Senin, 30 Juni 2014

Berita: Meriahnya Pembukaan Sanlat Al-Muayyad


Pembukaan pasantren Al-Muayyad diawali dengan iringan perkusi Hadrah Ayyada, Minggu 29 Juni 2014 pukul 16.00 di halaman Madrasah Aliyah Al-Muayyad, Mangkuyudan, Surakarta. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan pembacaan ayat suci Alquran oleh Siti Nur Rochimah, alumni Madrasah Aliyah Al-Muayyad. Tema yang diusung dalam acara pasantren kilat tersebut adalah Kader Aswaja Bangsa Indonesia.
“Kami berterima kasih kepada keluarga alumni Al-muayyad. Saya berharap anak-anak yang dititipkan selama tujuh hari di pasantren ini menjadi kader-kader tunas Ahlussunah wa Al jamaah dan semoga dapat menjadi perkenalan untuk dilanjutkan ke tingkat selanjutnya dalam pondok pasantren Al-Muayyad,” ujar H. Habib Mustofa, wali dari salah satu anak peserta pada saat memberikan sambutan pembukaan.
Drs. KH. Abdul Rozaq Shofawi dalam pidatonya, berharap agar para peserta yang dititipkan di pasantren tersebut mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan bisa menuju kepada yang diridhai Allah swt. Setelah berpidato, pengasuh pondok pesantren Al-Muayyad tersebut membuka acara pasantren kilat yang bertepatan dengan 1 Ramadan 1435 H itu dengan pembacaan basmalah.
Menurut KH. Agus Humawan, tujuan diselenggarakan acara ini agar anak-anak dapat menjadi salah satu generasi penerus yang mempertahankan negara kesatuan republik Indonesia.  Menurutnya, anak-anak harus dididik sejak dini untuk menghormati pancasila. Pancasila merupakan hasil dari perjuangan para ulama-ulama pada masanya. Dia juga memaparkaan bahwa kondisi masyarakat Indonesia sudah mulai memprihatinkan, maka dari itu dibentuklah acara semacam ini .
Setelah doa yang diucapkan oleh Agus Humawan, para hadirin dipersilakan istirahat sembari menunggu buka puasa. Pembukaan acara ini ditutup dengan buka bersama. (Mg1/Mg4)  

Radar Solo, 30 Juni 2014

Tausiah: Keutamaan di Balik Sebutan Bulan Ramadan





Narasumber: Drs. Ahmad Taufiq, M. Ag.
Ketua Jurusan Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret dan Ketua ADVISI Jawa Tengah


Penyebutan bulan Ramadan bagi umat Islam bermacam-macam. Pertama, bulan Ramadan disebut dengan bulan Shiyam yang artinya setiap umat Islam yang sudah memenuhi syarat, wajib hukumnya untuk melakukan puasa Ramadan. Sebagaimana firman Allah SWT: “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS 2:183)”. Kedua, bulan Ramadan disebut dengan Syahrul Qur’an, karena pada bulan ini Allah menurunkan Alquran pertama kali. Maka dari itu, umat Islam pada Bulan Ramadan diperintahkan untuk memperbanyak membaca Alquran.
Ketiga, Syahrun Azhim yaitu bulan yang agung. Disebut seperti itu, karena pada bulan Ramadan terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan, yaitu Lailatul Qadar. Keempat, Syahrun Mubarok yaitu bulan yang penuh dengan keberkahan. Rasul Shallallahu ‘alaihi Wassalam pernah bersabda, “Sungguh telah datang kepada kalian bulan yang penuh berkah. Pada bulan ini diwajibkan puasa kepada kalian (HR. Ahmad, An-Nasa’I dan Al-Baihaqi). Maka dari itu, pada bulan ini seluruh pahala dapat dilipatgandakan.
Kelima, Syahrush Shabri yaitu bulan kesabaran. “Di dalam bulan Ramadan, kita sebagai umat Islam dituntut untuk melatih diri untuk bersabar dari segala ujian yang diberikan oleh Allah SWT,” ujar Drs. Ahmad Taufiq, M. Ag, ketua jurusan Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret.
Keenam, bulan Ramadan disebut sebagai bulan Syahdu Do’a karena setiap umat Islam yang berdoa pada bulan ini pasti akan mudah terkabul. Dosen yang mengampuh matakuliah sastra mistik itu pun mengatakan bahwa bulan Ramadan adalah bulannya umat Nabi Muhammad. Artinya pada bulan tersebut, umat Nabi Muhammad dapat melakukan berbagai aktivitas ibadah seakan-akan dia tidak ada kemungkinan untuk melakukan maksiat.
Ketujuh, bulan Ramadan disebut sebagai Syahrul Shodaqoh karena dianggap bulan yang paling tepat untuk melaksanakan sedekah. Maka dari itu, pada bulan puasa banyak orang berlomba-lomba untuk memberikan sedekah.   
Rasul Shallallahu ‘alaihi Wassalam pernah bersabda, “Jika telah datang bulan Ramadan, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu (Muttafaqun ‘alaihi)”. Bila hadis tersebut dikaitkan dengan beberapa sebutan dan banyaknya pahala yang dibagikan pada saat bulan Ramadan,  seolah-olah umat Islam tidak akan melakukan kemaksiatan di bulan yang penuh kemenangan tersebut. (Mg6/Mg4)

Radar Solo, 30 Juni 2014

Berita: Semangat Santri Ponpres Al-Muayyad




Keluarga alumni Al-Muayyad akan membuat acara kegiatan pasantren kilat saat bulan Ramadan. Pembukaan acaranya akan dilaksanakan pada hari Minggu, 29 Juni 2014 pada pukul 16.00 di Pondok Al-Muayyad. Peserta yang akan mengikuti kegiatan yang sudah berlangsung secara rutin itu sekitar 50 orang. Pesertanya meliputi murid-murid sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas, serta kalangan umum. Pasantren kilatnya sendiri akan berlangsung pada tanggal 29 Juni – 6 Juli 2014. 
Menurut Agus Hendrianto, sekertaris panitia kegiatan pesantren kilat, acara ini diadakan untuk menanamkan cinta pada tanah air dan mengenalkan dunia pasantren kepada umum. Pembukaan pasantren kilat akan diisi dengan tausiah dari K. H. Agus Humawan, pembacaan ayat-ayat suci Alquran, dan pembacaan salawat wasiat.
Isi kegiatan pasantren kilat ini meliputi salat subuh, pengajian Alquran, kelas fiqih, kelas akhlaq, kelas aswaja, kelas tarikh, musyawarah dan lain-lain. Di hari terakhir kegiatan ini diakhiri dengan tes. Secara umum bentuk acara dibuat seperti sebuah diskusi sedangkan untuk murid SMA diajak untuk mengenal fenomena perkembangan Islam di Solo.
“Latar belakang diadakannya acara ini karena permintaan masyarakat. Kebetulan ada kesempatan juga dan didorong dari dukungan Keluarga Alumni Al-Muayyad yang membuat kegiatan acara ini,” ujar H. M. Faishol Rozaq, S. Ag, ketua pondok pesantren Al-Muayyad.
Sebenarnya kegiatan pasantren ini mengalami kendala karena kekurangan tenaga pengajar dan tidak ada tempat kosong yang bisa disinggahi. Namun, karena momennya tepat di bulan Ramadan dan murid reguler sedang berlibur, maka terdapat tempat kosong yang bisa ditempati oleh peserta pasantren kilat.
Acara lain yang akan diadakan di Al-Muayyad adalah pengajian kitab (kitab kuning) kilatan untuk santri dan umum, yakni acara membaca kitab kuning dan menyelesaikannya dalam bulan ramadan. Kegiatan tersebut akan dilaksanakan dari tanggal 11 Ramadan sampai H-2 Idul Fitri.

(Naskah ini belum diedit)
dimuat di Radar Solo 30 Juni 2014

Jumat, 13 Juni 2014

Malaikat dalam Kereta


Oleh: Michelia Alba

Kereta membelah angin sejak lima belas menit yang lalu. Sekilas mata Dia bergerak ke arah jendela. Dia melihat asap yang melesit bagai roket dari balik semak-semak. Aroma pembakaran menyusup melalui celah pintu kereta yang sedikit terbuka. Belum sempat Dia mengaggumi gunung yang terlihat biru di tempat yang jauh, Dia mendengar suara tiga pengamen yang menengking. Rupanya mereka meminta upah atas nyanyiannya dengan paksaan. Bahkan setelah tiga pengamen itu bergerak melangkah lagi, mereka menegur penumpang yang berpura-pura tertidur.
Dia hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala. “Betapa indahnya negeri ini. Tumbuh dengan liarnya hingga perasaan serba salah kerap kali muncul. Aku tidak tahu sekarang mana yang dermawan, mana yang serakah, mana yang kaya, dan mana yang miskin,” ungkapnya dalam hati.
Sedetik kemudian tembang asmarandana mengalun mesra di ponsel seseorang. “Ternyata masih ada cinta terhadap negeri ini,” gumam Dia di dalam hatinya yang sering sekali berbisik. Dia kembali menerawang jendela dengan saksama. Alam dibalik jendela bergerak semakin cepat menjauh dari ekor kereta. Para petani sedang berusaha mengendalikan keseran sambil tersengat matahari yang pedas. Sekarang bukan masalah alam lagi yang Dia pikirkan. Dia hanya berpikir apakah warga di negeri ini tidak ada lagi yang mau menjadi petani? Apakah tidak ada lagi yang mau menjadi nelayan? Mereka menganggap pekerjaan itu adalah pekerjaan yang hina. Hingga pemerintah lebih baik menerima beras dan ikan dari luar negeri dari pada menyuruh para warganya menghasilkan produk dalam negeri. Ini semacam negeri yang berpura-pura kaya.
Sampailah Dia di stasiun pertama. Masih dengan tatapan dibalik jendela. Selintas dari ujung yang sulit terlihat, seseorang terjatuh dengan sangat berat. Suaranya memang tidak terdengar tapi mimik orang tersebut mengaduh. Namun, seperti biasa orang di sekelilingnya hanya melihat dengan sinis. Sebagian orang hanya membuka mulutnya karena kaget, kemudian menutupnya kembali dengan tangan. Orang yang baru saja terjatuh mulai berdiri sambil mengesom kain bajunya. Pantas saja dia terjatuh, kakinya hanya satu. Kini dia berjalan sambil meloncat-loncat.
Dia tiba-tiba berbisik sendiri melalui hatinya yang cerewet, “Alangkah indah negeri ini. Penuh dengan semangat gotong royong. Di saat orang sedang terjatuh orang-orang sangat peduli terhadapnya. Menoleh dengan rasa khawatir yang tinggi. Dan mereka anggap itu saja sudah cukup menjadi suatu bentuk kepedulian. Luar biasa.”
Mata Dia menengok ke sebelah kanan, ke arah kursi samping. Seorang ibu ingin duduk di kursi tersebut dengan barang-barang yang  serba repot. Namun, seperti biasa kelima orang yang telah lama duduk di kursi hanya terfokus dengan ponsel yang mereka pegang. Mereka sedikit menoleh ke hadapan ibu yang sedang kerepotan, kemudian kembali sibuk dengan ponselnya. “Oh tidak, alangkah indahnya hidup ini jika sudah beranjak dewasa. Tinggal terfokus dengan ponsel, hidup akan menjadi lebih bahagia. Suatu saat nanti mungkin aku akan menjadi mereka,” ungkapnya dalam hati.
Sinar matahari masih menerawang bumi. Cahayanya menembus atmosfer lantas meresap melalui kulit kereta. Lampu kereta dinyalakan karena kereta hendak menerobos gelapnya terowongan. Bau freon mulai menghilang dengan suhunya yang dingin. Kini suhu menaik hingga kisaran dua puluh derajat celcius. Seorang bapak tua di hadapan Dia mulai membuka jaket kulitnya karena merasa keringatnya sudah lengket merekat bersama jaketnya. Kereta pun berjalan lagi dengan suara gemuruh di bawah kereta.
Teriakan bayi tiba-tiba menggema di dalam kereta. Dia sepertinya tahu alasan bayi itu menangis. Dia tau perasaan bayi yang baru saja menangis itu. Adalah ulah seorang bapak yang menggunakan sarung menyilang di tubuhnya.
“Pak, kumaha sih[1] Pak? Yeuh[2] liat itu AC nya teu[3] jalan. Coba dibetulkan dulu. Saya kan sudah bayar disini. Harapan saya itu mendapatkan fasilitas yang memuaskan. Ini mana? Malah saya kepanasan,” Bapak yang menggunakan sarung itu marah-marah terhadap orang yang berseragam hitam.
“Iya Pak. Bapak sabar dulu. Ini saya akan coba tanyakan dulu pada teknisinya,” orang yang berseragam hitam itu menjawab.
“Sabar? Sabar? Sabar apanya? Geus lila yeuh[4], Pak. Rasanya seperti dipanggang.”
“Iya Pak. Saya juga tahu.
“Kalau tahu cepat dong dibetulkan. Inisiatif! Betulkan Pak?” Bapak itu mencoba mencari simpatisan yang mendukung suaranya sambil menoleh ke sampingnya.
“Iya benar! Saya pikir harga naik, kualitas pun naik. Ternyata sama saja. Saya kecewa,” kata orang sebelahnya.
“Cepat Pak, saya sudah tidak tahan!” ucap seorang wanita di hadapan Bapak yang menggunakan sarung itu.
Tampaknya suasana kereta akan semakin memanas ketika semua orang sudah rusuh dengan kata-kata pedasnya. Ditambah lagi orang yang berseragam hitam berdatangan untuk membela rekannya. “Masalah semakin besar ketika seseorang tak mau bersabar. Situasi semakin parah ketika orang mulai marah. Bentuk protes sepertinya tidak terlalu bermanfaat disini. Seharusnya mereka yang protes melihat situasi dari berbagai sudut pandang. Ini adalah hari pertama semua kereta menggunakan AC. Perbaikan demi perbaikan pun perlu dilakukan.
Orang-orang seharusnya dewasa untuk mengambil sikap. Tidak hanya protes dan mengambil langkah sembrono. Tentu saja pekerjaan seseorang untuk menaruh AC di dalam kereta tidaklah mudah. Namun, sering kali mereka yang protes tidak berpikir sebelumnya. Mulut mereka seakan membesar secara tiba-tiba sehingga memperkecil volume otaknya,” ucap Dia masih di dalam hatinya. Dia bergegas menengok langit yang biru dibalik jendela daripada mempedulikan orang-orang yang kian berisik. Hatinya bersuara lagi, “Betapa indahnya langit itu. Ingin aku segera dewasa agar dapat mengukurnya dengan sianometer.”
Akhirnya kereta berada dalam kegelapan terowongan. Dia tidak lagi menatap jendela yang berwarna kelam. Sebagian orang menutup hidungnya dengan tangan karena asap kereta yang dipantulkan dari terowongan masuk melalui celah-celah kosong dalam kereta. Sebagian lagi hanya terfokus pada lamunan seakan tidak mempunyai hidung. Sebagian lagi pulas dalam mimpinya masing-masing.
Kereta berhenti di setasiun berikutnya. Seorang ibu dengan baju serba putih duduk di samping ibu Dia. Tatapannya sibuk dengan barang-barang yang dibawanya. Tangannya ikut bergerak-gerak menaruh barang di tempat yang tepat.
“Ibu mau ke mana?” tanya ibu itu kepada ibu Dia
“Saya mau ke Bandung.”
“Oh gitu. Anaknya usianya berapa tahun?”
“Tiga bulan.”
“Oh lucu sekali. Namanya siapa?”
“Namanya Dia.”
Dia membalas senyum ibu itu dengan ramah. Hanya itu yang bisa Dia lakukan. Dia hanya terdiam ketika seseorang berada dalam masalah. Tubuhnya tidak kuasa untuk menolong orang-orang yang membutuhkan. Namun hatinya tetap bergerak, bergrilya, dan beradu dalam percakapan batin. Tidak ada yang mengetahui memang, namun itu sudah cukup berarti bagi makhluk Tuhan yang baru saja sampai di bumi dari dua bulan yang lalu.
Dia adalah orang yang sebenarnya paling membutuhkan di bumi ini. “Aku tidak punya uang, tidak punya kaki dan tangan untuk bergerak, tidak punya mulut untuk berbicara, tidak punya tempat tinggal, dan tidak punya pemikiran terhadap masa depan. Aku tidak berbeda dengan orang-orang di luar sana yang mengaku mempunyai banyak kekurangan dan sangat membutuhkan. Perbedaannya hanyalah satu. Pemikiran. Aku baru hadir di bumi ini dengan sejuta pertanyaan di dalam pikirannya. Pemahamanku belum mapan sehingga malaikat selalu mengelilingi pikiranku. Lantas mengapa orang lain di bumi ini yang mempunyai banyak kelebihan daripada aku pandai mengeluh?” ucapnya dalam hati. 


Bandung-Solo, 5 Mei 2014


[1] Kumaha sih = Bagaimana sih
[2] Yeuh = Ini
[3] Teu = Tidak
[4] Geus lila yeuh = Sudah lama ini

Rabu, 11 Juni 2014

Resensi Novel Scappa per Amore Karya Dini Fitria




Oleh: Michelia Alba

Novel: Scappa per Amore
Pengarang: Dini Fitria
Penerbit: Noura Books PT Mizan Publika
Cetakan: pertama, 2013
Halaman: 316, 14x21 cm
ISBN: 978-602-1606-02-5



Sinopsis dalam buku:
Italia. Inilah negara keempat yang dikunjunginya. Awalnya, tugas liputan kehidupan kaum Muslim di beberapa negara di Eropa ini diterimanya untuk rehat sejenak dari kenyataan pahit yang sulit dihadapinya. Namun, di depan Fortana di Trevi pun, Diva masih berusaha mengumpulkan kembali serpihan hatinya yang sempat terburai karena cinta. Scappa per Amore (lari karena cinta), istilah dalam bahasa Italia ini tepat sekali menggambarkan perjalanannya.
Namun, tak seperti manusia, Tuhan tak pernah meninggalkan mereka yang mencintainya. Justru di negara-negara tempat Islam menjadi minoritas itulah Diva bertemu para pejuang kehidupan yang memberinya banyak pelajaran yang berharga. Hakima yang rela diusir demi mempertahankan kepercayaannya, Karima dan Elise yang rela mengorbankan berbagai prestasi demi selembar hijab, teman-teman baru yang membukakan matanya dan mengenalkan pada sisi unik Islam di Eropa, sampai Vivi, sahabat lamanya yang memberikan kejutan yang tak terkira.
Namun, di tengah perjalanan, sebuah panggilan rindu dari mamanya di Jakarta membuatnya gamang. Hatinya cemas. Dia takut mamanya tak sekedar kangen. Diva pun harus memilih di antara tanggung jawabnya pada keluarga atau pekerjaan.

Sinopsis cerita:
Scappa per Amore ini bercerita tentang seorang tokoh yang bernama Diva yang menemukan bermacam sudut padang mengenai Islam di Eropa. Perjalanannya sangat bervariasi bahkan ada kejutan-kejutan yang tak terkira dalam ceritanya tersebut. Pada awal cerita dikisahkan seorang tokoh yang bernama Hakima. Dia adalah teman Diva yang mempunyai ibu dari Belanda dan ayah dari Maroko.
Hakima sudah ditinggalkan ayahnya sejak dia masih balita. Ibunya menikah lagi dengan seorang laki-laki. Hakima baru menyebut “ayah” pada ayah barunya pada usia tujuh belas tahun. Sebenarnya dia adalah lelaki yang baik. Setiap hari selalu menyambangi kamar Hakima. Namun, pada suatu saat Hakima harus merelakan kehormatannya karena dipaksa oleh ayah tirinya tersebut. Kejadian itu berulang kali karena mendapatkan ancaman dari ayah tirinya. Hakima sempat memutuskan bunuh diri, Tuhan masih menyelamatkannya. Sejak saat itulah dia mengenal Allah dan Islam.
Sudah tiga tahun lamanya dia mengenal Islam. Islamlah yang menyelamatkannya dari keterpurukan. Dia pun mulai menggunakan hijab. Namun ibunya sendiri tidak merestui perpindahan agama yang dilakukan oleh Hakima. Akhirnya ibunya menyuruh Hakima untuk pergi dari rumahnya.
Diva pun meneruskan perjalanan untuk terus meliput berita. Dia bertemu dengan seseorang Carla di pesawat ketika hendak pergi ke Jerman. Diva ingin menemui Vivi, temannya, agar bisa berjalan-jalan mengelilingi Jerman. Carla adalah sosok wanita yang cantik. Dia baru mengenal Islam belum terlalu lama. Namun, Carla sangat baik pada Diva. Dia mau mengantar Diva berkeliling karena Vivi mendadak tidak bisa mengajak Diva berkeliling. Carla bahkan sempat memberi kejutan yang sangat berharga bagi Diva.
Suatu saat akhirnya Diva bertemu dengan Vivi. Vivi sudah terlihat sangat berbeda dari pertemuannya tujuh tahun yang lalu. Vivi sekarang menjadi orang yang menyukai wine atau minuman keras. Dia juga menjadi seorang perokok berat. Dan yang lebih mengejutkan lagi, dia rela meninggalkan aturan agama Islam untuk lebih memilih menjadi seorang yang Atheis. Kemudian Vivi akhirnya menceritakan alasan-alasannya pada Diva tentang pindahnya dia ke Atheis. Itu adalah masalah kehidupan, cinta, dan kebahagiaan. Sangat sulit untuk dijelaskan.
Kemudian Diva pergi ke Prancis untuk mengadakan liputan di tempat paling romantis di dunia itu. Di sana dia bertemu dengan Karima. Karima adalah sosok wanita yang juga harus berjuang menggunakan pakaian burqa alias pakaian muslim untuk wanita yang tertutup di Prancis. Negara prancis memang dikenal sebagai negara yang penuh dengan kebebasan. Namun belakangan ini, Prancis mengeluarkan peraturan bahwa dilarang untuk menggunakan sesuatu yang menyimbolkan suatu agama tertentu. Maka dari itu, jika orang Islam dilarang untuk menggunakan jilbab atau pakaian yang mencirikan agama Islam. Begitu juga dengan agama-agama lainnya. Itulah yang membuat Karima berjuang untuk mempertahankan prinsipnya di tengah hukum yang berlaku di negara Prancis. Dia bahkan sempat di keluarkan dari pekerjaannya. Kemudian, masih banyak lagi cerita menarik di dalam novel tersebut. Sampai pada akhirnya ibunya Diva meninggal dunia.

Resensi Novel:
Novel ini adalah jenis novel diaspora atau novel yang pengarangnya mendapat inspirasi setelah berjalan-jalan keluar negeri. Karya sastra diaspora berbeda dengan karya sastra eksil. Karya sastra eksil adalah karya sastra yang dibuat karena keterpaksaan yang mengharuskan pengarangnya untuk pergi ke luar negeri akibat permasalahan yang terjadi di negaranya. Berbeda dengan karya sastra eksil, karya sastra diaspora lebih ke arah yang positif dan tidak terlalu menyedihkan. Walaupun pada akhir novel ini terlihat ada unsur penyesalan dari tokoh utama.
Novel ini sangat menarik untuk dibaca karena idenya berbeda dan khas. Nuansanya juga masih terbawa oleh peran jurnalistik seorang pengarang. Penulis novel ini (Dini Fitria) adalah presenter Jazirah Islam. Dia keliling dunia hanya untuk meliput dan dari hasil liputannya itu menginspirasi dia untuk membuat novel. Hal tersebut tentu saja mempengaruhi cita rasa novel ini. Penggambarannya yang khas dengan sebuah campuran dengan informasi menarik membuat novel ini terkesan utuh dan padat berisi.
Seorang pembaca dipaksa membayangkan sosok Diva yang harus melihat lika-liku perjalanan manusia muslimah di benua Eropa. Kesulitan yang dialami oleh kaum muslim di negara Eropa memang sebuah masalah yang harusnya diperhatikan lagi oleh negara-negara di benua Eropa. Apakah tidak ada lagi toleransi dalam beragama? Atau memang hanya sampai di situ saja kepedulian orang lain terhadap agama? Permasalahan yang unik seperti ini tertuang dalam novel ciptaan seorang wanita yang pernah bekerja di Trans 7 itu.
Novel ini seolah-olah memberi pesan tersendiri kepada pembaca bahwa seorang yang berada di posisi minoritas biasanya akan lebih kuat dibanding dengan seorang yang berada di posisi mayoritas. Mereka akan berjuang untuk mempertahankan prinsipnya tanpa dipengaruhi sedikit pun prinsip orang lain. Namun, inilah bagian yang menginspirasi banyak pembaca. Bahwa ketika seseorang berada pada posisi yang mayoritas seharusnya mereka tidak ada alasan untuk memperjuangkan prinsipnya dan melakukan yang terbaik selagi tidak ada halangan. Jika orang muslim di Eropa saja bisa mewujudkan Islam yang utuh, mengapa di negara yang mayoritas penduduknya Islam tidak bisa melaksanakan kewajiban dan perintah Tuhannya? Kembali kepada pembacanya masing-masing.






Selasa, 10 Juni 2014

Analisis Cerpen Pulang dalam Kumpulan Cerpen Gress Karya Putu Wijaya


                                                                                                                                                              




A.  Unsur-Unsur Budaya
1.    Sistem Pengetahuan
Dalam buku “Beberapa Pokok Antropologi Sosial”, Koentjaraningrat (1992: 8-9) menjelaskan bahwa sistem pengetahuan terdiri dari pengetahuan tentang sekitar alam, alam flora, alam fauna, zat-zat dan bahan mentah, tubuh manusia, kelakuan sesama manusia, ruang, waktu, dan bilangan. Sistem yang ada di dalam cerpen “Pulang” karya Putu Wijaya itu adalah pengetahuan tentang kelakuan sesama manusia. Tokoh “Aku” menggambarkan seorang kakek yang pergi dari rumah supaya anak-anak dan kerabatnya peduli dengannya. Tetapi “Aku” mengurungkan niatnya karena takut kalau tindakannya itu salah dan justru malah memalukan bagi dirinya dan orang lain. Hal tersebut adalah contoh sebuah kekurangan pengetahuan dari kakek tersebut.
Antropologi berkaitan dengan sejarah dan budaya pada masa lampau. Pada zaman dahulu seorang anak masih bisa dipaksa kehendaknya oleh orang tuanya. Tetapi pada zaman sekarang anak-anak memiliki kemampuan yang lebih kritis dalam usia yang lebih awal. Mereka berkembang dalam zaman yang memberi mereka banyak keleluasaan dan stimulasi yang jauh lebih banyak, sehingga anak-anak lebih cepat tumbuh berkembang. Terkadang orang tua sulit untuk memahami perubahan zaman tersebut. Selain itu keterbatasan pengetahuan yang ada pada diri orang tua sehingga mengaggap anak-anaknya tidak mau kalah, suka berdebat, pandai beragumentasi dan lain-lain. Pemikiran yang negative tersebut muncul ketika seseorang kurang memahami kelakuan sesama manusia.
Dalam cerpen tersebut dikatakan bahwa “orang rumah” (bisa anak, saudara, atau cucu) tidak lagi menghormati dan memperdulikan tokoh “Aku”. Dapat diasumsikan bahwa kekecewaan seorang kakek diakibatkan oleh banyaknya orang yang menentang perkataan kakek. Disini Putu Wijaya menggambarkan pergeseran tradisi pada anak-anak atau anak muda zaman sekarang (zaman pada saat cerpen itu ditulis).
Dahulu pada umumnya anak muda takut untuk mengungkapkan pendapat, terutama terhadap orang tua. Mungkin karena bangsa kita lama dijajah, maka budaya yang berkembang adalah budaya otoriter. Orang tua memiliki otoritas yang luar biasa terhadap anaknya dalam banyak hal sehingga anak memilih untuk diam. Namun pada zaman “sekarang” anak muda dengan mudah dapat beragumentasi demi perubahan. Kreatifitas orang muda diharapkan untuk mengubah bangsa Indonesia menuju perubahan yang lebih baik. Tetapi pada kenyataannya kaum orang tua banyak yang berpikiran negatif terhadap anak muda. Perbedaan argumen tersebut dianggap seperti pemberontakan yang dilarang oleh hukum atau agama.
Pergeseran tradisi ini harus disikapi dengan pemahaman yang mendalam dari sisi orang tua terhadap anak muda. Maka dari itu, Putu Wijaya melukiskan proses pemahaman seorang kakek terhadap orang yang disangka tidak memperdulikannya dengan cara berpikir disepanjang perjalanan pulang ke rumahnya. Hal itu menjelaskan bahwa melarikan diri dari rumah sebagai suatu bentuk kemarahan sebenarnya adalah sebuah kesalahan. Pemahaman dan pengertian terhadap sebuah tradisi yang berubah lebih bisa memberikan solusi yang baik.

2.    Sistem Organisasi Sosial
Koentjaraningrat (1992:8), menjelaskan bahwa sistem organisasi sosial atau sistem kemasyarakatan terbagi menjadi empat yaitu sistem kekerabatan, sistem keseluruhan hidup setempat, asosiasi dan perkumpulan-perkumpulan, dan sistem kenegaraan. Di dalam sistem kekerabatan salah satunya terdapat unsur sopan santun. Cerpen “Pulang” karya Putu Wijaya ini mempunyai unsur sopan satun yang tidak lagi ada di dalam kehidupan sehari hari terutama di Indonesia. Cerpen tersebut menceritakan tentang seorang kakek yang merasa tidak diperhatikan lagi oleh anak-anaknya.
Kaitannya dengan kebudayaan di Indonesia memang sopan santun terhadap orang tua semakin memprihatinkan. Indonesia dahulu dikenal sebagai negara yang ramah dan dikenal adat istiadat yang menyatakan bahwa yang tua harus menyayangi yang muda dan yang muda harus menghormati yang tua. Semakin berkembangnya zaman, kepribadian bangsa Indonesia perlahan menghilang. Budaya globalisasi yang digadang-gadang membawa perubahan dan kemajuan rupanya menyeret kesadaran masyarakatnya untuk melupakan budaya asli Indonesia. Contoh hal yang kecil adalah istilah tegur sapa yang kian asing di masyarakat.
Dalam cerpen tersebut menggambarkan sopan santun yang sudah kian memudar seiring berjalannya waktu. Sosok orang tua yang seharusnya dihormati dan disayangi malah diterlantarkan begitu saja. Padahal orang tua yang telah membesarkan anaknya hingga menjadi dewasa. Namun terkadang perlakuan anak malah cenderung berlawanan dengan sikap orang tua.
Salah satu contoh ketidakpedulian anak terhadap orang tua yang membuat miris adalah kasus pembunuhan seorang anak terhadap orang tuanya. Berita yang ditulis oleh Erick P. Hardi di media internet Tempo.com itu menyatakan bahwa pembunuhan anak terhadap orang tua dilakukan atas dasar menginginkan harta warisan. Kejadian seperti itu adalah kejadian yang ironis yang secara tidak langsung menegaskan bahwa orang tua dipandang tidak ada artinya lagi di zaman sekarang.
Di sisi lain, orang tua pun tidak bisa sembarangan memarahi anak. Jika anak mengalami kekerasan, maka anak dapat melaporkannya ke lembaga perlindungan anak. Ternyata adat sopan santun tidak hanya memudar di kalangan anak muda tetapi juga memudar di kalangan orang tua. Sudah banyak kasus tentang kekerasan orang tua terhadap seorang anak. Misalnya saja Farid Assifa yang menulis dalam beritanya tentang kasus pembunuhan Aisyah Vani oleh ibu kandungnya sendiri (dalam Kompas.com). Jika sudah seprti itu maka rasa aman dan nyaman sudah sulit ditemukan. Anak tidak bisa berlindung lagi kepada orang tuanya sedangkan orang tua sudah tidak bisa mengharapkan kasih sayang dari anak-anaknya.
Budaya seperti ini yang ingin disampaikan oleh Putu Wijaya dalam cerpen “Pulang”. Bahwa tidak salah orang tua merasa sudah tidak diperdulikan lagi oleh anaknya. Karena memang masyarakat zaman sekarang sudah cenderung berubah. Salah satu sisi negatifnya adalah kurangnya kepedulian anak terhadap orang tua. Namun sebagai orang tua seharusnya bisa mengerti perkembangan zaman dan kondisi anak-anaknya. Karena belum tentu seorang anak yang sibuk dengan pekerjaannya adalah suatu bentuk ketidak pedulian anak terhadap orang tuanya. Bisa jadi anak tersebut memang harus melakukan tugasnya untuk masa depannya dan terutama anak-anaknya kelak. Perasaan rasa bersalah itulah yang kemudian dimunculkan dalam cerpen tersebut.

B.  Pesan Moral
1.    Pemikiran mempengaruhi tindakan
Ketika seseorang berada di situasi yang sedang kacau maka orang tersebut akan berpikiran negatif dan tanggapan yang dimunculkan atas tindakannya pula akan berujung negatif. Seseorang yang mempunyai masalah yang banyak seharusnya mampu berpikir positif sehingga apapun yang dilakukannya dapat menyelesaikan masalah tanpa memperburuk masalah.
2.    Memahami situasi, kondisi, dan perasaan seseorang
Dalam memahami satu masalah tidak boleh hanya berdasarkan satu sudut pandang saja tetapi harus dari berbagai sudut pandang dan beberapa pertimbangan. Atau bisa dibilang dalam menganalisis sebuah data tidak bisa berdasarkan dari faktanya saja tetapi harus mempertimbangkan faktor-faktor penyebab terjadinya sebuah fakta. Dengan begitu keputusan yang diambil dapat objektif dan tidak merusak perasaan orang lain.
3.    Berpikir sebelum bertindak
Tindakan tidak dapat dibatalkan atau diulangi sedangkan yang dalam pikiran bisa saja tidak dilakukan dalam tindakan. Jadi, seseorang seharusnya berpikir dulu sebelum bertindak sehingga tidak menimbulkan rasa penyesalan. Tergesa-gesa dalam mengambil keputusan juga berbahaya bagi suatu masalah yang dijalani. Kemungkinan yang terjadi masalah yang dihadapi malah bertambah buruk.
4.    Bebeda pendapat dibolehkan dengan syarat tetap dalam batasan-batasan tertentu
Sopan santun seharusnya tetap ditegakan sebagai jati diri bangsa Indonesia. Kalaupun ada perbedaan pendapat atau argumen bisa disampaikan secara baik-baik dan dengan batasan-batasan yang berlaku. Bebas berpendapat bukan berarti bebas melakukan segala cara agar sebuah pendapat dihargai.





Rabu, 04 Juni 2014

Tips Membuat Layout Buku (Bagian 1)

Oleh: Michelia Alba


Hari ini saya ingin berbagi ilmu pada pembaca dalam membuat layout pada sebuah buku. Pada bagian yang pertama ini sangat sederhana. Layout pada bagian ini adalah layout yang biasanya dilakukan oleh para layouter dan memang umumnya seperti ini. Berikut adalah caranya:


  1. Masuk ke microsoft word terlebih dahulu. Kemudian pada bar di atas terdapat tulisan Page Layout, kemudian klik. Setelah itu, klik pada bagian Margin dan akan muncul bar panjang yang turun ke bawah. Lalu, klik Custom Margin. 
  2. Munculah kotak Page Setup. Ganti ukuran margin sesuai dengan keinginan. Biasanya ukurannya tidak lebih dari 2 cm. Umumnya 1,5 cm. Kemudian pada Pages terdapat Multiple Pages. Klik pada bagian tersebut. Kemudian akan muncul Book Fold dan klik. Setelah selesai klik ok (jika kertas yang Anda inginkan adalah Letter). Jika kertas yang Anda inginkan adalah A4 atau yang lainnya silahkan lanjut ke cara yang berikutnya. 
  3. Masih pada Page Setup. Klik Paper pada bagian atas sebelah Margin. Kemudian akan muncul Paper Size dan klik pada bagian bawahnya untuk memilih kertas. Biasanya kertas yang digunakan adalah Letter atau A4. Setelah itu klik OK. Lihatlah hasilnya. Layout buku selesai. Namun, itu masih bagian pertama. Selanjutnya akan saya tambahkan lagi pada bagian kedua.  

Selasa, 03 Juni 2014

Meditasi

oleh: Heru Emka

hening
tubuh tipis mengapung
gaung
bunyi
sepi - kucari Dia

tak mudah kujumpa

17 Juli 76

Persahabatan

oleh: Heru Emka

berbunga indah di hati
membayang di hari sepi
dan lenyap
di tempat gelap tak bertepi

kegembiraan dalam kehidupan
di tengah persahabatan
bunga jagung yang mekar di kebun
begitulah meriahnya

10 Agustus 76

(diambil dari kumpulan puisi Tanda karya Heru Emka, 1984)

Hidupku

oleh: Heru Emka

lingkup sepi - bulan merah
samar
tanpa angin
bulan merah - sendiri
suram
namanya duka.

19 Juli 76

(diambil dari kumpulan puisi Tanda karya Heru Emka, 1984)

Senin, 02 Juni 2014

Potret Diri

oleh: Heru Emka

bila sepi mencekam, bila resah menggelut
tahukah kau, apa arti keluh yang ragu?

bila bimbang mendatang, bila doa melayang
bertubi dalam kehidupan, yang manakah kepastian?

bimbang kau punya, takut kau punya
kelelawar yang terperangkap siang akan menjerit sampai malam tiba
kau dan aku hidup atau mimpi dengan harap tak pasti

di hidup yang begini sunyi, aku tak tahu
senantiasa keluh, menunggu yang menghapus duka
senantiasa rubuh, membuang rindu yang ada.

76

(diambil dari kumpulan puisi Tanda karya Heru Emka, 1984)

Sunyi Bagiku

oleh: Heru Emka

sunyi bagiku bukanlah ketakutan
ia nyanyi bagi sekelompok yang tersisa
bila kau mengira yang tersisa itu berdosa
biarlah kuanggap sunyi itu nyanyi dosa

bagiku sunyi bukanlah penderitaan
ia hiburan untuk sekelompok yang terluka
bila bagimu yang terluka itu berduka
biarlah kuanggap sunyi itu penghibur duka

seperti halnya diriku, saudara,
dipukau sepi sejak babak pertama
bayang-bayangku ia, kekasih tercinta
pemburu yang tak pernah mati, pencari jejak sejati

bila bagimu sepi itu hina
ia memang sahabat si hina
tapi jejaknya tetap murni
bagai pertama kali turun ke bumi

14 November 76
(diambil dari kumpulan puisi Tanda karya Heru Emka, 1984)

Minggu, 01 Juni 2014

Resensi Novel Sunset Bersama Rosie Karya Tere Liye


Oleh: Michelia Alba

Novel: Sunset Bersama Rosie
Pengarang: Tere Liye
Penerbit: Mahaka Publishing
Cetakan: pertama, 2012
Halaman: 426, Tebal: 20 cm
ISBN: 978-602-98883-6-2




Sinopsis dalam Novel:
Sebenarnya, apakah itu perasaan? Keinginan? Rasa memiliki? Rasa sakit, gelisah, sesak, tidak bisa tidur, kerinduan, kebencian? Bukankah dengan berlalunya waktu semuanya seperti gelas kosong yang berdebu, begitu-begitu saja, tidak istimewa. Malah lucu serta gemas saat dikenang.
Sebenarnya, apakah pengorbanan memiliki harga dan batasan? Atau priceless, tidak terbeli dengan uang, karena kita lakukan hanya untuk sesuatu yang amat spesial di waktu yang juga spesial? Atau boleh jadi gratis, karena kita lakukan saja, dan selalu menyenangkan untuk dilakukan berkali-kali.
Sebenarnya apakah itu kesempatan? Apakah itu makna keputusan? Bagaimana mungkin kita terkadang menyesal karena sebuah keputusan atas sepucuk kesempatan? Sebenarnya, siapakah yang selalu pantas kita sayangi?
Dalam hidup ini, ada banyak sekali pertanyaan tentang peraasaan yang tidak pernah terjawab. Sayangnya, novel ini juga tidak bisa memberikan jawaban pasti atas pertanyaan-pertanyaan itu. Novel ini dituliss hanya untuk menyediakan pengertian berbeda, melalui sebuah kisah keluarga hebat di pantai yang elok. Semoga setelah membacanya, kita akan memiliki satu ruang kecil yang baru di hati, mari kita sebut dengan kamar ‘pemahaman yang baru’. Selamat membaca.

Sinopsis Secara Keseluruhan:
Novel ini menceritakan tentang persahabatan, kasih sayang, dan cinta. Awalnya dikisahkan seorang bernama Tegar yang mempunyai sahabat bernama Rossie. Rossie mempunyai anak yang bernama Anggrek, Lili, Sakura, dan Jasmine. Rossie mempunyai suami bernama Nathan. Mereka telah menikah selama tiga belas tahun lamanya. Mereka hidup sangat bahagia.
Pada suatu hari Rossie dan Nathan ingin merayakan ulang tahun pernikahan yang ketiga belas. Tegar pun ikut senang mendengarnya. Dia siap-siap untuk memberikan kejutan yang paling berharga bagi kedua sahabatnya itu.
Sahabat? Omong-omong tentang persahabatan, mereka (Tegar, Rossie, dan Nathan) pernah bersahabat. Tegar sudah bersahabat dengan Rossie telah lama, sedangkan Nathan baru dikenal Rossie dua bulan sebelum pacaran dan akhirnya menikah. Tegar sebenarnya telah mempunyai perasaan cinta terhadap Rossie. Namun, dari dulu ia tidak berani mengungkapkannya. Nathan yang baru berkenalan dengan Rossi justru lebih cepat menyatakan cintanya. Kesempatan Tegar pun hilang.
Tegar pun menyesal karena perasaannya tidak dapat disampaikan. Namun selang bertahun-tahun akhirnya dia dapat melupakan semuanya. Dia pun ingin segera menikah dengan Sekar. Namun, pada saat di ulang tahun pernikahan Rossie dan Nathan, pada saat Sakura ingin memberikan kejutan kepada mereka berdua, tiba-tiba ada bom yang meledak di Bali. Semuanya hancur. Peristiwa menyenangkan pun berubah menjadi kesedihan.
Tegar langsung pergi ke Bali untuk mengecek semuanya baik-baik saja. Tanpa sadar dia meninggalkan pesta perkawinannya dengan Sekar. Dia harus memastikan Rossie, Nathan, dan anak-anaknya. Pada saat tiba di sana. Nathan telah ditemukan tewas. Rossie pun menjadi stress. Dia sempat melakukan aksi bunuh diri meskipun gagal. Hal itu mengharuskan Tegar untuk tidak masuk kerja selama dua minggu bahkan lebih. Hal itu pulalah yang membuat khawatir Sekar. Dia sedikit khawatir apabila Tegar berpaling kembali pada Rossie.
Rossie harus dirawat di psiolog. Itu membuat anak-anaknya harus pisah dengan ibunya selama beberapa hari. Singkat cerita, Tegar harus menetap di Bali selama dua tahun meninggalkan Sekar calon istrinya. Cinta yang dulu bersama Rossie akhirnya muncul lagi. Dia yang berjanji pada sekar untuk kembali pulang ke Jakarta setelah Rossie sembuh pun dilupakannya.
Sekar akhirnya memutuskan untuk menikah dengan pria lain yang tidak dicintainya. Namun Linda datang kepada Tegar untuk membatalkan pernikahan itu. Setelah beberapa lama mendengar penjelasan Linda dan berpikir akhirnya Tegar merasa bersalah dan menyesal. Dia langsung bergegas menemui Sekar untuk mengajak kembali menikah dengannya.
Pada akhir cerita, menjelang pernikahan Tegar dan Sekar, Sekar berubah pikiran. Dia malah memaksa Rossie untuk menikah dengan Tegar karena melihat ada kebahagiaan dan masih ada kesempatan bagi Tegar untuk mengubah keadaannya.

Resensi Novel
Novel ini hampir menyerupai novel yang berjenis cinta pada umumnya. Namun kemasan yang disuguhkan oleh seorang pengarang benar-benar berbeda. Dengan kata-kata yang indah dan penuh dengan gaya bahasa yang menggambarkan suasana dalam cerita tersebut dapat membuat novel ini menjadi berbeda.
Pengarang benar-benar mengetahui bagaimana cara memaknai semua unsur cerita. Bahkan nama yang ada pada novel tersebut, dari Rossie, Lili, Sakura, Jasmine, dan anggrek semuanya mempunyai fungsi yang bermacam-macam. Sifat dan karakternya berbeda namun tetap mempunyai tujuan yang sama. Selain untuk memperkaya unsur cerita, tetapi keempat nama tersebut secara tidak langsung adalah sebagai pembangun cerita agar berjalan utuh.
Novel ini sebenarnya akan berakhir dibaca ketika melihat bab pertama dan bab terakhir tanpa harus membaca keseluruhan. Namun, isinya benar-benar mengubah semua pemikiran pembaca. Pembaca dibiarkan untuk menebak-nebak sembari membayangkan keadaan dalam novel tersebut. Layaknya manusia yang sebenarnya mempunyai sesuatu yang nyata dan dapat diketahui sebelumnya yaitu hidup dan mati, tetapi manusia seperti diberikan banyak halaman pada hidupnya agar mampu menebak-nebak sendiri jalan hidupnya.
Pelajaran yang dapat diambil adalah fokus. Sebenarnya jika kita fokus terhadap sesuatu dengan keyakinan yang tinggi, akhirnya kita mendapatkan apa yang diinginkan. Namun terkadang godaan-godaan selalu saja datang. Namun, sepertinya godaan-godaan itu tidak serta merta dihadirkan untuk sebagai pengganggu. Tetapi sebagai ujian dan sebagai bumbu dan warna kehidupan. Terkadang manusia akan merasa jenuh jika hidup hanya berjalan di jalan lurus saja.
Dari novel ini dapat diambil kesimpulan bahwa kesempatan itu sebenarnya bukan tidak datang dua kali, hanya saja kesempatan itu tertunda. Kesempatan adalah masalah keyakinan. Ketika seseorang yakin, maka kesempatan itu akan datang dengan sendirinya. Terkadang Tuhan menepatkan kesempatan itu pada tempat yang tepat. Seseorang harus diuji berkali-kali sebelum hendak mendapatkan kesempatan yang terbaik. Maka dari itu, percayalah bahwa kesempatan akan hadir di saat yang tepat. “Mawar akan tetap tumbuh di tegarnya karang, jika kau menghendakinya.