantaian misterius yang dilakukan di sebuah museum.
Awalnya lukisan itu memang tidak terkesan dan tidak menarik. Namun, adegan yang
menyeramkan akan muncul secara tiba-tiba di pertengahan.” ucap Marcel.
“Jadi,
lukisan ini benar-benar bisa bergerak?”
“Baru
saja Anda melihat buktinya,” Marcel menjawab dengan senyum.
Hati Manuel bergetar
melihat keajaiban yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Pikirannya sedang
menolak bahwa ini adalah sebuah kenyataan. Akhirnya kesadaran pula yang
membawanya yakin bahwa dia sedang terkalahkan oleh anak-anak kecil. Anak kecil
tersebut bisa melihat lukisan yang bergerak sedangkan ia tidak mampu melihat
ada pergerakan sedikitpun yang terjadi dalam lukisan-lukisan itu.
Ia
memikirkan hal lain selain lukisan. Hal itu tentang pekerjaan, percintaan, dan
semua masalah yang ia hadapi. ia merasakan adanya kebutaan imajinasi dalam
setiap langkah yang dilakukannya. Jangan-jangan ia tak mampu berkembang
disebabkan karena alam imajinasinya telah hancur berkeping-keping. Mungkin saja
alam imajinasinya sedang kering kerontang.
“Saya
harus menanam beberapa tumbuhan dalam alam imajinasi saya. Kemudian menyraminya
setiap saat agar tampak subur dan indah ketika dilihat orang lain. Paling tidak
saya lebih pandai dari anak-anak kecil. Anak-anak kecil mungkin mempunyai
imajinasi, tetapi ia tidak terlalu pandai untuk membuat sebuah rumah. Bahkan
untuk mengganti bajunya saja perlu bantuan orang tua,” Manuel kembali berpikir
dalam benaknya.
Manuel
melontarkan pertanyaan kepada Marcel, “Apakah saya terlalu tua untuk mempunyai
imajinasi yang tinggi?”
“Anda
tidak langsung terlahir dalam keadaan yang sedemikian besar ini, bukan? Itu
artinya Anda tinggal kembali kepada masa kecil Anda. Tidak perlu sungkan, Anda
kembali ke masa lalu hanya untuk mengambil imajinasi yang pernah tercipta dalam
pikiran Anda,” kata Marcel. “Akan saya tunjukan kepada Anda,” lanjutnya sambil
membuka pintu menuju studio lukisan.
Mereka
masuk ke sebuah tempat yang menyerupai bioskop. Hanya saja kursi yang ada di
tempat itu hanya 20 biji saja. Kemudian mereka duduk di kursi paling depan.
Rona wajah yang kebingungan terpampang jelas hingga menyilaukan mata Marcel.
Marcel pun tersenyum dan menjelaskan tentang tempat itu.
“Hari
ini kita akan menonton lukisan yang berjudul ‘Heysel’,” ucap Marcel.
“Menonton
lukisan?” tanya Manuel terheran-heran.
Tirai
di hadapan mereka berdua terbuka lebar. Lukisannya pun keluar dan menampakan dominasi
warna hijau, hitam gelap dan putih kusam.
Awalnya
Manuel hanya melihat lukisan itu adalah lukisan biasa. Setelah beberapa waktu
ia mengamati, lukisan itu benar-benar bergerak. Seakan-akan memperlihatkan
pertandingan sepak bola dengan segala atributnya. Penonton yang ramai dan
antusias. Api yang membara saat sebelum pertandingan dimulai sudah menyala. Lalu
perang dimulai antara penonton dan penonton. kemudian hancurlah tubuh dan caci
maki di antara penonton. Mereka hancur bersama lapangan yang mereka singgahi.
Lukisan itu benar-benar menceritakan sebuah tragedi menyeramkan dan
menegangkan.
Manuel
hanya bisa terdiam dan tak berkutik melihat sesuatu yang aneh di depan matanya.
Ia merasa sangat puas dan menyenangkan berada di tempat itu. Baru pertama kali
jiwanya terasa bebas dan tenang tanpa ada aturan yang mengikat.
“Ayah
saya tak pernah salah mengajak orang untuk datang ke tempat ini. Apalagi Anda
berasal dari Spanyol. Biasanya orang yang diajak oleh ayah saya adalah
orang-orang yang tidak percaya akan imajinasi dan keajaiban. Mereka selalu
terpaku dengan masalah pekerjaan dan keuangan yang mereka miliki. Percayalah
imajinasi dapat membuat orang senang dan kenyang. Einstein pernah berkata bahwa
logika akan membawa Anda dari A ke B tetapi imajinasi akan membawa Anda
kemana-mana. Saya hanya ingin mengucapkan selamat datang di Italia,” ucap
Marcel.
“Mungkin
ini adalah pertanyaan terakhir dari saya. Siapa yang membuat ide semacam ini?
Sungguh, saya sangat ingin tahu akan hal itu. Bagaimanapun orang lain tidak
percaya, mungkin saya bisa mempercayainya.”
“Ini
sulit, tapi baiklah. Tadi Anda sempat melihat anak kecil berambut panjang dan
berwarna pirang. Ia sedang melihat lukisan berjudul ‘Costa Concordia’. Lukisan
itu menceritakan tentang tenggelamnya kapal Costa Concordia pada tanggal 13
Januari 2013. Lukisan itu dilukis oleh seseorang yang bernama Aberto Cesar. Ia
juga yang telah membuat ide dan konsep lukisan seperti ini. Kemudian ia
merancang bangunan semegah ini. Lalu ayah saya mengaktualisasikannya menjadi
seperti ini. Dan yang tak bisa Anda percaya adalah Anda pernah bertemu
dengannya.”
“Kapan?
Dimana?”
“Anak
kecil yang berambut panjang dan berwarna pirang itu sedang melihat lukisan
buatannya sendiri.”
“Apaaa?”
Surakarta, 4 Juli 2014
*Menjadi juara 2 Lomba Cerpen Festival Budaya Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar