Oleh: Michelia Alba
Wahai kau yang berani!
Barang siapa yang tampak di wajahku
ini
Ketika tiada lagi perahu kan
terbenam
Sampai malam menjahit kening dan
kerongkonganku
Tampak segan jemalaku kian rapat
Seperti mayat….
Kirik beradu beladu di waktu silam
Tepat di enam
puluh lima jatuh tengkurap
Oh gelap…
Sungguh gelap di
lorong buaya ini
Dia yang tercipta
di atas matahari cucu-cucuku
Meniupkan lilin
yang tak lagi menggema di sebuah rakyat kota batu
Tak jua kini melambai
sepi di penderitaan kian merambat
Wahai kau yang suci!
Bangunkan aku di saat pita simpul
tak terikat lengan baju merahku
Disaat kain putih menyingkap ketiak “bau
tanah” airku
Seperti yang kini kau tanamkan bumi
kecil di kota raya
Pepepohonan
mengikat ranum daun nasakom
Tiada lagi isak
hingga pelatuk menyapa rerumputan
Peluru tak
berdaya merasuk hampa tanah kosong
Jiwa terang
hingga tak jua ditelan hama
Aku yang bernyawa tak lagi
Hanya berpatung di pekarangan Pondok
Gede
Rambut menghelaikan cabuknya di atas
janji haram
Aku tergeletak menyamai racun racun
yang :
sama rata sama ratu sama rasa sama
raga sama ratap sama rapuh
Bosan!
Barang siapa?
Yang tampak di
wajahku ini
Aku ingin meratap
meraung merajai alam semesta raya hingga matahari -
tak lagi menyala,
hingga Sabang dan Merauke merangkak di pagi hari
Aku ingin tiba
waktuku menggenggam pembuluh nyawa salira
Tiada lagi ku
lepas sampai lemas hingga laras merampas parasmu.
Akan lagi kujatuhkan tiang bendera
mereka yang biadap
Sampai jatuh urat nadi tatkala hujan
meranggas di bibir dedaunan
Akan tiba saatnya kupecahkan nadi
dan pergelangan otak kananmu
Dan kuinjak-injak kepingan telinga
dan mata yang tabu itu.
Barang siapa?
Melayang kan tak
terhingga jatuh di pematang
Merobek kain
monumen pancasila
Hingga petang hudangkan mata irama
pendosaan
Lalu kami berkata:
“Pembunuh!”
“Mati! “
“September!”
“Enam Puluh Lima!”
Tersudut di
jangkar samudra hindia
Ketika bibir
tergeletak di sepanjang jelamprang merah darah, menggaung!
Kaulah yang
membunuh ratu ratu kerajaan Nusantara Raya!
Tak terkecuali
kau yang aku tau!
Tak juga kau yang
tanya siapa aku!
Matilah dosa dan
doa yang terinjak rapi di semak semak bulan purnama
Barang siapa?
Yang tak merasa kami berlumur sampah
Atas belati api serta dimainkan di
hadapan dan di harapanku
Sirna esok hari seakan mati
menantang laju ombak di tepi siantar
Bayangkan mati! Bayangkan mati!
Kau mengabaikan aku di pemakaman
kemarin sore!
Barang siapa?
Wahai salira yang
ada di sana!
Seperti inikah
engkau dimalam hari, sampai kau habiskan darah darah pejuangmu
Tidak sekali
serta merta menengok siapa dan apa aku ini.
Tak jua kau pikir
aku tiba di pelupuk matamu
Kau membabi buta
maka aku membasi busuk
Bilamana esok
petang jangan lagi datang
Ketika itu
jasadmu telah kuraih
Sekarang sudahlah
Sudah habis zaman purbakala sudah
habis zaman reformasi
Kini bendera agak condong ke arah
barat
Ingatkah wahai beliau beliau saat:
Bendera itu ditegakan?
Sampah serapah itu dipendengarkan?
Kini hitam sudah
kelabu
Tidurlah bung!
Hidupkan kembali
jiwa-jiwa mu yang tergeletak di tempurung
Hidupkan kembali
wajah-wajahmu yang kian keresot
Hidupkan kembali
putra-putramu yang terbengkalai menjadi bangkai
Tegaklah kamu di
tiang lapang
Dan barang siapa?
Hendak andai aku yang mati bisa
bersuara
Maka lantunan sejarah mungkin tiada
lagi menanya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar