Sabtu, 05 Juli 2014

Berita: Semangat Peserta Sanlat Belajar Qiroah




Pembacaan Alquran mempunyai bermacam-macam irama. Kesenian membaca Alquran dengan baik dan melalaui kaidah-kaidah yang telah ditentukan disebut sebagai qiro’ah. Kegiatan melantukan seni suara Alquran itulah yang sedang dipraktekan para peserta pasantren kilat Pondok Pasantren (Ponpes) Al-Muayyad, Jumat (4/7). Dalam kegiatan tersebut terlihat para santri melantunkan irama Alquran mengikuti arahan dari gurunya.
Menurut H.M. Ahmad Mundzir Sulaiman terdapat tiga metode dalam melantunkan lagu Alquran, diantara lain adalah tahkik, murottal, dan taghonni. Metode yang sering dilantunkan adalah taghonni. Di Indonesia, Tahgonni dibagi menjadi tujuh lagu yaitu bayati, shoba, hijaz, nahawand, rost, banjaka, dan sikah. Jika dalam acara biasa, ketujuh lagu tersebut tidak harus dilantunkan, tetapi jika dalam perlombaan MTQ biasanya diharuskan melantunkan ketujuh lagu tersebut. Biasanya bayati harus dilantunkan diawal dan diakhir pembacaan Alquran.
Kriteria penilaian dalam qiro’ah ada tiga, yaitu tajwid (keutuhan tajwid), fashohah (keutuhan lagu dan penempatan ayat), dan suara (keunikan irama, variasi, dan tempo lagu). Kesalahan yang biasa terjadi dilakukan oleh para pembaca Alquran adalah kesalahan khafi (ringan) seperti menghilangkan mad thabi’i, mad jaiz, gunnah, bilagunnah, dan tajwid lainnya. Kesalahan lainnya dalah kesalahan Jali (besar), misalnya muroatul harakat (salah mengucapkan harakat), muroatul huruf (salah melafalkan huruf), muroatul kalimah (meninggalkan salah satu kalimat), dan muroatul ayat (meninggalkan salah satu ayat).
“Qiro’ah ini bertujuan untuk mengembangkan seni suara membaca Alquran yang sudah merupakan budaya turun-temurun,” ujar guru qiro’ah yang berasal dari Purwokerto tersebut. Kemudian dia juga menjelaskan bahwa para santri baru dapat menguasai qiro’ah ini minimal setelah melewati pendidikan selama dua tahun. Ahmad Mundzir berharap agar para santrinya sedikitnya dapat menyamai prestasinya yang telah menjuarai tingkat nasional atau bahkan bisa melebihi dirinya.
Para santri biasanya dikelompokan menjadi dua bagian. Bagian pertama bagi murid yang kurang menguasai qiro’ah, dan bagian kedua adalah murid yang sudah memahami qiro’ah. Ahmad Mundzir justru lebih intensif memberi pelajaran kepada santri yang belum menguasai qiro’ah agar bakat mereka dapat lebih terasah lagi.
Fadila salah satu peserta pasantren mengaku menyukai pelajaran qiro’ah karena terinspirasi dari ayahnya. Dia sempat menguasai qiro’ah sebelumnya, kemudian termotivasi kembali untuk mengasah bakatnya tersebut. “Aku pengen mendapatkan piala atau penghargaan suatu saat nanti dalam bidang qiro’ah ini,” ujarnya. (mg1/mg4)

Radar Solo, 5 Juli 2014   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar