Jumat, 07 November 2014

Mulut Seorang Pelajar


oleh: Michelia Alba

 “Tidak mungkin. Pasti ada di suatu tempat. Aku yakin aku meninggalkannya di suatu tempat. Entah kapan. Entah dimana.” Suara batin itu hanya mampu menggesek dinding hati, rongga hidung, dan langit-langit mulut Sueb. Kemudian, telapak tangannya menggumpal seperti batu, uratnya ditarik hingga menegang, keringatnya pun mencair di permukaan kulitnya, dan otaknya berputar 180 derajat. Namun sayang, semua itu percuma. Suara Sueb menghilang seketika. Entah kapan. Entah dimana.
Sueb menggeledah barang-barang yang berada di kamar kostnya. Dalam sekejap kamar yang berlapis perak dan emas itu pun berubah menjadi berantakan. Buku-buku sejarah berdampingan dengan pakaian dalam, komputer terbungkus dengan handuk bekas mandi, dan entah bagaimana caranya gergaji karatan pun terbaring bebas di kamanya. Keadaan itu semakin membuatnya stres dan depresi. Dia benar-benar tidak menemukan suaranya.
Sore hari, saat nyanyian gagak terkadang mencabik-cabik perasaannya, Sueb menemui salah satu sahabatnya. Dengan tergopoh-gopoh membawa dua puluh buku di dalam tasnya, dia menerobos sunyi yang memaksanya untuk mundur. Tampaknya kali ini Sueb sungguh geram dengan alam dan waktu yang telah mengutuknya menjadi bisu. Langkahnya tidak bisa dihentikan.
“Tumben kamu datang ke sini. Apakah kamu sudah mau mendengarkanku?” ucap Ben, sahabat Sueb, dengan senyum yang sedikit miring.
Kurang dari sedetik mata Sueb menatap Ben. Kemudian matanya menoleh ke pintu, jendela, pakaian, celana atau apapun di sekitarnya. Sueb tidak bisa memaksakan matanya melakukan kontak dengan orang lain.
Tiba-tiba sunyi datang lagi menyelinap di antara mereka berdua. Tak ada yang berbicara sedikit pun. Sueb mengutuk dalam hati apabila Ben tidak mengizinkannya masuk, maka saat pagi datang Sueb akan langsung menghajarnya.
“Baiklah, silahkan masuk,” ucap Ben seolah-olah mendengar kutukan batin Sueb. “Sebentar akan kubuatkan kopi panas untukmu.”
Sueb termenung lama di atas sofa bermotif batik sembari membayangkan kesalahan apa yang pernah dilakukannya pada masa lalu. Ia bergerak perlahan menuju cermin yang terletak di dinding ruang tamu. Korneanya mulai retak karena ada butiran air yang berkali-kali mendobrak ingin keluar dan berteriak. Penyesalan seakan merampas otaknya begitu saja.
Tiga tahun sudah Sueb menjadi mahasiswa. Ambisinya memang sudah dipupuk dari pertama kali menginjakan kakinya di kampus untuk menjadi mahasiswa terbaik. Cita-citanya yang kuat dan janjinya kepada orang tua yang tinggal di tempat jauh membuat Sueb semakin serius untuk menekuni bidang yang dia ambil.
Dia sudah terbiasa melahap buku-buku tebal penuh teori dan analisis. Pergelangan tangannya sudah menghitam akibat sering mengetik di atas keyboard. Permasalahan apapun dalam makalah tidak ada satupun yang tidak bisa dia lewati. Mungkin pencernaannya haus dengan ilmu pengetahuan. Saat sakitpun entah kenapa hanya buku yang dapat menolongnya. Buku adalah obat paling baik baginya.
Ben dulu sering sekali mengajak Sueb untuk keluar dari kamarnya yang sudah tak terurus itu. Baik untuk berkumpul dengan suatu organisasi atau sekedar melepas penat dengan pergi mendaki gunung. Semua percuma saja. Sueb hanya ingin mempunyai satu tujuan dalam hidupnya. Adalah menjadi mahasiswa paling pintar dan sukses.
Berkali-kali Ben mengingatkan Sueb agar tidak terus-terusan berada di depan komputernya atau di hadapan bukunya. Itu juga percuma tidak ada satu pun ucapan Ben yang hinggap di pemikiran Sueb. Dengan nada bercanda, Ben mengatakan “Kesuksesan itu seperti takdir, bahkan orang bodoh pun bisa menjadi sukses. Jangan terlalu lama terhipnotis dengan buku. Aplikasikan segera ke dunia nyata. Lama-lama jika kau tidak mendengar ucapanku, telingamu itu akan mengering dan membusuk. Setelah itu, telingamu hanya akan bisa mendengar bunyi yang frekuensinya di bawah 20 Hz. Dengan kata lain, kau hanya bisa berbicara dengan bunyi yang frekuensinya di bawah 20 Hz. Dan saat itu pula, aku tidak akan pernah mendengar ucapanmu. Kau paham?”
“Kalimat itu terdengar seperti kutukan. Tetapi tidak mungkin. Mana ada teori semacam itu. Kau gila!” ucap Sueb yang matanya masih tetap terpaku dengan bukunya.
“Mmm.. Mungkin teori itu tidak ada di dalam buku. Itu ada di dunia nyata.”
Sueb melirik tajam.
“Oke, aku yang gila. Sekarang aku harus pulang. Sampai jumpa lagi. Kalau kau berubah pikiran, datanglah padaku. Kita akan bersenang-senang sejenak.” Ben mendekatkan wajahnya ke hadapan Sueb, “Sebelum terlambat.”
Setelah itu, Ben tidak pernah lagi membujuk Sueb untuk keluar. Sueb hidup dengan kesendiriannya. Melompat dari satu tempat ke tempat lain yang hanya ada buku di dalamnya. Lapar dan dahaganya sudah terpenuhi hanya dengan membaca buku. Di tambah dengan internet yang kini sebagai hidangan penutupnya. Sueb nyaris tak pernah berbicara, mendengar, dan menatap orang lain.
Sampai pada suatu hari ketika dia sedang memesan tiket kereta untuk pulang ke kampungnya, dia sudah kehilangan suaranya. Petugas stasiun kebingungan melihat tingkah Sueb yang hanya menggerak-gerakan mulutnya tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Sueb pun langsung bergegas menaiki motornya untuk kembali pulang ke kostannya. Dia mencari suaranya di dalam buku. Setiap halaman dibolak-balik dengan cepat.
Setelah tiga jam berkutat dengan ratusan buku, dia kembali ke stasiun. Sama seperti penyakit biasa yang menyerangnya, dia berharap membaca buku dapat mengembalikan suaranya yang hilang. Petugas stasiun pun lagi-lagi terheran-heran saat mendapati mulut Sueb yang bergerak tanpa menimbulkan suara. Sesudah berkali-kali pulang pergi dari kostan ke stasiun, akhirnya petugas stasiun menyarankan Sueb untuk pergi ke dokter. Namun Sueb menolak. Batinnya berkecamuk, “Ini pasti kutukan!”
“Kopi sudah datang.” Ben terdiam heran mengamati Sueb yang sedang memandang cemin, “Ada apa?”
Sueb menerima kopi pemberian Ben. Dengan tangan yang gemetar dan perasaan yang berat, Sueb mengambil gelas dengan kopi panas hangat di dalamnya. Ia dekatkan kopi itu ke hadapan cermin. Lalu, dia mengarahkan tangan kanannya dan mulai melukis kata-kata di permukaan cermin yang sudah terkena uap. “Sudah terlambat,” itulah tulisannya.
Ben terdiam cukup lama dan mencoba memahami situasi. Kakinya mulai berjalan perlahan mendekati kursi ruang tamu. Direbahkanlah tubuhnya itu sambil mengambil rokok di atas meja. Dalam sekejap asap sudah mulai memadati ruang tamu.
“Aku tidak percaya. Aku benar-benar telah mengutukmu.”
Malam itu menjadi lebih pekat daripada malam yang sebelumnya. Sueb pun berusaha berteriak seakan memanggil petir untuk bergemuruh. Tangannya berkali-kali menghantam cermin. Mulut Sueb menganga terus-menerus namun Ben hanya dapat mendengar pecahan cermin. Jika ada seseorang yang dapat melihat, hanya nyamuk yang menyingkir dari tempat itu. Mungkin benar, Sueb hanya bisa bersuara dengan frekuensi di bawah 20 Hz. Tidak lebih.
Ratapan Sueb tak pernah berhenti hingga malam sudah berada di tengah bumi. Dia sibuk mencari tahu di dalam buku. Suaranya tidak pernah ditemukan di dalamnya. Dia pun menjelajah ke kamar Ben. Hasilnya sama saja. Tidak ada buku yang dapat membuat suaranya kembali. Tubuhnya dibanting berkali-kali, kepalanya diremas, dan mulutnya dipukuli hingga dia mulai kelelahan. Mulut Sueb menganga dan meronta-ronta di hadapan Ben meminta belas kasih. Sementara itu, Ben hanya memandang lurus tanpa berkedip seakan Sueb hanyalah hologram. Sesekali asap rokok yang mengepul menahan air yang hendak jatuh dari matanya.

*****

Satu bulan setelah malam itu, Ben terus mengajak Sueb untuk bercakap-cakap bersama. Terkadang Sueb diajak untuk berkunjung ke dalam sebuah organisasi. Setidaknya usaha itu mengalami perkembangan. Sueb mulai bisa tersenyum kembali meskipun masih mengucapkan kalimat dengan terbata-bata.
Hanya saja, ketagihannya membaca buku tidak dapat ditolerir lagi. Dia bahkan membiarkan lambungnya kosong hanya untuk menghabiskan waktu bersama bukunya itu. Makanan yang dibelikan Ben di warung depan pun hanya dijamah beberapa kali saja oleh Sueb.
Ben benar-benar tidak menyangka kalau perkataannya itu benar. Rasa bersalah pun terkadang menyelimuti mimpi buruknya. Meskipun dengan cara berkumpul dengan orang banyak sudah menujukan kemajuan bagi Sueb, Ben merasa ada yang kurang dari semua usaha itu. Ben akhirnya mengantarkan Sueb untuk pulang ke kampungnya. Siapa tahu dengan mengajaknya pulang ada secercah harapan baru.
Sebelum berangkat, Ben menukar buku-buku Sueb yang ada di dalam tasnya dengan pakaian tanpa diketahui Sueb. Benar saja, selama perjalanan Sueb mengalami kegelisahan yang luar biasa tanpa buku. Dia merasa sangat ketakutan. Dia tidak berani menatap orang di sekitarnya. Sueb berkali-kali mengutuk sahabatnya itu di dalam hati. Hingga akhirnya Sueb menghabiskan perjalanannya di dalam toilet kereta. Para penumpang lain pun terpaksa menggunakan toilet lain untuk buang air setelah Ben memberikan penjelasan pada mereka.
Langit sudah menjadi jingga ketika Sueb sampai di kampungnya. Ben menyampaikan apa yang terjadi pada kedua orang tua Sueb. Orang tuanya bergeming lemas tak berdaya.
“Ini bukan semata-mata salahmu. Kamilah yang memulai. Kami bahkan tidak sempat melihat pertumbuhanmu,” Ibunya Sueb kehilangan kata-katanya. Tangisannya meledak tanpa bisa dijinakan.
Sueb hanya menunduk di hadapan orang tuanya dengan tatapan yang kebingungan. Ayahnya Sueb berusaha melanjutkan perkataan istrinya itu, “Sejak SD kami sudah menyekolahkanmu di luar kota. Kami yang berjuang di sini, dan kau berjuang di sana. Kami titipkan kamu kepada Bibi Yati. Namun setelah beliau meninggal, kini kamu hidup sendiri. Kami tidak  bisa mengurusmu dan mendidikmu. Kami memang orang tua yang tidak becus.”
“Maafkan Ibu, Sueb.” Ibunya Sueb langsung memeluk tubuh Sueb. “Ibu tidak ingin hal ini terjadi padamu. Jika saja ibu selalu ada di sampingmu, mungkin hal ini tidak akan pernah terjadi. Bahkan menjadi bisu pun Ibu tidak tahu. Ibu menyesal. Ibu minta maaf. Ibu merindukanmu, Sueb.”
“Aku juga merindukanmu, Ibu.”
“Hah?” Ibunya Sueb melepas pelukannya.
“Iya. Maksudku, maafkan aku juga Ibu. Aku tidak bisa mengurus diriku sendiri. Aku bukanlah anak yang baik.”
“Bukan itu. Bukan itu maksud Ibu. Kamu bisa bicara lagi?”
“Hah?”

Surakarta, 17 September 2014
(Juara I Lomba Safik Saseru UNS 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar