Selasa, 05 Agustus 2014

Resensi Novel Negeri di Ujung Tanduk Karya Tere Liye




Novel: Negeri di Ujung Tanduk
Pengarang: Tere Liye
Penerbit: PT Gramedia Pustaka
Cetakan: pertama 2013
Halaman: 360, Tebal: 20 Cm
ISBN: 978-979-22-9429-3

Sinopsis Novel:
Di Negeri di Ujung Tanduk kehidupan semakin rusak, bukan karena orang jahat semakin banyak tapi semakin banyak orang yang memilih tidak peduli lagi.
Di Negeri di Ujung Tanduk para penipu menjadi pemimpin, para pengkhianat menjadi pujaan, bukan karena tidak ada lagi yang memiliki teladan, tapi mereka memutuskan menutup mata dan memilih hidup bahagia sendirian.
Di Negeri di Ujung Tanduk setidaknya, kawan, seorang petarung sejati akan memilih jalan suci, meski habis seluruh darah di badan, menguap segenap air mata, dia akan berdiri paling akhir, demi membela kehormatan.

Sinopsis Secara Keseluruhan:
Petualangan Thomas belum selesai, dia harus membantu klien politiknya yang bernama JD agar dapat memenangkan pemilihan presiden. Awal cerita dikisahkan bahwa Thomas sedang ingin bertarung melawan Lee, seorang petarung dari China. Kemudian setelah Thomas menang, dia mendapat kabar bahwa klien politiknya dituduh sebagai seorang tersangka korupsi. Padahal tinggal beberapa langkah lagi klien politiknya itu menjadi presiden. Thomas pun menyadari bawha terdapat rekayasa dan kebohongan dalam peristiwa tersebut. Thomas harus meluruskan hal itu.
Strategi dan rencana Thomas ternyata tidak selalu berjalan sesuai dengan rencana. Dia diceritakan bertemu dengan wartawan bernama Maryam yang terpaksa masuk ke dalam bagian dari ceritanya. Thomas pun disangka menyelundupkan narkoba oleh pemerintah setempat karena dalam perahu yang dia naiki terdapat bungkusan narkoba. Itu adalah jebakan. Thomas pun harus lari dari ancaman yang mengejar dirinya dan juga harus menyelamatkan klien politiknya.
Situasi bertambah rumit ketika Thomas tertangkap dan harus dijebloskan ke dalam penjara. Tidak hanya Thomas, Maryam pun ikut masuk dalam penjara bersama Opa dan Kadek. Namun Tuhan masih memberikan mereka kebebasan untuk meloloskan diri. Dibantu oleh Rudy kawan Thomas sesama petarung, mereka berhasil lolos dari dalam penjara.
Dalam situasi yang sangat rumit dan keadaan waktu yang semakin sempit, Thomas diharuskan memutarbalikan fakta dan membalas apa yang dilakukan kepada orang-orang yang ada di balik penangkapan JD. Pelarian dan tindakannya tidak terlepas dari bantuan skretarisnya, Magie dan Kris seorang programer yang ditugaskan untuk melihat benang merah di dalam pristiwa politik yang terjadi.
Kris diperintahkan untuk melacak lima pejabat yang diperkirakan menjadi dalang dari semua kekacauan tersebut. Lima pejabat itu memang ada hubungannya dengan kasus korupsi Gedung Olahraga Nasional. Alasan mereka merekayasa agar JD ditangkap dan memburu Thomas karena mereka takut kasus korupsi tersebut akan diusut kembali. Ternyata Kris mendapat pola yang menggambarkan lima pejabat tersebut. Namun hal itu blum selesai. Ada satu lagi orang yang mengatur semua kekacauan tersebut. Thomas memikirkan nama Shinpei, pengusaha besar, sekaligus teman Om Liem , ayahnya dan Opa. Namun nama Shinpei dalam internet sudah dihilangkan jejaknya sehingga Kris tidak dapat melacak polanya.
Shinpei pun akhirnya menculik Om Liem agar Thomas bersedia datang ke China. Shinpei membeberkan rahasianya di depan Thomas saat dia datang ke China. Semua kejahatannya terungkap. Shinpei juga ingin menghilangkan barang bukti yang berada di tangan Om Liem, namun Om Liem tidak mau mengatakannya. Saat Shinpei menyuruh salah satu anak buahnya untuk menembak paha Thomas agar Om Liem buka mulut, ternyata anak buahnya malah menebak dada Shinpei. Anak buah itu ternyata Rudy. Dia mengetahui semuanya dari rekaman yang dipasang di jam tangan Thomas yang sempat ia berikan pada Thomas.

Resensi Novel:
Cerita ini lebih menarik dari sebelumnya karena terdapat banyak orang yang berperan dalam peristiwa atau konflik tokoh utama. Cerita ini juga ada kaitannya dengan peristiwa Gedung Olahraga Hambalang dimana ada beberapa pejabat yang terlibat di dalamnya. Namun, dibungkus dengan kata-kata dan aksi yang lebih menarik. Sama halnya kasus Bank Century yang diubah namanya menjadi Bank Semesta dalam novel “Negeri Para Bedabah”.
Sama halnya dengan novel pertamanya, Tere Liye menggunakan alur dan setting waktu yang sangat cepat. Sekitar 4-6 hari yang diperlukan untuk tokoh utama lari dari China – Jakarta – Denpasar – China. Hal itu membuat para pembaca larut dalam ketegangan dan penasaran dengan episode berikutnya. Bab yang dibuat pun hanya 6 sampai 10 halaman sehingga pembaca disediakan untuk bernafas dalam setiap babnya. Pembaca menjadi tidak bosan dan suntuk ketika membaca novel tersebut.
Beberapa pelajaran yang bisa diambil adalah bahwa suara mayoritas bukanlah suara Tuhan. Suara mayoritas tidak menentukan sebuah kebenaran. Sejak kapan pemilihan presiden pertama Indonesia harus mengadakan pemilihan umun dan pemungutan suara dari seluruh rakyat Indonesia? Hal itu terlalu menghabiskan waktu dan suara rakyat tentu saja tidak akan sama. Rakyat tidak semuanya mengetahui keadaan yang sebenarnya. Maka dari itu banyak rakyat Indonesia yang mau mencoblos hanya karena diberi uang karena mereka tidak mengetahui siapa yang harus dia pilih. Seharusnya yang memilih adalah seorang yang berkopenten dalam bidang tersebut. Demokrasi tidak selamanya benar.
Selai itu, novel ini membuat pembaca menjadi membuka mata bahwa pada kenyataannya Indonesia sudah seperti itu. Kacau dan banyak kecurangan di dalamnya khususnya dalam arena politik. Ada kata-kata menarik dalam novel tersebut yang esensinya seperti ini: “Bagaimana cara membasmi korupsi? Ya, dengan cara melegalkan korupsi.” Itu pemikiran cerdik, cerdas dan licik. Dengan melegalkan korupsi maka tidak ada lagi yang berbuat salah. Dengan demikian bagaimana cara untuk melawan para bedebah? Melawannya dengan cara yang sama. Layaknya seorang bedebah. Itu lebih masuk akal.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar