Senin, 03 November 2014

Yasmin Karam di Benua Biru


oleh: Michelia Alba

Empat belas tahun yang lalu, aku masih melihat Yoga seperti benih yang sedang berlari-larian di depan halaman rumahku. Sesekali, dia ajak adiknya bermain bola. Suaranya yang riang membuat bibir tipisku mengembang menuai senyuman. Kemudian, tanpa kusadari benih itu mulai tumbuh merangkak menuju matahari terbit. Aromanya sudah seperti yasmin. Namun, entah mengapa suara lantangnya mengubah tahun-tahunku bersamanya. Mengubah semua alam menjadi haru dan gelap. Mengubah keadaan menjadi 180 derajat.
“Aku mencintainya dan itu urusanku. Aku yang menjalaninya. Tidak ada yang lain selain dia Ibu. Dia yang terbaik untukku,” kata Yoga dengan suaranya yang meninggi bahkan membuat air di dalam gelasku bergelombang. Untung saja Chiko tidak melihat kakaknya seperti ini. Jika dia berada di sini, mungkin dia akan langsung membelaku. Namun yang aku takutkan suatu saat nanti Chiko akan menuruti jejak kakaknya.
Air mata yang hendak membasahi pipiku dapat kutahan untuk sementara waktu. Aku berusaha tegar menghadapi amarah anakku yang satu ini. Tetanggaku bilang usianya memang sudah tepat untuk menjadi seorang pembangkang.
“Ibu yakin, dia bukan wanita yang tepat untukmu. Ibu tahu yang terbaik untukmu. Lepaskan dia. Percayalah padaku, Yoga.” Suaraku pelan karena air mata yang tersangkut dalam tenggorokanku. Hatiku sudah tidak lagi padat berisi, kulitnya sudah berongga-rongga akibat bentakan anakku yang setiap hari masuk melalui telingaku.
“Ibu tahu apa yang terbaik untukku? Memangnya siapa Ibu? Lebih baik Ibu urus saja Chiko yang di dalam darahnya mengalir darah Ibu. Bukan aku.” Tanpa merendahkan suaranya sedikitpun, Yoga terlihat sedang membereskan pakaian dan tasnya.
“Ibu memang bukan Ibu kandung kamu. Tapi selama empat belas tahun, Ibu yang mengurusi kamu. Ibu yang selalu menyayangi kamu seperti anak Ibu sendiri. Ibu tahu siapa kamu.”
“Ibu tahu siapa aku? Seberapa besar ibu mengetahui aku? Kita tidak sedarah.”
“Kamu cemburu pada adikmu?”
“Tidak.”
“Lantas apa? Bagi Ibu, sedarah atau tidak itu bukanlah sesuatu yang penting. Faktor biologis tidak berpengaruh pada kasih sayang. Kasih sayang seorang ibu sangat murni dan tidak ada kaitannya dengan darah. Semua ibu memiliki surga di kakinya. Darah adalah bentuk lahir yang merupakan simbol seorang anak di mata manusia lainnya, sedangkan surga dalam kaki ibu adalah simbol sebuah keagungan seorang wanita di hadapan Tuhan. Kasih sayang terkait dengan batin yang ada dalam diri manusia. Naluri seorang ibu bukan mengalir dalam darah tetapi mengalir dari setiap kasih sayang yang tercurahkan pada anaknya.”
“Omong kosong,” ucap Yoga.
“Apa ini yang diajarkan oleh orang Eropa? Apakah ini yang kau dapat dari pengalamanmu berada di kapal pesiar?”
Yoga membawa tasnya dan langsung bergegas keluar dari rumah.
“Yoga, mau kemana kamu?”
Gebrakan pintu adalah jawaban terakhirnya. Entah apa yang ingin disampaikan dengan sikapnya yang keras. Aku justru tidak mempercayai semua keadaan ini. Bunga yasmin yang sedari dulu aku pupuk hingga sedemikian matang dan indah, ternyata berubah menjadi seekor singa yang ganas. Bahkan tidak sedikitpun kenangan indah yang terbesit dalam ingatannya. Cemas dan khawatir ini mendorong air mataku turun ke pipi. Suara air keran yang bocor mengiringi kesepianku di sore yang temaram. Aku ingin jangan sekarang Chiko datang. Dia tidak boleh melihat aku menangis. Biar saja tembok-tembok yang menghinaku. Biar saja langit-langit serta cicak-cicak yang mencibirku sebagai ibu yang tidak berguna.
***
Aku pun pernah tahu apa itu cinta. Cinta itu bagai api yang membakar apa saja selain yang dicintainya. Bahkan ibunya sekalipun tidak mejadi perhatian yang penting baginya. Dia benar-benar sudah dirasuki oleh cinta yang membara dan cinta yang menurutku salah. Aku masih tetap berdiri di pendirianku yang kokoh. Wanita yang Yoga cintai bukanlah wanita yang baik untuknya.
Argumenku bukan tanpa alasan. Sebulan yang lalu, Reni pernah datang bersama Yoga ke rumahku. Saat itu Yoga memperkenalkannya. Tatapan mata yang tajam dari wajah Reni membuat buluku merinding. Ada sesuatu yang kejam dari dirinya. Auranya terpancar gelap dari sekujur tubuhnya. Firasat apa ini? Aku tidak mengerti mengapa pagi yang begitu cerah mendadak suram bagiku.
Waktu seakan deras sekali menyedot hari-hariku. Kemudian, di halaman depan aku berbincang-bincang pada Yoga.
“Dia kekasihmu?”
“Iya, Bu. Bagaimana?”
“Tidak ada yang lain?” Entah mengapa ucapan itu langsung terucap tanpa disaring. Pembukaan pembicaraan yang buruk. Aku terlalu terbawa emosi. Seluruh sistem sarafku bekerja menuruti alam bawah sadarku.
“Maksud Ibu?” tanya Yoga
“Maksudnya…”
“Ibu tidak setuju dengan pilihan Yoga?”
“Firasat Ibu mengatakan bahwa dia bukan yang terbaik untukmu,” kataku dengan nada yang rendah sempurna. Aku harus mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi dalam diriku. Tidak baik memendam firasat telalu lama. Terkadang firasat harus segera diucapkan sebelum keadaan lebih cepat mengubah semuanya. Dialog pagi itu berjalan sangat singkat dan buruk. Tidak ada penyelesaian dan penyesalan. Yoga tetap menaruh pilihan pada Reni. Yoga meninggalkan aku di halaman depan bersama seutas sunyi.
Aku memang bukan ibunya. Dia adalah anak dari saudaraku yang setengah waras. Dulu aku memeliharanya karena tidak tega melihat keadaan Yoga. Badannya kurus kering tanpa ada yang memedulikannya. Ibunya yang setengah waras berkali-kali memukul Yoga apabila dia merengek-rengek meminta makan.
Aku membujuk suamiku di tengah makan malam. Kebetulan aku belum mempunyai anak pada saat itu. Saat melihat Yoga, sepertinya dia memang ditakdirkan Tuhan untuk bertemu aku. Akhirnya aku mengadopsi Yoga. Dia sudah menjadi tanggung jawabku sekarang. Kehidupan Yoga yang diselimuti dengan kekerasan dari seorang ibu berubah drastis ketika berada di tanganku.
Awalnya memang Yoga sulit untuk diatur. Bekali-kali dia melanggar perintahku. Berlari-lari di tengah rumah makan saat aku ajak makan di luar, bersepeda di dalam rumah, memecahkan gelas, dan berbagai kegiatan lainnya yang membuatku sedikit kewalahan. Untung saja kesabaran masih tertanam rapi di dalam batinku. Semuanya aku lakukan dengan ikhlas. Sampai semuanya berakhir ketika Chiko lahir. Dia menjadi sosok yang lebih dewasa. Tidak ada lagi orang yang bisa kupercaya selain Yoga. Dialah yang melindungi Chiko, dialah yang membuatkan susu untuk Chiko, dan dialah yang mencuci semua baju Chiko.
Saat itu juga aku resmi menangis dalam senyuman. Sangat indah melihat keadaan seperti itu. Lelah dan letihnya seorang ibu dapat hilang tanpa bekas ketika melihat anaknya berubah menjadi apa yang dia inginkan. Yoga menjadi seorang yang penurut bahkan menjadi contoh yang baik untuk adiknya. Tuhan menghadirkan Chiko untuk mengubah segalanya.
Seperti yang aku katakan, benih sudah tumbuh menjadi bunga yasmin yang indah. Saat itu, Yoga telah meneruskan kuliah di perhotelan dalam bidang kitchen. Dari dulu memang dia pintar memasak. Aku yang mengajarinya. Sampai akhirnya dia menjadi koki yang terbaik di Bogor. Peringkat nilainya paling tinggi, semua orang memuji kehebatan dan kerapihannya dalam memasak.
Tidak sampai disitu, prestasinya kian melejit hingga dapat lolos seleksi untuk menjadi koki di kapal pesiar. Aku menangis terharu mendengar kabar baik itu. Dalam waktu yang singkat, Yoga telah menjadi bagian dari koki di dalam kapal Costa Concordia. Dia sempat memperlihatkan foto-fotonya di Eropa saat pulang ke rumah. Aku hanya berharap semua perjalanan pulang pergi itu dapat melupakan Reni dan kenangannya di masa lalu.
Sebulan setelah dialog singkatku yang buruk bersama Yoga atau lebih tepatnya dua hari setelah Yoga berangkat ke Eropa, Reni menghubungiku. Dengan nada yang memaki, dia mengancamku dengan banyak hal. Aku tidak sempat berbicara untuk membalas perkataannya karena sudah terlanjur diputus. Tidak berhenti disitu, dia menghubungiku lewat pesan singkat  melalui telepon genggamku. “Ibu jangan ikut campur dengan urusan kami. Ibu bukan siapa-siapa Yoga. Ibu tidak berhak melarang Yoga untuk berpacaran dengan siapa saja. Kamilah yang menjalin hubungan, tidak ada kaitannya dengan Ibu,” begitulah pesan singkat yang dikirimkan oleh Reni.
Bagai kapal pesiar yang menghujam karang. Aku tidak tahu apakah Yoga dan Chiko merasakan yang kurasakan. Saat itu juga aku terkulai lemas persis di sebelah tempat tidur. Tangisan bercucuran tanpa henti. Harga diri sudah terlanjur jatuh di bawah tanah. Aku berharap Yoga terus berada di Eropa tanpa pernah pulang menemui Reni meskipun akibatnya juga akan terkena padaku. Namun, mungkin itulah yang terbaik. Bagiku, lebih baik Yoga dapat berbahagia di tempat yang jauh tanpa ada aku di sisinya daripada harus melihat Yoga bersama dengan Reni.
***
Yasmin yang sedari dulu sudah kusiram dengan pupuk dan air, kini mulai layu dan tejelembab pada lembah yang suram. Aku tidak bisa lagi mendirikan iman dalam batinnya yang rapuh. Dia sudah tergoda dengan cinta yang salah. Melihat kenangan tempo dulu saat Yoga mengasuh Chiko, memberi makan Chiko, membantu masak, aku yakin Yoga orang yang baik. Dia bukan orang yang seperti itu. Justru Reni yang mengubah segalanya.
“Bukan Reni jodohmu, Nak,” kataku dalam hati. Suaraku tentu tak terdengar olehnya yang sangat jauh dari tempatku berada. Sudah dua tahun aku kehilangan jejaknya sejak gebrakan pintu terakhir yang merupakan jawaban terakhir darinya.  Kudengar, dia pergi lagi ke Eropa untuk meneruskan cita-citanya. Entah harus bangga atau tidak ketika aku tahu dia pergi bersama dengan Reni.
Belum kering duka yang mengguyur keluarga kami, suamiku meninggal dalam ketenangan yang abadi. Aku sempat mengirim pesan kepada Yoga. Itulah pesan pertama kali yang kuterima setelah dua tahun silam menghilang sekaligus pesan terakhir kali darinya. “Aku turut berduka cita atas meninggalnya ayah. Maaf, aku tidak bisa pulang,” katanya melalui pesan pendek. Aku tidak menyangka kehilangan ayahnya bukan berarti apa-apa baginya.
Semua ini memang salahku karena tidak memberitahu ancaman-ancaman yang disampaikan oleh Reni kepada Yoga. Mengapa harus aku tutup-tutupi? Semua beban telah jatuh di pundakku. Sekarang hanya aku yang menangis menahan rasa sakit kehilangan anak serta suamiku sekaligus. Hanya Chiko yang aku punya sekarang.
Satu tahun berselang sepeninggal suamiku, berita buruk sampai di telingaku. Awan kembali kelabu dan mengelilingi aura tubuhku saat itu. Costa Concordia tenggelam di Isola del Giglio, Italia. Kontan tubuhku roboh seketika. Pada saat itu kalender menunjukan tanggal 13 Januari 2012. Aku sempat melihatnya sebelum mataku terpejam. Suara Chiko yang memanggil namaku terdengar seperti suara burung pipit yang justru menggiringku ke dalam ketaksadaran. Dalam gelapnya mataku, hatiku berbicara, “Aku tidak peduli siapa diriku, ibu kandung atau ibu tiri. Aku berharap Yoga tidak sedang berada di kapal pada saat itu. Aku ingin dia tetap hidup menjadi yasmin yang kudambakan. Menjadi yasmin yang mengharumkan segalanya yang ada di sekitarnya. Bukan menjadi yasmin yang layu dan bobrok imannya. Kumohon, Tuhan.”

Surakarta, 20 Juni 2014




Tidak ada komentar:

Posting Komentar