Muhammad Bintang Yanita Putra (Michelia Alba), lahir di Tasikmalaya tanggal
26 Agustus 1993. Dia pernah sekolah di SD Amaliah, SMPN 4 Bogor, SMAN 4 Bogor,
dan meneruskan kuliah di Universitas Sebelas Maret. Selain menulis, dia gemar
sekali bermain basket dan berenang.
Pada saat dia masuk ke SMA, dia dikenal sering jahil di
kelasnya. Bahkan berkali-kali masuk ke ruang BP karena sering berbuat
kesalahan. Tentu saja nilai di sekolah kurang begitu memuaskan. Semakin hari
nilainya pun semakin menurun. Sampai akhirnya dia mulai menulis beberapa cerpen
dan satu buah novel yang tak kunjung selesai.
Kecintaannya pada sastra dimulai sejak kecil. Tepatnya pada
saat SD. Ibunya mempunyai beberapa bahan buku bacaan yang terletak di perpustakaan
pribadi miliknya. Karya-karya seperti Fredy S, Cassandra, Hilman Hariwijaya,
Ayu Utami, dan penulis angkatan 80 sampe 2000 lainnya pernah dia baca saat
masih SD. Kegemarannya membaca pada saat SD membuat dia rajin menulis beberapa
puisi. Pada saat SMP mulailah dia menulis beberapa puisi. Setidaknya itu dapat
mengungkapkan isi hatinya.
Karya-karyanya antara lain Puisi yang berjudul Pesan dari
Situ dan cerpen yang berjudul September di Septunus pernah masuk dalam buku
kumpulan cerpen dan puisi Kukenang Wajahmu (Media Perkasa, 2013). Cerpen yang
berjudul “Lukisan Immaginario” mendapatkan juara II di Festival Budaya 2013.
Cerpen yang berjudul “Presiden” pernah masuk dalam koran harian
Solopos. Cerpennya yang berjudul Setan-Setan Bersayap masuk dalam antologi cerpen dan puisi Sebelas Dua-Tiga (Oase Pustaka, 2014).
Selain itu, dia juga berhasil menerbitkan kumpulan cerpen
miliknya yaitu Tempurung di
Tengah Kota (Yanita Pustaka, 2014). Empat belas
cerpen miliknya ada di dalam buku tersebut. Judulnya antara lain:
Tempurung di Tengah Kota, Keranjang, Kali, Lengan Sepuluh Meter, Hologram di Atas Bumi Pertiwi, Ngiung-Ngiung, Oh Mega, Titik di Seperdelapan
Malam, Kursi Hitam, Jalan Terakhir, Warisan
si Aki, Kandang Kanak-Kanak, Boneka Yaruhiko, dan
Tanpa Nama.
Sampai saat ini, dia masih rajin menulis karya sastra. Dia
selalu mengatakan, "Saya tidak peduli berapa kali saya menulis, berapa
kali tulisan saya ditolak media masa, seberapa jelek tulisan saya. Saya hanya
takut seandainya suatu saat nanti tidak diizinkan Tuhan untuk menulis lagi.
Pada saat itu saya akan hilang tanpa dikenang. Dan saya tidak akan pernah
dikenal oleh orang lain setelah tiada."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar