A. Unsur-Unsur
Budaya
1. Sistem
Pengetahuan
Dalam
buku “Beberapa Pokok Antropologi Sosial”, Koentjaraningrat (1992: 8-9)
menjelaskan bahwa sistem pengetahuan terdiri dari pengetahuan tentang sekitar
alam, alam flora, alam fauna, zat-zat dan bahan mentah, tubuh manusia, kelakuan
sesama manusia, ruang, waktu, dan bilangan. Sistem yang ada di dalam cerpen
“Pulang” karya Putu Wijaya itu adalah pengetahuan tentang kelakuan sesama
manusia. Tokoh “Aku” menggambarkan seorang kakek yang pergi dari rumah supaya
anak-anak dan kerabatnya peduli dengannya. Tetapi “Aku” mengurungkan niatnya
karena takut kalau tindakannya itu salah dan justru malah memalukan bagi
dirinya dan orang lain. Hal tersebut adalah contoh sebuah kekurangan
pengetahuan dari kakek tersebut.
Antropologi
berkaitan dengan sejarah dan budaya pada masa lampau. Pada zaman dahulu seorang
anak masih bisa dipaksa kehendaknya oleh orang tuanya. Tetapi pada zaman
sekarang anak-anak memiliki kemampuan yang lebih kritis dalam usia yang lebih
awal. Mereka berkembang dalam zaman yang memberi mereka banyak keleluasaan dan
stimulasi yang jauh lebih banyak, sehingga anak-anak lebih cepat tumbuh
berkembang. Terkadang orang tua sulit untuk memahami perubahan zaman tersebut.
Selain itu keterbatasan pengetahuan yang ada pada diri orang tua sehingga
mengaggap anak-anaknya tidak mau kalah, suka berdebat, pandai beragumentasi dan
lain-lain. Pemikiran yang negative tersebut muncul ketika seseorang kurang
memahami kelakuan sesama manusia.
Dalam
cerpen tersebut dikatakan bahwa “orang rumah” (bisa anak, saudara, atau cucu)
tidak lagi menghormati dan memperdulikan tokoh “Aku”. Dapat diasumsikan bahwa
kekecewaan seorang kakek diakibatkan oleh banyaknya orang yang menentang
perkataan kakek. Disini Putu Wijaya menggambarkan pergeseran tradisi pada
anak-anak atau anak muda zaman sekarang (zaman pada saat cerpen itu ditulis).
Dahulu
pada umumnya anak muda takut untuk mengungkapkan pendapat, terutama terhadap
orang tua. Mungkin karena bangsa kita lama dijajah, maka budaya yang berkembang
adalah budaya otoriter. Orang tua memiliki otoritas yang luar biasa terhadap
anaknya dalam banyak hal sehingga anak memilih untuk diam. Namun pada zaman
“sekarang” anak muda dengan mudah dapat beragumentasi demi perubahan.
Kreatifitas orang muda diharapkan untuk mengubah bangsa Indonesia menuju
perubahan yang lebih baik. Tetapi pada kenyataannya kaum orang tua banyak yang
berpikiran negatif terhadap anak muda. Perbedaan argumen tersebut dianggap
seperti pemberontakan yang dilarang oleh hukum atau agama.
Pergeseran
tradisi ini harus disikapi dengan pemahaman yang mendalam dari sisi orang tua
terhadap anak muda. Maka dari itu, Putu Wijaya melukiskan proses pemahaman
seorang kakek terhadap orang yang disangka tidak memperdulikannya dengan cara
berpikir disepanjang perjalanan pulang ke rumahnya. Hal itu menjelaskan bahwa
melarikan diri dari rumah sebagai suatu bentuk kemarahan sebenarnya adalah
sebuah kesalahan. Pemahaman dan pengertian terhadap sebuah tradisi yang berubah
lebih bisa memberikan solusi yang baik.
2. Sistem
Organisasi Sosial
Koentjaraningrat (1992:8), menjelaskan
bahwa sistem organisasi sosial atau sistem kemasyarakatan terbagi menjadi empat
yaitu sistem kekerabatan, sistem keseluruhan hidup setempat, asosiasi dan
perkumpulan-perkumpulan, dan sistem kenegaraan. Di dalam sistem kekerabatan
salah satunya terdapat unsur sopan santun. Cerpen “Pulang” karya Putu Wijaya
ini mempunyai unsur sopan satun yang tidak lagi ada di dalam kehidupan sehari
hari terutama di Indonesia. Cerpen tersebut menceritakan tentang seorang kakek
yang merasa tidak diperhatikan lagi oleh anak-anaknya.
Kaitannya dengan kebudayaan di Indonesia
memang sopan santun terhadap orang tua semakin memprihatinkan. Indonesia dahulu
dikenal sebagai negara yang ramah dan dikenal adat istiadat yang menyatakan
bahwa yang tua harus menyayangi yang muda dan yang muda harus menghormati yang
tua. Semakin berkembangnya zaman, kepribadian bangsa Indonesia perlahan
menghilang. Budaya globalisasi yang digadang-gadang membawa perubahan dan
kemajuan rupanya menyeret kesadaran masyarakatnya untuk melupakan budaya asli
Indonesia. Contoh hal yang kecil adalah istilah tegur sapa yang kian asing di
masyarakat.
Dalam cerpen tersebut menggambarkan
sopan santun yang sudah kian memudar seiring berjalannya waktu. Sosok orang tua
yang seharusnya dihormati dan disayangi malah diterlantarkan begitu saja. Padahal
orang tua yang telah membesarkan anaknya hingga menjadi dewasa. Namun terkadang
perlakuan anak malah cenderung berlawanan dengan sikap orang tua.
Salah satu contoh ketidakpedulian anak
terhadap orang tua yang membuat miris adalah kasus pembunuhan seorang anak
terhadap orang tuanya. Berita yang ditulis oleh Erick P. Hardi di media
internet Tempo.com itu menyatakan bahwa pembunuhan anak terhadap orang tua
dilakukan atas dasar menginginkan harta warisan. Kejadian seperti itu adalah
kejadian yang ironis yang secara tidak langsung menegaskan bahwa orang tua
dipandang tidak ada artinya lagi di zaman sekarang.
Di sisi lain, orang tua pun tidak bisa
sembarangan memarahi anak. Jika anak mengalami kekerasan, maka anak dapat
melaporkannya ke lembaga perlindungan anak. Ternyata adat sopan santun tidak
hanya memudar di kalangan anak muda tetapi juga memudar di kalangan orang tua.
Sudah banyak kasus tentang kekerasan orang tua terhadap seorang anak. Misalnya
saja Farid Assifa yang menulis dalam beritanya tentang kasus pembunuhan Aisyah
Vani oleh ibu kandungnya sendiri (dalam Kompas.com). Jika sudah seprti itu maka
rasa aman dan nyaman sudah sulit ditemukan. Anak tidak bisa berlindung lagi
kepada orang tuanya sedangkan orang tua sudah tidak bisa mengharapkan kasih sayang
dari anak-anaknya.
Budaya seperti ini yang ingin disampaikan oleh Putu
Wijaya dalam cerpen “Pulang”. Bahwa tidak salah orang tua merasa sudah tidak
diperdulikan lagi oleh anaknya. Karena memang masyarakat zaman sekarang sudah
cenderung berubah. Salah satu sisi negatifnya adalah kurangnya kepedulian anak
terhadap orang tua. Namun sebagai orang tua seharusnya bisa mengerti
perkembangan zaman dan kondisi anak-anaknya. Karena belum tentu seorang anak
yang sibuk dengan pekerjaannya adalah suatu bentuk ketidak pedulian anak
terhadap orang tuanya. Bisa jadi anak tersebut memang harus melakukan tugasnya
untuk masa depannya dan terutama anak-anaknya kelak. Perasaan rasa bersalah
itulah yang kemudian dimunculkan dalam cerpen tersebut.
B. Pesan
Moral
1. Pemikiran
mempengaruhi tindakan
Ketika seseorang berada di situasi yang
sedang kacau maka orang tersebut akan berpikiran negatif dan tanggapan yang
dimunculkan atas tindakannya pula akan berujung negatif. Seseorang yang
mempunyai masalah yang banyak seharusnya mampu berpikir positif sehingga apapun
yang dilakukannya dapat menyelesaikan masalah tanpa memperburuk masalah.
2. Memahami
situasi, kondisi, dan perasaan seseorang
Dalam memahami satu masalah tidak boleh
hanya berdasarkan satu sudut pandang saja tetapi harus dari berbagai sudut
pandang dan beberapa pertimbangan. Atau bisa dibilang dalam menganalisis sebuah
data tidak bisa berdasarkan dari faktanya saja tetapi harus mempertimbangkan
faktor-faktor penyebab terjadinya sebuah fakta. Dengan begitu keputusan yang
diambil dapat objektif dan tidak merusak perasaan orang lain.
3. Berpikir
sebelum bertindak
Tindakan tidak dapat dibatalkan atau
diulangi sedangkan yang dalam pikiran bisa saja tidak dilakukan dalam tindakan.
Jadi, seseorang seharusnya berpikir dulu sebelum bertindak sehingga tidak
menimbulkan rasa penyesalan. Tergesa-gesa dalam mengambil keputusan juga
berbahaya bagi suatu masalah yang dijalani. Kemungkinan yang terjadi masalah
yang dihadapi malah bertambah buruk.
4. Bebeda
pendapat dibolehkan dengan syarat tetap dalam batasan-batasan tertentu
Sopan santun seharusnya tetap ditegakan
sebagai jati diri bangsa Indonesia. Kalaupun ada perbedaan pendapat atau
argumen bisa disampaikan secara baik-baik dan dengan batasan-batasan yang
berlaku. Bebas berpendapat bukan berarti bebas melakukan segala cara agar
sebuah pendapat dihargai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar