Jumat, 07 November 2014

Mulut Seorang Pelajar


oleh: Michelia Alba

 “Tidak mungkin. Pasti ada di suatu tempat. Aku yakin aku meninggalkannya di suatu tempat. Entah kapan. Entah dimana.” Suara batin itu hanya mampu menggesek dinding hati, rongga hidung, dan langit-langit mulut Sueb. Kemudian, telapak tangannya menggumpal seperti batu, uratnya ditarik hingga menegang, keringatnya pun mencair di permukaan kulitnya, dan otaknya berputar 180 derajat. Namun sayang, semua itu percuma. Suara Sueb menghilang seketika. Entah kapan. Entah dimana.
Sueb menggeledah barang-barang yang berada di kamar kostnya. Dalam sekejap kamar yang berlapis perak dan emas itu pun berubah menjadi berantakan. Buku-buku sejarah berdampingan dengan pakaian dalam, komputer terbungkus dengan handuk bekas mandi, dan entah bagaimana caranya gergaji karatan pun terbaring bebas di kamanya. Keadaan itu semakin membuatnya stres dan depresi. Dia benar-benar tidak menemukan suaranya.
Sore hari, saat nyanyian gagak terkadang mencabik-cabik perasaannya, Sueb menemui salah satu sahabatnya. Dengan tergopoh-gopoh membawa dua puluh buku di dalam tasnya, dia menerobos sunyi yang memaksanya untuk mundur. Tampaknya kali ini Sueb sungguh geram dengan alam dan waktu yang telah mengutuknya menjadi bisu. Langkahnya tidak bisa dihentikan.
“Tumben kamu datang ke sini. Apakah kamu sudah mau mendengarkanku?” ucap Ben, sahabat Sueb, dengan senyum yang sedikit miring.
Kurang dari sedetik mata Sueb menatap Ben. Kemudian matanya menoleh ke pintu, jendela, pakaian, celana atau apapun di sekitarnya. Sueb tidak bisa memaksakan matanya melakukan kontak dengan orang lain.
Tiba-tiba sunyi datang lagi menyelinap di antara mereka berdua. Tak ada yang berbicara sedikit pun. Sueb mengutuk dalam hati apabila Ben tidak mengizinkannya masuk, maka saat pagi datang Sueb akan langsung menghajarnya.
“Baiklah, silahkan masuk,” ucap Ben seolah-olah mendengar kutukan batin Sueb. “Sebentar akan kubuatkan kopi panas untukmu.”
Sueb termenung lama di atas sofa bermotif batik sembari membayangkan kesalahan apa yang pernah dilakukannya pada masa lalu. Ia bergerak perlahan menuju cermin yang terletak di dinding ruang tamu. Korneanya mulai retak karena ada butiran air yang berkali-kali mendobrak ingin keluar dan berteriak. Penyesalan seakan merampas otaknya begitu saja.
Tiga tahun sudah Sueb menjadi mahasiswa. Ambisinya memang sudah dipupuk dari pertama kali menginjakan kakinya di kampus untuk menjadi mahasiswa terbaik. Cita-citanya yang kuat dan janjinya kepada orang tua yang tinggal di tempat jauh membuat Sueb semakin serius untuk menekuni bidang yang dia ambil.
Dia sudah terbiasa melahap buku-buku tebal penuh teori dan analisis. Pergelangan tangannya sudah menghitam akibat sering mengetik di atas keyboard. Permasalahan apapun dalam makalah tidak ada satupun yang tidak bisa dia lewati. Mungkin pencernaannya haus dengan ilmu pengetahuan. Saat sakitpun entah kenapa hanya buku yang dapat menolongnya. Buku adalah obat paling baik baginya.
Ben dulu sering sekali mengajak Sueb untuk keluar dari kamarnya yang sudah tak terurus itu. Baik untuk berkumpul dengan suatu organisasi atau sekedar melepas penat dengan pergi mendaki gunung. Semua percuma saja. Sueb hanya ingin mempunyai satu tujuan dalam hidupnya. Adalah menjadi mahasiswa paling pintar dan sukses.
Berkali-kali Ben mengingatkan Sueb agar tidak terus-terusan berada di depan komputernya atau di hadapan bukunya. Itu juga percuma tidak ada satu pun ucapan Ben yang hinggap di pemikiran Sueb. Dengan nada bercanda, Ben mengatakan “Kesuksesan itu seperti takdir, bahkan orang bodoh pun bisa menjadi sukses. Jangan terlalu lama terhipnotis dengan buku. Aplikasikan segera ke dunia nyata. Lama-lama jika kau tidak mendengar ucapanku, telingamu itu akan mengering dan membusuk. Setelah itu, telingamu hanya akan bisa mendengar bunyi yang frekuensinya di bawah 20 Hz. Dengan kata lain, kau hanya bisa berbicara dengan bunyi yang frekuensinya di bawah 20 Hz. Dan saat itu pula, aku tidak akan pernah mendengar ucapanmu. Kau paham?”
“Kalimat itu terdengar seperti kutukan. Tetapi tidak mungkin. Mana ada teori semacam itu. Kau gila!” ucap Sueb yang matanya masih tetap terpaku dengan bukunya.
“Mmm.. Mungkin teori itu tidak ada di dalam buku. Itu ada di dunia nyata.”
Sueb melirik tajam.
“Oke, aku yang gila. Sekarang aku harus pulang. Sampai jumpa lagi. Kalau kau berubah pikiran, datanglah padaku. Kita akan bersenang-senang sejenak.” Ben mendekatkan wajahnya ke hadapan Sueb, “Sebelum terlambat.”
Setelah itu, Ben tidak pernah lagi membujuk Sueb untuk keluar. Sueb hidup dengan kesendiriannya. Melompat dari satu tempat ke tempat lain yang hanya ada buku di dalamnya. Lapar dan dahaganya sudah terpenuhi hanya dengan membaca buku. Di tambah dengan internet yang kini sebagai hidangan penutupnya. Sueb nyaris tak pernah berbicara, mendengar, dan menatap orang lain.
Sampai pada suatu hari ketika dia sedang memesan tiket kereta untuk pulang ke kampungnya, dia sudah kehilangan suaranya. Petugas stasiun kebingungan melihat tingkah Sueb yang hanya menggerak-gerakan mulutnya tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Sueb pun langsung bergegas menaiki motornya untuk kembali pulang ke kostannya. Dia mencari suaranya di dalam buku. Setiap halaman dibolak-balik dengan cepat.
Setelah tiga jam berkutat dengan ratusan buku, dia kembali ke stasiun. Sama seperti penyakit biasa yang menyerangnya, dia berharap membaca buku dapat mengembalikan suaranya yang hilang. Petugas stasiun pun lagi-lagi terheran-heran saat mendapati mulut Sueb yang bergerak tanpa menimbulkan suara. Sesudah berkali-kali pulang pergi dari kostan ke stasiun, akhirnya petugas stasiun menyarankan Sueb untuk pergi ke dokter. Namun Sueb menolak. Batinnya berkecamuk, “Ini pasti kutukan!”
“Kopi sudah datang.” Ben terdiam heran mengamati Sueb yang sedang memandang cemin, “Ada apa?”
Sueb menerima kopi pemberian Ben. Dengan tangan yang gemetar dan perasaan yang berat, Sueb mengambil gelas dengan kopi panas hangat di dalamnya. Ia dekatkan kopi itu ke hadapan cermin. Lalu, dia mengarahkan tangan kanannya dan mulai melukis kata-kata di permukaan cermin yang sudah terkena uap. “Sudah terlambat,” itulah tulisannya.
Ben terdiam cukup lama dan mencoba memahami situasi. Kakinya mulai berjalan perlahan mendekati kursi ruang tamu. Direbahkanlah tubuhnya itu sambil mengambil rokok di atas meja. Dalam sekejap asap sudah mulai memadati ruang tamu.
“Aku tidak percaya. Aku benar-benar telah mengutukmu.”
Malam itu menjadi lebih pekat daripada malam yang sebelumnya. Sueb pun berusaha berteriak seakan memanggil petir untuk bergemuruh. Tangannya berkali-kali menghantam cermin. Mulut Sueb menganga terus-menerus namun Ben hanya dapat mendengar pecahan cermin. Jika ada seseorang yang dapat melihat, hanya nyamuk yang menyingkir dari tempat itu. Mungkin benar, Sueb hanya bisa bersuara dengan frekuensi di bawah 20 Hz. Tidak lebih.
Ratapan Sueb tak pernah berhenti hingga malam sudah berada di tengah bumi. Dia sibuk mencari tahu di dalam buku. Suaranya tidak pernah ditemukan di dalamnya. Dia pun menjelajah ke kamar Ben. Hasilnya sama saja. Tidak ada buku yang dapat membuat suaranya kembali. Tubuhnya dibanting berkali-kali, kepalanya diremas, dan mulutnya dipukuli hingga dia mulai kelelahan. Mulut Sueb menganga dan meronta-ronta di hadapan Ben meminta belas kasih. Sementara itu, Ben hanya memandang lurus tanpa berkedip seakan Sueb hanyalah hologram. Sesekali asap rokok yang mengepul menahan air yang hendak jatuh dari matanya.

*****

Satu bulan setelah malam itu, Ben terus mengajak Sueb untuk bercakap-cakap bersama. Terkadang Sueb diajak untuk berkunjung ke dalam sebuah organisasi. Setidaknya usaha itu mengalami perkembangan. Sueb mulai bisa tersenyum kembali meskipun masih mengucapkan kalimat dengan terbata-bata.
Hanya saja, ketagihannya membaca buku tidak dapat ditolerir lagi. Dia bahkan membiarkan lambungnya kosong hanya untuk menghabiskan waktu bersama bukunya itu. Makanan yang dibelikan Ben di warung depan pun hanya dijamah beberapa kali saja oleh Sueb.
Ben benar-benar tidak menyangka kalau perkataannya itu benar. Rasa bersalah pun terkadang menyelimuti mimpi buruknya. Meskipun dengan cara berkumpul dengan orang banyak sudah menujukan kemajuan bagi Sueb, Ben merasa ada yang kurang dari semua usaha itu. Ben akhirnya mengantarkan Sueb untuk pulang ke kampungnya. Siapa tahu dengan mengajaknya pulang ada secercah harapan baru.
Sebelum berangkat, Ben menukar buku-buku Sueb yang ada di dalam tasnya dengan pakaian tanpa diketahui Sueb. Benar saja, selama perjalanan Sueb mengalami kegelisahan yang luar biasa tanpa buku. Dia merasa sangat ketakutan. Dia tidak berani menatap orang di sekitarnya. Sueb berkali-kali mengutuk sahabatnya itu di dalam hati. Hingga akhirnya Sueb menghabiskan perjalanannya di dalam toilet kereta. Para penumpang lain pun terpaksa menggunakan toilet lain untuk buang air setelah Ben memberikan penjelasan pada mereka.
Langit sudah menjadi jingga ketika Sueb sampai di kampungnya. Ben menyampaikan apa yang terjadi pada kedua orang tua Sueb. Orang tuanya bergeming lemas tak berdaya.
“Ini bukan semata-mata salahmu. Kamilah yang memulai. Kami bahkan tidak sempat melihat pertumbuhanmu,” Ibunya Sueb kehilangan kata-katanya. Tangisannya meledak tanpa bisa dijinakan.
Sueb hanya menunduk di hadapan orang tuanya dengan tatapan yang kebingungan. Ayahnya Sueb berusaha melanjutkan perkataan istrinya itu, “Sejak SD kami sudah menyekolahkanmu di luar kota. Kami yang berjuang di sini, dan kau berjuang di sana. Kami titipkan kamu kepada Bibi Yati. Namun setelah beliau meninggal, kini kamu hidup sendiri. Kami tidak  bisa mengurusmu dan mendidikmu. Kami memang orang tua yang tidak becus.”
“Maafkan Ibu, Sueb.” Ibunya Sueb langsung memeluk tubuh Sueb. “Ibu tidak ingin hal ini terjadi padamu. Jika saja ibu selalu ada di sampingmu, mungkin hal ini tidak akan pernah terjadi. Bahkan menjadi bisu pun Ibu tidak tahu. Ibu menyesal. Ibu minta maaf. Ibu merindukanmu, Sueb.”
“Aku juga merindukanmu, Ibu.”
“Hah?” Ibunya Sueb melepas pelukannya.
“Iya. Maksudku, maafkan aku juga Ibu. Aku tidak bisa mengurus diriku sendiri. Aku bukanlah anak yang baik.”
“Bukan itu. Bukan itu maksud Ibu. Kamu bisa bicara lagi?”
“Hah?”

Surakarta, 17 September 2014
(Juara I Lomba Safik Saseru UNS 2014)

Kamis, 06 November 2014

Hai Dosen

Hai dosen
Jangan lupa menggauli istrimu
sebagaimana yang tertera pada perjanjian pernikahan

Hai dosen
Jangan lupa menggauli istrimu
Hidupmu penuh teori
Jangan-jangan alatmu itu hanya sekedar kata-kata
Dan kau suruh istrimu untuk merangkumnya

Hai dosen
Jangan lupa menggauli istrimu
Agar tidak digauli kucingku

Hai mahasiswa
Jangan lupa untuk bernafas
Jangan-jangan kau ingin menjadi dosen yang lupa istri

Hai mahasiswa
Jangan kau gauli istri dosenmu
Nanti dia ingat kalau sudah punya istri

Untukmu yang seharusnya ingat siapa yang mencintaimu

Senin, 03 November 2014

Yasmin Karam di Benua Biru


oleh: Michelia Alba

Empat belas tahun yang lalu, aku masih melihat Yoga seperti benih yang sedang berlari-larian di depan halaman rumahku. Sesekali, dia ajak adiknya bermain bola. Suaranya yang riang membuat bibir tipisku mengembang menuai senyuman. Kemudian, tanpa kusadari benih itu mulai tumbuh merangkak menuju matahari terbit. Aromanya sudah seperti yasmin. Namun, entah mengapa suara lantangnya mengubah tahun-tahunku bersamanya. Mengubah semua alam menjadi haru dan gelap. Mengubah keadaan menjadi 180 derajat.
“Aku mencintainya dan itu urusanku. Aku yang menjalaninya. Tidak ada yang lain selain dia Ibu. Dia yang terbaik untukku,” kata Yoga dengan suaranya yang meninggi bahkan membuat air di dalam gelasku bergelombang. Untung saja Chiko tidak melihat kakaknya seperti ini. Jika dia berada di sini, mungkin dia akan langsung membelaku. Namun yang aku takutkan suatu saat nanti Chiko akan menuruti jejak kakaknya.
Air mata yang hendak membasahi pipiku dapat kutahan untuk sementara waktu. Aku berusaha tegar menghadapi amarah anakku yang satu ini. Tetanggaku bilang usianya memang sudah tepat untuk menjadi seorang pembangkang.
“Ibu yakin, dia bukan wanita yang tepat untukmu. Ibu tahu yang terbaik untukmu. Lepaskan dia. Percayalah padaku, Yoga.” Suaraku pelan karena air mata yang tersangkut dalam tenggorokanku. Hatiku sudah tidak lagi padat berisi, kulitnya sudah berongga-rongga akibat bentakan anakku yang setiap hari masuk melalui telingaku.
“Ibu tahu apa yang terbaik untukku? Memangnya siapa Ibu? Lebih baik Ibu urus saja Chiko yang di dalam darahnya mengalir darah Ibu. Bukan aku.” Tanpa merendahkan suaranya sedikitpun, Yoga terlihat sedang membereskan pakaian dan tasnya.
“Ibu memang bukan Ibu kandung kamu. Tapi selama empat belas tahun, Ibu yang mengurusi kamu. Ibu yang selalu menyayangi kamu seperti anak Ibu sendiri. Ibu tahu siapa kamu.”
“Ibu tahu siapa aku? Seberapa besar ibu mengetahui aku? Kita tidak sedarah.”
“Kamu cemburu pada adikmu?”
“Tidak.”
“Lantas apa? Bagi Ibu, sedarah atau tidak itu bukanlah sesuatu yang penting. Faktor biologis tidak berpengaruh pada kasih sayang. Kasih sayang seorang ibu sangat murni dan tidak ada kaitannya dengan darah. Semua ibu memiliki surga di kakinya. Darah adalah bentuk lahir yang merupakan simbol seorang anak di mata manusia lainnya, sedangkan surga dalam kaki ibu adalah simbol sebuah keagungan seorang wanita di hadapan Tuhan. Kasih sayang terkait dengan batin yang ada dalam diri manusia. Naluri seorang ibu bukan mengalir dalam darah tetapi mengalir dari setiap kasih sayang yang tercurahkan pada anaknya.”
“Omong kosong,” ucap Yoga.
“Apa ini yang diajarkan oleh orang Eropa? Apakah ini yang kau dapat dari pengalamanmu berada di kapal pesiar?”
Yoga membawa tasnya dan langsung bergegas keluar dari rumah.
“Yoga, mau kemana kamu?”
Gebrakan pintu adalah jawaban terakhirnya. Entah apa yang ingin disampaikan dengan sikapnya yang keras. Aku justru tidak mempercayai semua keadaan ini. Bunga yasmin yang sedari dulu aku pupuk hingga sedemikian matang dan indah, ternyata berubah menjadi seekor singa yang ganas. Bahkan tidak sedikitpun kenangan indah yang terbesit dalam ingatannya. Cemas dan khawatir ini mendorong air mataku turun ke pipi. Suara air keran yang bocor mengiringi kesepianku di sore yang temaram. Aku ingin jangan sekarang Chiko datang. Dia tidak boleh melihat aku menangis. Biar saja tembok-tembok yang menghinaku. Biar saja langit-langit serta cicak-cicak yang mencibirku sebagai ibu yang tidak berguna.
***
Aku pun pernah tahu apa itu cinta. Cinta itu bagai api yang membakar apa saja selain yang dicintainya. Bahkan ibunya sekalipun tidak mejadi perhatian yang penting baginya. Dia benar-benar sudah dirasuki oleh cinta yang membara dan cinta yang menurutku salah. Aku masih tetap berdiri di pendirianku yang kokoh. Wanita yang Yoga cintai bukanlah wanita yang baik untuknya.
Argumenku bukan tanpa alasan. Sebulan yang lalu, Reni pernah datang bersama Yoga ke rumahku. Saat itu Yoga memperkenalkannya. Tatapan mata yang tajam dari wajah Reni membuat buluku merinding. Ada sesuatu yang kejam dari dirinya. Auranya terpancar gelap dari sekujur tubuhnya. Firasat apa ini? Aku tidak mengerti mengapa pagi yang begitu cerah mendadak suram bagiku.
Waktu seakan deras sekali menyedot hari-hariku. Kemudian, di halaman depan aku berbincang-bincang pada Yoga.
“Dia kekasihmu?”
“Iya, Bu. Bagaimana?”
“Tidak ada yang lain?” Entah mengapa ucapan itu langsung terucap tanpa disaring. Pembukaan pembicaraan yang buruk. Aku terlalu terbawa emosi. Seluruh sistem sarafku bekerja menuruti alam bawah sadarku.
“Maksud Ibu?” tanya Yoga
“Maksudnya…”
“Ibu tidak setuju dengan pilihan Yoga?”
“Firasat Ibu mengatakan bahwa dia bukan yang terbaik untukmu,” kataku dengan nada yang rendah sempurna. Aku harus mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi dalam diriku. Tidak baik memendam firasat telalu lama. Terkadang firasat harus segera diucapkan sebelum keadaan lebih cepat mengubah semuanya. Dialog pagi itu berjalan sangat singkat dan buruk. Tidak ada penyelesaian dan penyesalan. Yoga tetap menaruh pilihan pada Reni. Yoga meninggalkan aku di halaman depan bersama seutas sunyi.
Aku memang bukan ibunya. Dia adalah anak dari saudaraku yang setengah waras. Dulu aku memeliharanya karena tidak tega melihat keadaan Yoga. Badannya kurus kering tanpa ada yang memedulikannya. Ibunya yang setengah waras berkali-kali memukul Yoga apabila dia merengek-rengek meminta makan.
Aku membujuk suamiku di tengah makan malam. Kebetulan aku belum mempunyai anak pada saat itu. Saat melihat Yoga, sepertinya dia memang ditakdirkan Tuhan untuk bertemu aku. Akhirnya aku mengadopsi Yoga. Dia sudah menjadi tanggung jawabku sekarang. Kehidupan Yoga yang diselimuti dengan kekerasan dari seorang ibu berubah drastis ketika berada di tanganku.
Awalnya memang Yoga sulit untuk diatur. Bekali-kali dia melanggar perintahku. Berlari-lari di tengah rumah makan saat aku ajak makan di luar, bersepeda di dalam rumah, memecahkan gelas, dan berbagai kegiatan lainnya yang membuatku sedikit kewalahan. Untung saja kesabaran masih tertanam rapi di dalam batinku. Semuanya aku lakukan dengan ikhlas. Sampai semuanya berakhir ketika Chiko lahir. Dia menjadi sosok yang lebih dewasa. Tidak ada lagi orang yang bisa kupercaya selain Yoga. Dialah yang melindungi Chiko, dialah yang membuatkan susu untuk Chiko, dan dialah yang mencuci semua baju Chiko.
Saat itu juga aku resmi menangis dalam senyuman. Sangat indah melihat keadaan seperti itu. Lelah dan letihnya seorang ibu dapat hilang tanpa bekas ketika melihat anaknya berubah menjadi apa yang dia inginkan. Yoga menjadi seorang yang penurut bahkan menjadi contoh yang baik untuk adiknya. Tuhan menghadirkan Chiko untuk mengubah segalanya.
Seperti yang aku katakan, benih sudah tumbuh menjadi bunga yasmin yang indah. Saat itu, Yoga telah meneruskan kuliah di perhotelan dalam bidang kitchen. Dari dulu memang dia pintar memasak. Aku yang mengajarinya. Sampai akhirnya dia menjadi koki yang terbaik di Bogor. Peringkat nilainya paling tinggi, semua orang memuji kehebatan dan kerapihannya dalam memasak.
Tidak sampai disitu, prestasinya kian melejit hingga dapat lolos seleksi untuk menjadi koki di kapal pesiar. Aku menangis terharu mendengar kabar baik itu. Dalam waktu yang singkat, Yoga telah menjadi bagian dari koki di dalam kapal Costa Concordia. Dia sempat memperlihatkan foto-fotonya di Eropa saat pulang ke rumah. Aku hanya berharap semua perjalanan pulang pergi itu dapat melupakan Reni dan kenangannya di masa lalu.
Sebulan setelah dialog singkatku yang buruk bersama Yoga atau lebih tepatnya dua hari setelah Yoga berangkat ke Eropa, Reni menghubungiku. Dengan nada yang memaki, dia mengancamku dengan banyak hal. Aku tidak sempat berbicara untuk membalas perkataannya karena sudah terlanjur diputus. Tidak berhenti disitu, dia menghubungiku lewat pesan singkat  melalui telepon genggamku. “Ibu jangan ikut campur dengan urusan kami. Ibu bukan siapa-siapa Yoga. Ibu tidak berhak melarang Yoga untuk berpacaran dengan siapa saja. Kamilah yang menjalin hubungan, tidak ada kaitannya dengan Ibu,” begitulah pesan singkat yang dikirimkan oleh Reni.
Bagai kapal pesiar yang menghujam karang. Aku tidak tahu apakah Yoga dan Chiko merasakan yang kurasakan. Saat itu juga aku terkulai lemas persis di sebelah tempat tidur. Tangisan bercucuran tanpa henti. Harga diri sudah terlanjur jatuh di bawah tanah. Aku berharap Yoga terus berada di Eropa tanpa pernah pulang menemui Reni meskipun akibatnya juga akan terkena padaku. Namun, mungkin itulah yang terbaik. Bagiku, lebih baik Yoga dapat berbahagia di tempat yang jauh tanpa ada aku di sisinya daripada harus melihat Yoga bersama dengan Reni.
***
Yasmin yang sedari dulu sudah kusiram dengan pupuk dan air, kini mulai layu dan tejelembab pada lembah yang suram. Aku tidak bisa lagi mendirikan iman dalam batinnya yang rapuh. Dia sudah tergoda dengan cinta yang salah. Melihat kenangan tempo dulu saat Yoga mengasuh Chiko, memberi makan Chiko, membantu masak, aku yakin Yoga orang yang baik. Dia bukan orang yang seperti itu. Justru Reni yang mengubah segalanya.
“Bukan Reni jodohmu, Nak,” kataku dalam hati. Suaraku tentu tak terdengar olehnya yang sangat jauh dari tempatku berada. Sudah dua tahun aku kehilangan jejaknya sejak gebrakan pintu terakhir yang merupakan jawaban terakhir darinya.  Kudengar, dia pergi lagi ke Eropa untuk meneruskan cita-citanya. Entah harus bangga atau tidak ketika aku tahu dia pergi bersama dengan Reni.
Belum kering duka yang mengguyur keluarga kami, suamiku meninggal dalam ketenangan yang abadi. Aku sempat mengirim pesan kepada Yoga. Itulah pesan pertama kali yang kuterima setelah dua tahun silam menghilang sekaligus pesan terakhir kali darinya. “Aku turut berduka cita atas meninggalnya ayah. Maaf, aku tidak bisa pulang,” katanya melalui pesan pendek. Aku tidak menyangka kehilangan ayahnya bukan berarti apa-apa baginya.
Semua ini memang salahku karena tidak memberitahu ancaman-ancaman yang disampaikan oleh Reni kepada Yoga. Mengapa harus aku tutup-tutupi? Semua beban telah jatuh di pundakku. Sekarang hanya aku yang menangis menahan rasa sakit kehilangan anak serta suamiku sekaligus. Hanya Chiko yang aku punya sekarang.
Satu tahun berselang sepeninggal suamiku, berita buruk sampai di telingaku. Awan kembali kelabu dan mengelilingi aura tubuhku saat itu. Costa Concordia tenggelam di Isola del Giglio, Italia. Kontan tubuhku roboh seketika. Pada saat itu kalender menunjukan tanggal 13 Januari 2012. Aku sempat melihatnya sebelum mataku terpejam. Suara Chiko yang memanggil namaku terdengar seperti suara burung pipit yang justru menggiringku ke dalam ketaksadaran. Dalam gelapnya mataku, hatiku berbicara, “Aku tidak peduli siapa diriku, ibu kandung atau ibu tiri. Aku berharap Yoga tidak sedang berada di kapal pada saat itu. Aku ingin dia tetap hidup menjadi yasmin yang kudambakan. Menjadi yasmin yang mengharumkan segalanya yang ada di sekitarnya. Bukan menjadi yasmin yang layu dan bobrok imannya. Kumohon, Tuhan.”

Surakarta, 20 Juni 2014