Rabu, 11 Juni 2014

Resensi Novel Scappa per Amore Karya Dini Fitria




Oleh: Michelia Alba

Novel: Scappa per Amore
Pengarang: Dini Fitria
Penerbit: Noura Books PT Mizan Publika
Cetakan: pertama, 2013
Halaman: 316, 14x21 cm
ISBN: 978-602-1606-02-5



Sinopsis dalam buku:
Italia. Inilah negara keempat yang dikunjunginya. Awalnya, tugas liputan kehidupan kaum Muslim di beberapa negara di Eropa ini diterimanya untuk rehat sejenak dari kenyataan pahit yang sulit dihadapinya. Namun, di depan Fortana di Trevi pun, Diva masih berusaha mengumpulkan kembali serpihan hatinya yang sempat terburai karena cinta. Scappa per Amore (lari karena cinta), istilah dalam bahasa Italia ini tepat sekali menggambarkan perjalanannya.
Namun, tak seperti manusia, Tuhan tak pernah meninggalkan mereka yang mencintainya. Justru di negara-negara tempat Islam menjadi minoritas itulah Diva bertemu para pejuang kehidupan yang memberinya banyak pelajaran yang berharga. Hakima yang rela diusir demi mempertahankan kepercayaannya, Karima dan Elise yang rela mengorbankan berbagai prestasi demi selembar hijab, teman-teman baru yang membukakan matanya dan mengenalkan pada sisi unik Islam di Eropa, sampai Vivi, sahabat lamanya yang memberikan kejutan yang tak terkira.
Namun, di tengah perjalanan, sebuah panggilan rindu dari mamanya di Jakarta membuatnya gamang. Hatinya cemas. Dia takut mamanya tak sekedar kangen. Diva pun harus memilih di antara tanggung jawabnya pada keluarga atau pekerjaan.

Sinopsis cerita:
Scappa per Amore ini bercerita tentang seorang tokoh yang bernama Diva yang menemukan bermacam sudut padang mengenai Islam di Eropa. Perjalanannya sangat bervariasi bahkan ada kejutan-kejutan yang tak terkira dalam ceritanya tersebut. Pada awal cerita dikisahkan seorang tokoh yang bernama Hakima. Dia adalah teman Diva yang mempunyai ibu dari Belanda dan ayah dari Maroko.
Hakima sudah ditinggalkan ayahnya sejak dia masih balita. Ibunya menikah lagi dengan seorang laki-laki. Hakima baru menyebut “ayah” pada ayah barunya pada usia tujuh belas tahun. Sebenarnya dia adalah lelaki yang baik. Setiap hari selalu menyambangi kamar Hakima. Namun, pada suatu saat Hakima harus merelakan kehormatannya karena dipaksa oleh ayah tirinya tersebut. Kejadian itu berulang kali karena mendapatkan ancaman dari ayah tirinya. Hakima sempat memutuskan bunuh diri, Tuhan masih menyelamatkannya. Sejak saat itulah dia mengenal Allah dan Islam.
Sudah tiga tahun lamanya dia mengenal Islam. Islamlah yang menyelamatkannya dari keterpurukan. Dia pun mulai menggunakan hijab. Namun ibunya sendiri tidak merestui perpindahan agama yang dilakukan oleh Hakima. Akhirnya ibunya menyuruh Hakima untuk pergi dari rumahnya.
Diva pun meneruskan perjalanan untuk terus meliput berita. Dia bertemu dengan seseorang Carla di pesawat ketika hendak pergi ke Jerman. Diva ingin menemui Vivi, temannya, agar bisa berjalan-jalan mengelilingi Jerman. Carla adalah sosok wanita yang cantik. Dia baru mengenal Islam belum terlalu lama. Namun, Carla sangat baik pada Diva. Dia mau mengantar Diva berkeliling karena Vivi mendadak tidak bisa mengajak Diva berkeliling. Carla bahkan sempat memberi kejutan yang sangat berharga bagi Diva.
Suatu saat akhirnya Diva bertemu dengan Vivi. Vivi sudah terlihat sangat berbeda dari pertemuannya tujuh tahun yang lalu. Vivi sekarang menjadi orang yang menyukai wine atau minuman keras. Dia juga menjadi seorang perokok berat. Dan yang lebih mengejutkan lagi, dia rela meninggalkan aturan agama Islam untuk lebih memilih menjadi seorang yang Atheis. Kemudian Vivi akhirnya menceritakan alasan-alasannya pada Diva tentang pindahnya dia ke Atheis. Itu adalah masalah kehidupan, cinta, dan kebahagiaan. Sangat sulit untuk dijelaskan.
Kemudian Diva pergi ke Prancis untuk mengadakan liputan di tempat paling romantis di dunia itu. Di sana dia bertemu dengan Karima. Karima adalah sosok wanita yang juga harus berjuang menggunakan pakaian burqa alias pakaian muslim untuk wanita yang tertutup di Prancis. Negara prancis memang dikenal sebagai negara yang penuh dengan kebebasan. Namun belakangan ini, Prancis mengeluarkan peraturan bahwa dilarang untuk menggunakan sesuatu yang menyimbolkan suatu agama tertentu. Maka dari itu, jika orang Islam dilarang untuk menggunakan jilbab atau pakaian yang mencirikan agama Islam. Begitu juga dengan agama-agama lainnya. Itulah yang membuat Karima berjuang untuk mempertahankan prinsipnya di tengah hukum yang berlaku di negara Prancis. Dia bahkan sempat di keluarkan dari pekerjaannya. Kemudian, masih banyak lagi cerita menarik di dalam novel tersebut. Sampai pada akhirnya ibunya Diva meninggal dunia.

Resensi Novel:
Novel ini adalah jenis novel diaspora atau novel yang pengarangnya mendapat inspirasi setelah berjalan-jalan keluar negeri. Karya sastra diaspora berbeda dengan karya sastra eksil. Karya sastra eksil adalah karya sastra yang dibuat karena keterpaksaan yang mengharuskan pengarangnya untuk pergi ke luar negeri akibat permasalahan yang terjadi di negaranya. Berbeda dengan karya sastra eksil, karya sastra diaspora lebih ke arah yang positif dan tidak terlalu menyedihkan. Walaupun pada akhir novel ini terlihat ada unsur penyesalan dari tokoh utama.
Novel ini sangat menarik untuk dibaca karena idenya berbeda dan khas. Nuansanya juga masih terbawa oleh peran jurnalistik seorang pengarang. Penulis novel ini (Dini Fitria) adalah presenter Jazirah Islam. Dia keliling dunia hanya untuk meliput dan dari hasil liputannya itu menginspirasi dia untuk membuat novel. Hal tersebut tentu saja mempengaruhi cita rasa novel ini. Penggambarannya yang khas dengan sebuah campuran dengan informasi menarik membuat novel ini terkesan utuh dan padat berisi.
Seorang pembaca dipaksa membayangkan sosok Diva yang harus melihat lika-liku perjalanan manusia muslimah di benua Eropa. Kesulitan yang dialami oleh kaum muslim di negara Eropa memang sebuah masalah yang harusnya diperhatikan lagi oleh negara-negara di benua Eropa. Apakah tidak ada lagi toleransi dalam beragama? Atau memang hanya sampai di situ saja kepedulian orang lain terhadap agama? Permasalahan yang unik seperti ini tertuang dalam novel ciptaan seorang wanita yang pernah bekerja di Trans 7 itu.
Novel ini seolah-olah memberi pesan tersendiri kepada pembaca bahwa seorang yang berada di posisi minoritas biasanya akan lebih kuat dibanding dengan seorang yang berada di posisi mayoritas. Mereka akan berjuang untuk mempertahankan prinsipnya tanpa dipengaruhi sedikit pun prinsip orang lain. Namun, inilah bagian yang menginspirasi banyak pembaca. Bahwa ketika seseorang berada pada posisi yang mayoritas seharusnya mereka tidak ada alasan untuk memperjuangkan prinsipnya dan melakukan yang terbaik selagi tidak ada halangan. Jika orang muslim di Eropa saja bisa mewujudkan Islam yang utuh, mengapa di negara yang mayoritas penduduknya Islam tidak bisa melaksanakan kewajiban dan perintah Tuhannya? Kembali kepada pembacanya masing-masing.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar