Pembacaan Alquran mempunyai
bermacam-macam irama. Kesenian membaca Alquran dengan baik dan melalaui
kaidah-kaidah yang telah ditentukan disebut sebagai qiro’ah. Kegiatan melantukan seni suara Alquran itulah yang sedang
dipraktekan para peserta pasantren kilat Pondok Pasantren (Ponpes) Al-Muayyad,
Jumat (4/7). Dalam kegiatan tersebut terlihat para santri melantunkan irama
Alquran mengikuti arahan dari gurunya.
Menurut H.M. Ahmad Mundzir Sulaiman terdapat
tiga metode dalam melantunkan lagu Alquran, diantara lain adalah tahkik, murottal, dan taghonni.
Metode yang sering dilantunkan adalah taghonni.
Di Indonesia, Tahgonni dibagi menjadi
tujuh lagu yaitu bayati, shoba, hijaz, nahawand, rost, banjaka, dan
sikah. Jika dalam acara biasa,
ketujuh lagu tersebut tidak harus dilantunkan, tetapi jika dalam perlombaan MTQ
biasanya diharuskan melantunkan ketujuh lagu tersebut. Biasanya bayati harus dilantunkan diawal dan
diakhir pembacaan Alquran.
Kriteria penilaian dalam qiro’ah ada tiga, yaitu tajwid (keutuhan
tajwid), fashohah (keutuhan lagu dan penempatan ayat), dan suara (keunikan
irama, variasi, dan tempo lagu). Kesalahan yang biasa terjadi dilakukan oleh
para pembaca Alquran adalah kesalahan khafi
(ringan) seperti menghilangkan mad
thabi’i, mad jaiz, gunnah, bilagunnah, dan tajwid lainnya. Kesalahan
lainnya dalah kesalahan Jali (besar),
misalnya muroatul harakat (salah mengucapkan harakat), muroatul huruf (salah
melafalkan huruf), muroatul kalimah (meninggalkan salah satu kalimat), dan
muroatul ayat (meninggalkan salah satu ayat).
“Qiro’ah ini bertujuan untuk
mengembangkan seni suara membaca Alquran yang sudah merupakan budaya
turun-temurun,” ujar guru qiro’ah yang berasal dari Purwokerto tersebut.
Kemudian dia juga menjelaskan bahwa para santri baru dapat menguasai qiro’ah
ini minimal setelah melewati pendidikan selama dua tahun. Ahmad Mundzir
berharap agar para santrinya sedikitnya dapat menyamai prestasinya yang telah menjuarai
tingkat nasional atau bahkan bisa melebihi dirinya.
Para santri biasanya dikelompokan
menjadi dua bagian. Bagian pertama bagi murid yang kurang menguasai qiro’ah,
dan bagian kedua adalah murid yang sudah memahami qiro’ah. Ahmad Mundzir justru
lebih intensif memberi pelajaran kepada santri yang belum menguasai qiro’ah
agar bakat mereka dapat lebih terasah lagi.
Fadila salah satu peserta pasantren
mengaku menyukai pelajaran qiro’ah karena terinspirasi dari ayahnya. Dia sempat
menguasai qiro’ah sebelumnya, kemudian termotivasi kembali untuk mengasah
bakatnya tersebut. “Aku pengen
mendapatkan piala atau penghargaan suatu saat nanti dalam bidang qiro’ah ini,” ujarnya. (mg1/mg4)
Radar Solo, 5 Juli 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar