Sabtu, 05 April 2014

Sayembara Enam Puluh Lima


Oleh: Michelia Alba

Wahai kau yang berani!
Barang siapa yang tampak di wajahku ini
Ketika tiada lagi perahu kan terbenam
Sampai malam menjahit kening dan kerongkonganku
Tampak segan jemalaku kian rapat
Seperti mayat….
Kirik beradu beladu di waktu silam
Tepat di enam puluh lima jatuh tengkurap
Oh gelap…
Sungguh gelap di lorong buaya ini
Dia yang tercipta di atas matahari cucu-cucuku
Meniupkan lilin yang tak lagi menggema di sebuah rakyat kota batu
Tak jua kini melambai sepi di penderitaan kian merambat
Wahai kau yang suci!
Bangunkan aku di saat pita simpul tak terikat lengan baju merahku
Disaat kain putih menyingkap ketiak “bau tanah” airku
Seperti yang kini kau tanamkan bumi kecil di kota raya
Pepepohonan mengikat ranum daun nasakom
Tiada lagi isak hingga pelatuk menyapa rerumputan
Peluru tak berdaya merasuk hampa tanah kosong
Jiwa terang hingga tak jua ditelan hama
Aku yang bernyawa tak lagi
Hanya berpatung di pekarangan Pondok Gede
Rambut menghelaikan cabuknya di atas janji haram
Aku tergeletak menyamai racun racun yang :
sama rata sama ratu sama rasa sama raga sama ratap sama rapuh
Bosan!

Barang siapa?
Yang tampak di wajahku ini
Aku ingin meratap meraung merajai alam semesta raya hingga matahari -
tak lagi menyala, hingga Sabang dan Merauke merangkak di pagi hari
Aku ingin tiba waktuku menggenggam pembuluh nyawa salira
Tiada lagi ku lepas sampai lemas hingga laras merampas parasmu.
Akan lagi kujatuhkan tiang bendera mereka yang biadap
Sampai jatuh urat nadi tatkala hujan meranggas di bibir dedaunan
Akan tiba saatnya kupecahkan nadi dan pergelangan otak kananmu
Dan kuinjak-injak kepingan telinga dan mata yang tabu itu.
Barang siapa?
Melayang kan tak terhingga jatuh di pematang
Merobek kain monumen pancasila
Hingga petang hudangkan mata irama pendosaan
Lalu kami berkata:
“Pembunuh!”
“Mati! “
“September!”
“Enam Puluh Lima!”
Tersudut di jangkar samudra hindia
Ketika bibir tergeletak di sepanjang jelamprang merah darah, menggaung!
Kaulah yang membunuh ratu ratu kerajaan Nusantara Raya!
Tak terkecuali kau yang aku tau!
Tak juga kau yang tanya siapa aku!
Matilah dosa dan doa yang terinjak rapi di semak semak bulan purnama
Barang siapa?
Yang tak merasa kami berlumur sampah
Atas belati api serta dimainkan di hadapan dan di harapanku
Sirna esok hari seakan mati menantang laju ombak di tepi siantar
Bayangkan mati! Bayangkan mati!
Kau mengabaikan aku di pemakaman kemarin sore!

Barang siapa?
Wahai salira yang ada di sana!
Seperti inikah engkau dimalam hari, sampai kau habiskan darah darah pejuangmu
Tidak sekali serta merta menengok siapa dan apa aku ini.
Tak jua kau pikir aku tiba di pelupuk matamu
Kau membabi buta maka aku membasi busuk
Bilamana esok petang jangan lagi datang
Ketika itu jasadmu telah kuraih
Sekarang sudahlah
Sudah habis zaman purbakala sudah habis zaman reformasi
Kini bendera agak condong ke arah barat
Ingatkah wahai beliau beliau saat:
Bendera itu ditegakan?
Sampah serapah itu dipendengarkan?
Kini hitam sudah kelabu
Tidurlah bung!
Hidupkan kembali jiwa-jiwa mu yang tergeletak di tempurung
Hidupkan kembali wajah-wajahmu yang kian keresot
Hidupkan kembali putra-putramu yang terbengkalai menjadi bangkai
Tegaklah kamu di tiang lapang
Dan barang siapa?
Hendak andai aku yang mati bisa bersuara
Maka lantunan sejarah mungkin tiada lagi menanya


Tidak ada komentar:

Posting Komentar