Selasa, 10 Juni 2014

Analisis Cerpen Pulang dalam Kumpulan Cerpen Gress Karya Putu Wijaya


                                                                                                                                                              




A.  Unsur-Unsur Budaya
1.    Sistem Pengetahuan
Dalam buku “Beberapa Pokok Antropologi Sosial”, Koentjaraningrat (1992: 8-9) menjelaskan bahwa sistem pengetahuan terdiri dari pengetahuan tentang sekitar alam, alam flora, alam fauna, zat-zat dan bahan mentah, tubuh manusia, kelakuan sesama manusia, ruang, waktu, dan bilangan. Sistem yang ada di dalam cerpen “Pulang” karya Putu Wijaya itu adalah pengetahuan tentang kelakuan sesama manusia. Tokoh “Aku” menggambarkan seorang kakek yang pergi dari rumah supaya anak-anak dan kerabatnya peduli dengannya. Tetapi “Aku” mengurungkan niatnya karena takut kalau tindakannya itu salah dan justru malah memalukan bagi dirinya dan orang lain. Hal tersebut adalah contoh sebuah kekurangan pengetahuan dari kakek tersebut.
Antropologi berkaitan dengan sejarah dan budaya pada masa lampau. Pada zaman dahulu seorang anak masih bisa dipaksa kehendaknya oleh orang tuanya. Tetapi pada zaman sekarang anak-anak memiliki kemampuan yang lebih kritis dalam usia yang lebih awal. Mereka berkembang dalam zaman yang memberi mereka banyak keleluasaan dan stimulasi yang jauh lebih banyak, sehingga anak-anak lebih cepat tumbuh berkembang. Terkadang orang tua sulit untuk memahami perubahan zaman tersebut. Selain itu keterbatasan pengetahuan yang ada pada diri orang tua sehingga mengaggap anak-anaknya tidak mau kalah, suka berdebat, pandai beragumentasi dan lain-lain. Pemikiran yang negative tersebut muncul ketika seseorang kurang memahami kelakuan sesama manusia.
Dalam cerpen tersebut dikatakan bahwa “orang rumah” (bisa anak, saudara, atau cucu) tidak lagi menghormati dan memperdulikan tokoh “Aku”. Dapat diasumsikan bahwa kekecewaan seorang kakek diakibatkan oleh banyaknya orang yang menentang perkataan kakek. Disini Putu Wijaya menggambarkan pergeseran tradisi pada anak-anak atau anak muda zaman sekarang (zaman pada saat cerpen itu ditulis).
Dahulu pada umumnya anak muda takut untuk mengungkapkan pendapat, terutama terhadap orang tua. Mungkin karena bangsa kita lama dijajah, maka budaya yang berkembang adalah budaya otoriter. Orang tua memiliki otoritas yang luar biasa terhadap anaknya dalam banyak hal sehingga anak memilih untuk diam. Namun pada zaman “sekarang” anak muda dengan mudah dapat beragumentasi demi perubahan. Kreatifitas orang muda diharapkan untuk mengubah bangsa Indonesia menuju perubahan yang lebih baik. Tetapi pada kenyataannya kaum orang tua banyak yang berpikiran negatif terhadap anak muda. Perbedaan argumen tersebut dianggap seperti pemberontakan yang dilarang oleh hukum atau agama.
Pergeseran tradisi ini harus disikapi dengan pemahaman yang mendalam dari sisi orang tua terhadap anak muda. Maka dari itu, Putu Wijaya melukiskan proses pemahaman seorang kakek terhadap orang yang disangka tidak memperdulikannya dengan cara berpikir disepanjang perjalanan pulang ke rumahnya. Hal itu menjelaskan bahwa melarikan diri dari rumah sebagai suatu bentuk kemarahan sebenarnya adalah sebuah kesalahan. Pemahaman dan pengertian terhadap sebuah tradisi yang berubah lebih bisa memberikan solusi yang baik.

2.    Sistem Organisasi Sosial
Koentjaraningrat (1992:8), menjelaskan bahwa sistem organisasi sosial atau sistem kemasyarakatan terbagi menjadi empat yaitu sistem kekerabatan, sistem keseluruhan hidup setempat, asosiasi dan perkumpulan-perkumpulan, dan sistem kenegaraan. Di dalam sistem kekerabatan salah satunya terdapat unsur sopan santun. Cerpen “Pulang” karya Putu Wijaya ini mempunyai unsur sopan satun yang tidak lagi ada di dalam kehidupan sehari hari terutama di Indonesia. Cerpen tersebut menceritakan tentang seorang kakek yang merasa tidak diperhatikan lagi oleh anak-anaknya.
Kaitannya dengan kebudayaan di Indonesia memang sopan santun terhadap orang tua semakin memprihatinkan. Indonesia dahulu dikenal sebagai negara yang ramah dan dikenal adat istiadat yang menyatakan bahwa yang tua harus menyayangi yang muda dan yang muda harus menghormati yang tua. Semakin berkembangnya zaman, kepribadian bangsa Indonesia perlahan menghilang. Budaya globalisasi yang digadang-gadang membawa perubahan dan kemajuan rupanya menyeret kesadaran masyarakatnya untuk melupakan budaya asli Indonesia. Contoh hal yang kecil adalah istilah tegur sapa yang kian asing di masyarakat.
Dalam cerpen tersebut menggambarkan sopan santun yang sudah kian memudar seiring berjalannya waktu. Sosok orang tua yang seharusnya dihormati dan disayangi malah diterlantarkan begitu saja. Padahal orang tua yang telah membesarkan anaknya hingga menjadi dewasa. Namun terkadang perlakuan anak malah cenderung berlawanan dengan sikap orang tua.
Salah satu contoh ketidakpedulian anak terhadap orang tua yang membuat miris adalah kasus pembunuhan seorang anak terhadap orang tuanya. Berita yang ditulis oleh Erick P. Hardi di media internet Tempo.com itu menyatakan bahwa pembunuhan anak terhadap orang tua dilakukan atas dasar menginginkan harta warisan. Kejadian seperti itu adalah kejadian yang ironis yang secara tidak langsung menegaskan bahwa orang tua dipandang tidak ada artinya lagi di zaman sekarang.
Di sisi lain, orang tua pun tidak bisa sembarangan memarahi anak. Jika anak mengalami kekerasan, maka anak dapat melaporkannya ke lembaga perlindungan anak. Ternyata adat sopan santun tidak hanya memudar di kalangan anak muda tetapi juga memudar di kalangan orang tua. Sudah banyak kasus tentang kekerasan orang tua terhadap seorang anak. Misalnya saja Farid Assifa yang menulis dalam beritanya tentang kasus pembunuhan Aisyah Vani oleh ibu kandungnya sendiri (dalam Kompas.com). Jika sudah seprti itu maka rasa aman dan nyaman sudah sulit ditemukan. Anak tidak bisa berlindung lagi kepada orang tuanya sedangkan orang tua sudah tidak bisa mengharapkan kasih sayang dari anak-anaknya.
Budaya seperti ini yang ingin disampaikan oleh Putu Wijaya dalam cerpen “Pulang”. Bahwa tidak salah orang tua merasa sudah tidak diperdulikan lagi oleh anaknya. Karena memang masyarakat zaman sekarang sudah cenderung berubah. Salah satu sisi negatifnya adalah kurangnya kepedulian anak terhadap orang tua. Namun sebagai orang tua seharusnya bisa mengerti perkembangan zaman dan kondisi anak-anaknya. Karena belum tentu seorang anak yang sibuk dengan pekerjaannya adalah suatu bentuk ketidak pedulian anak terhadap orang tuanya. Bisa jadi anak tersebut memang harus melakukan tugasnya untuk masa depannya dan terutama anak-anaknya kelak. Perasaan rasa bersalah itulah yang kemudian dimunculkan dalam cerpen tersebut.

B.  Pesan Moral
1.    Pemikiran mempengaruhi tindakan
Ketika seseorang berada di situasi yang sedang kacau maka orang tersebut akan berpikiran negatif dan tanggapan yang dimunculkan atas tindakannya pula akan berujung negatif. Seseorang yang mempunyai masalah yang banyak seharusnya mampu berpikir positif sehingga apapun yang dilakukannya dapat menyelesaikan masalah tanpa memperburuk masalah.
2.    Memahami situasi, kondisi, dan perasaan seseorang
Dalam memahami satu masalah tidak boleh hanya berdasarkan satu sudut pandang saja tetapi harus dari berbagai sudut pandang dan beberapa pertimbangan. Atau bisa dibilang dalam menganalisis sebuah data tidak bisa berdasarkan dari faktanya saja tetapi harus mempertimbangkan faktor-faktor penyebab terjadinya sebuah fakta. Dengan begitu keputusan yang diambil dapat objektif dan tidak merusak perasaan orang lain.
3.    Berpikir sebelum bertindak
Tindakan tidak dapat dibatalkan atau diulangi sedangkan yang dalam pikiran bisa saja tidak dilakukan dalam tindakan. Jadi, seseorang seharusnya berpikir dulu sebelum bertindak sehingga tidak menimbulkan rasa penyesalan. Tergesa-gesa dalam mengambil keputusan juga berbahaya bagi suatu masalah yang dijalani. Kemungkinan yang terjadi masalah yang dihadapi malah bertambah buruk.
4.    Bebeda pendapat dibolehkan dengan syarat tetap dalam batasan-batasan tertentu
Sopan santun seharusnya tetap ditegakan sebagai jati diri bangsa Indonesia. Kalaupun ada perbedaan pendapat atau argumen bisa disampaikan secara baik-baik dan dengan batasan-batasan yang berlaku. Bebas berpendapat bukan berarti bebas melakukan segala cara agar sebuah pendapat dihargai.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar