oleh: Michelia Alba
Empat belas tahun yang
lalu, aku masih melihat Yoga seperti benih yang sedang berlari-larian di depan
halaman rumahku. Sesekali, dia ajak adiknya bermain bola. Suaranya yang riang
membuat bibir tipisku mengembang menuai senyuman. Kemudian, tanpa kusadari
benih itu mulai tumbuh merangkak menuju matahari terbit. Aromanya sudah seperti
yasmin. Namun, entah mengapa suara lantangnya mengubah tahun-tahunku
bersamanya. Mengubah semua alam menjadi haru dan gelap. Mengubah keadaan
menjadi 180 derajat.
“Aku mencintainya dan
itu urusanku. Aku yang menjalaninya. Tidak ada yang lain selain dia Ibu. Dia
yang terbaik untukku,” kata Yoga dengan suaranya yang meninggi bahkan membuat
air di dalam gelasku bergelombang. Untung saja Chiko tidak melihat kakaknya
seperti ini. Jika dia berada di sini, mungkin dia akan langsung membelaku.
Namun yang aku takutkan suatu saat nanti Chiko akan menuruti jejak kakaknya.
Air mata yang hendak
membasahi pipiku dapat kutahan untuk sementara waktu. Aku berusaha tegar
menghadapi amarah anakku yang satu ini. Tetanggaku bilang usianya memang sudah
tepat untuk menjadi seorang pembangkang.
“Ibu yakin, dia bukan
wanita yang tepat untukmu. Ibu tahu yang terbaik untukmu. Lepaskan dia.
Percayalah padaku, Yoga.” Suaraku pelan karena air mata yang tersangkut dalam
tenggorokanku. Hatiku sudah tidak lagi padat berisi, kulitnya sudah
berongga-rongga akibat bentakan anakku yang setiap hari masuk melalui
telingaku.
“Ibu tahu apa yang
terbaik untukku? Memangnya siapa Ibu? Lebih baik Ibu urus saja Chiko yang di
dalam darahnya mengalir darah Ibu. Bukan aku.” Tanpa merendahkan suaranya
sedikitpun, Yoga terlihat sedang membereskan pakaian dan tasnya.
“Ibu memang bukan Ibu
kandung kamu. Tapi selama empat belas tahun, Ibu yang mengurusi kamu. Ibu yang
selalu menyayangi kamu seperti anak Ibu sendiri. Ibu tahu siapa kamu.”
“Ibu tahu siapa aku?
Seberapa besar ibu mengetahui aku? Kita tidak sedarah.”
“Kamu cemburu pada
adikmu?”
“Tidak.”
“Lantas apa? Bagi Ibu,
sedarah atau tidak itu bukanlah sesuatu yang penting. Faktor biologis tidak
berpengaruh pada kasih sayang. Kasih sayang seorang ibu sangat murni dan tidak
ada kaitannya dengan darah. Semua ibu memiliki surga di kakinya. Darah adalah
bentuk lahir yang merupakan simbol seorang anak di mata manusia lainnya,
sedangkan surga dalam kaki ibu adalah simbol sebuah keagungan seorang wanita di
hadapan Tuhan. Kasih sayang terkait dengan batin yang ada dalam diri manusia.
Naluri seorang ibu bukan mengalir dalam darah tetapi mengalir dari setiap kasih
sayang yang tercurahkan pada anaknya.”
“Omong kosong,” ucap
Yoga.
“Apa ini yang diajarkan
oleh orang Eropa? Apakah ini yang kau dapat dari pengalamanmu berada di kapal
pesiar?”
Yoga membawa tasnya dan
langsung bergegas keluar dari rumah.
“Yoga, mau kemana
kamu?”
Gebrakan pintu adalah
jawaban terakhirnya. Entah apa yang ingin disampaikan dengan sikapnya yang
keras. Aku justru tidak mempercayai semua keadaan ini. Bunga yasmin yang sedari
dulu aku pupuk hingga sedemikian matang dan indah, ternyata berubah menjadi
seekor singa yang ganas. Bahkan tidak sedikitpun kenangan indah yang terbesit
dalam ingatannya. Cemas dan khawatir ini mendorong air mataku turun ke pipi.
Suara air keran yang bocor mengiringi kesepianku di sore yang temaram. Aku
ingin jangan sekarang Chiko datang. Dia tidak boleh melihat aku menangis. Biar
saja tembok-tembok yang menghinaku. Biar saja langit-langit serta cicak-cicak
yang mencibirku sebagai ibu yang tidak berguna.
***
Aku pun pernah tahu apa
itu cinta. Cinta itu bagai api yang membakar apa saja selain yang dicintainya.
Bahkan ibunya sekalipun tidak mejadi perhatian yang penting baginya. Dia
benar-benar sudah dirasuki oleh cinta yang membara dan cinta yang menurutku
salah. Aku masih tetap berdiri di pendirianku yang kokoh. Wanita yang Yoga
cintai bukanlah wanita yang baik untuknya.
Argumenku bukan tanpa
alasan. Sebulan yang lalu, Reni pernah datang bersama Yoga ke rumahku. Saat itu
Yoga memperkenalkannya. Tatapan mata yang tajam dari wajah Reni membuat buluku
merinding. Ada sesuatu yang kejam dari dirinya. Auranya terpancar gelap dari
sekujur tubuhnya. Firasat apa ini? Aku tidak mengerti mengapa pagi yang begitu
cerah mendadak suram bagiku.
Waktu seakan deras
sekali menyedot hari-hariku. Kemudian, di halaman depan aku berbincang-bincang
pada Yoga.
“Dia kekasihmu?”
“Iya, Bu. Bagaimana?”
“Tidak ada yang lain?”
Entah mengapa ucapan itu langsung terucap tanpa disaring. Pembukaan pembicaraan
yang buruk. Aku terlalu terbawa emosi. Seluruh sistem sarafku bekerja menuruti
alam bawah sadarku.
“Maksud Ibu?” tanya
Yoga
“Maksudnya…”
“Ibu tidak setuju
dengan pilihan Yoga?”
“Firasat Ibu mengatakan
bahwa dia bukan yang terbaik untukmu,” kataku dengan nada yang rendah sempurna.
Aku harus mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi dalam diriku. Tidak baik
memendam firasat telalu lama. Terkadang firasat harus segera diucapkan sebelum
keadaan lebih cepat mengubah semuanya. Dialog pagi itu berjalan sangat singkat
dan buruk. Tidak ada penyelesaian dan penyesalan. Yoga tetap menaruh pilihan
pada Reni. Yoga meninggalkan aku di halaman depan bersama seutas sunyi.
Aku memang bukan
ibunya. Dia adalah anak dari saudaraku yang setengah waras. Dulu aku
memeliharanya karena tidak tega melihat keadaan Yoga. Badannya kurus kering
tanpa ada yang memedulikannya. Ibunya yang setengah waras berkali-kali memukul
Yoga apabila dia merengek-rengek meminta makan.
Aku membujuk suamiku di
tengah makan malam. Kebetulan aku belum mempunyai anak pada saat itu. Saat
melihat Yoga, sepertinya dia memang ditakdirkan Tuhan untuk bertemu aku. Akhirnya
aku mengadopsi Yoga. Dia sudah menjadi tanggung jawabku sekarang. Kehidupan
Yoga yang diselimuti dengan kekerasan dari seorang ibu berubah drastis ketika
berada di tanganku.
Awalnya memang Yoga
sulit untuk diatur. Bekali-kali dia melanggar perintahku. Berlari-lari di
tengah rumah makan saat aku ajak makan di luar, bersepeda di dalam rumah,
memecahkan gelas, dan berbagai kegiatan lainnya yang membuatku sedikit
kewalahan. Untung saja kesabaran masih tertanam rapi di dalam batinku. Semuanya
aku lakukan dengan ikhlas. Sampai semuanya berakhir ketika Chiko lahir. Dia
menjadi sosok yang lebih dewasa. Tidak ada lagi orang yang bisa kupercaya
selain Yoga. Dialah yang melindungi Chiko, dialah yang membuatkan susu untuk
Chiko, dan dialah yang mencuci semua baju Chiko.
Saat itu juga aku resmi
menangis dalam senyuman. Sangat indah melihat keadaan seperti itu. Lelah dan
letihnya seorang ibu dapat hilang tanpa bekas ketika melihat anaknya berubah
menjadi apa yang dia inginkan. Yoga menjadi seorang yang penurut bahkan menjadi
contoh yang baik untuk adiknya. Tuhan menghadirkan Chiko untuk mengubah
segalanya.
Seperti yang aku
katakan, benih sudah tumbuh menjadi bunga yasmin yang indah. Saat itu, Yoga
telah meneruskan kuliah di perhotelan dalam bidang kitchen. Dari dulu memang dia pintar memasak. Aku yang
mengajarinya. Sampai akhirnya dia menjadi koki yang terbaik di Bogor. Peringkat
nilainya paling tinggi, semua orang memuji kehebatan dan kerapihannya dalam
memasak.
Tidak sampai disitu,
prestasinya kian melejit hingga dapat lolos seleksi untuk menjadi koki di kapal
pesiar. Aku menangis terharu mendengar kabar baik itu. Dalam waktu yang
singkat, Yoga telah menjadi bagian dari koki di dalam kapal Costa Concordia.
Dia sempat memperlihatkan foto-fotonya di Eropa saat pulang ke rumah. Aku hanya
berharap semua perjalanan pulang pergi itu dapat melupakan Reni dan kenangannya
di masa lalu.
Sebulan setelah dialog
singkatku yang buruk bersama Yoga atau lebih tepatnya dua hari setelah Yoga
berangkat ke Eropa, Reni menghubungiku. Dengan nada yang memaki, dia mengancamku
dengan banyak hal. Aku tidak sempat berbicara untuk membalas perkataannya
karena sudah terlanjur diputus. Tidak berhenti disitu, dia menghubungiku lewat
pesan singkat melalui telepon genggamku.
“Ibu jangan ikut campur dengan urusan kami. Ibu bukan siapa-siapa Yoga. Ibu
tidak berhak melarang Yoga untuk berpacaran dengan siapa saja. Kamilah yang
menjalin hubungan, tidak ada kaitannya dengan Ibu,” begitulah pesan singkat
yang dikirimkan oleh Reni.
Bagai kapal pesiar yang
menghujam karang. Aku tidak tahu apakah Yoga dan Chiko merasakan yang
kurasakan. Saat itu juga aku terkulai lemas persis di sebelah tempat tidur.
Tangisan bercucuran tanpa henti. Harga diri sudah terlanjur jatuh di bawah
tanah. Aku berharap Yoga terus berada di Eropa tanpa pernah pulang menemui Reni
meskipun akibatnya juga akan terkena padaku. Namun, mungkin itulah yang
terbaik. Bagiku, lebih baik Yoga dapat berbahagia di tempat yang jauh tanpa ada
aku di sisinya daripada harus melihat Yoga bersama dengan Reni.
***
Yasmin yang sedari dulu
sudah kusiram dengan pupuk dan air, kini mulai layu dan tejelembab pada lembah
yang suram. Aku tidak bisa lagi mendirikan iman dalam batinnya yang rapuh. Dia
sudah tergoda dengan cinta yang salah. Melihat kenangan tempo dulu saat Yoga
mengasuh Chiko, memberi makan Chiko, membantu masak, aku yakin Yoga orang yang
baik. Dia bukan orang yang seperti itu. Justru Reni yang mengubah segalanya.
“Bukan Reni jodohmu,
Nak,” kataku dalam hati. Suaraku tentu tak terdengar olehnya yang sangat jauh
dari tempatku berada. Sudah dua tahun aku kehilangan jejaknya sejak gebrakan
pintu terakhir yang merupakan jawaban terakhir darinya. Kudengar, dia pergi lagi ke Eropa untuk
meneruskan cita-citanya. Entah harus bangga atau tidak ketika aku tahu dia
pergi bersama dengan Reni.
Belum kering duka yang
mengguyur keluarga kami, suamiku meninggal dalam ketenangan yang abadi. Aku
sempat mengirim pesan kepada Yoga. Itulah pesan pertama kali yang kuterima
setelah dua tahun silam menghilang sekaligus pesan terakhir kali darinya. “Aku
turut berduka cita atas meninggalnya ayah. Maaf, aku tidak bisa pulang,”
katanya melalui pesan pendek. Aku tidak menyangka kehilangan ayahnya bukan
berarti apa-apa baginya.
Semua ini memang
salahku karena tidak memberitahu ancaman-ancaman yang disampaikan oleh Reni
kepada Yoga. Mengapa harus aku tutup-tutupi? Semua beban telah jatuh di
pundakku. Sekarang hanya aku yang menangis menahan rasa sakit kehilangan anak
serta suamiku sekaligus. Hanya Chiko yang aku punya sekarang.
Satu tahun berselang
sepeninggal suamiku, berita buruk sampai di telingaku. Awan kembali kelabu dan
mengelilingi aura tubuhku saat itu. Costa Concordia tenggelam di Isola del
Giglio, Italia. Kontan tubuhku roboh seketika. Pada saat itu kalender
menunjukan tanggal 13 Januari 2012. Aku sempat melihatnya sebelum mataku
terpejam. Suara Chiko yang memanggil namaku terdengar seperti suara burung
pipit yang justru menggiringku ke dalam ketaksadaran. Dalam gelapnya mataku,
hatiku berbicara, “Aku tidak peduli siapa diriku, ibu kandung atau ibu tiri.
Aku berharap Yoga tidak sedang berada di kapal pada saat itu. Aku ingin dia
tetap hidup menjadi yasmin yang kudambakan. Menjadi yasmin yang mengharumkan
segalanya yang ada di sekitarnya. Bukan menjadi yasmin yang layu dan bobrok
imannya. Kumohon, Tuhan.”
Surakarta, 20 Juni 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar