Oleh: Michelia Alba
“Pokoknya ini yang
terakhir kalinya,” ucapku sambil memohon-mohon kepada atasanku.
“Tenan?” tanya atasanku.
Kepercayaan atasanku
sepertinya mulai hilang. Mungkin itu adalah kesalahanku juga. Berkali-kali
ucapan ‘yang terakhir’ aku ungkapkan. Namun perbuatan itu selalu saja diulangi.
Bukannya aku tidak bisa, tapi kebiasaanlah yang membuatku seperti itu. Seperti
misalnya hari Senin lalu ketika aku ingin berangkat ke kantor. Aku melihat
seorang nenek yang berjalan dengan sekarung sampah tepat berada di punggungnya.
Bibirnya memutih seperti sudah memakan satu kilogram terigu. Tidak jauh beda
dengan warna rambutnya. Kakinya yang serba lecet tidak digubris olehnya. Jalan
berbatu pun terus dia tempuh.
“Mau saya bantu nek?”
itulah yang pertama kali aku katakan padanya. Awalnya dia menolak, namun
setelah kupaksa akhirnya dia bersedia menaiki motorku yang sederhana. Kuantar
dia sampai rumah kardusnya yang entah akan tinggal di mana nenek itu jika hujan
datang. Ternyata karung sampah itu berisi sepenggal makanan bekas. Rencananya
ingin dia bagikan kepada keluarga yang lain.
Nenek itu memang selalu
datang ke tempat pembuangan sampah sekitar jam tiga pagi. Memungut sisa-sisa
makanan yang terkadang disertai dengan kotoran makhluk hidup. Baunya seakan
sudah tidak berbeda satu sama lain. Tercampur menjadi satu namun tetap menjadi
makanan empuk untuk si Nenek.
“Ya dari mana lagi saya
mencari uang? Saya tidak mempunyai apa-apa lagi. Mungkin ini salah satu cara
Tuhan memberi saya makan. Ketika orang lain menganggap bahwa sedekah bukan lagi
menaruh uang di kotak amal. Mereka semua sudah menganggap bahwa dengan membuang
sampah adalah sedekah bagi orang-orang seperti saya ini,” begitulah penjelasan
nenek itu dengan bahasa Jawanya. Penjelasan yang kudapat setelah aku pulang
kantor dan setelah aku dicaci-maki karena terlambat hanya untuk alasan yang
tidak penting.
Sejak kecil, aku memang
sudah terbiasa untuk membantu orang lain. Banyak yang mengatakan bahwa
kebiasaanku adalah kelemahanku. Dua kali aku dipecat karena aku lebih
mementingkan orang lain daripada urusanku sendiri. Alasan demi alasan tidak
pernah logis di mata atasan. Namun, hanya itulah kepuasan tersendiri yang
begitu nikmat. Tidak ada lagi yang kuharapkan selain senyuman dan canda tawa
yang terlontar dari bibir manis orang yang kubantu.
Keesokan harinya
atasanku memerintahkan aku untuk mengantarkan dokumen ke sebuah perusahaan. Di
tengah jalan, kebiasaan itu muncul lagi. Ada seorang anak yang tertabrak motor
karena terlalu asik bermain layangan. Pengendara motor itu langsung kabur hanya
meninggalkan sebuah spion di pinggir jalan seperti cicak yang melakukan
autotomi. Aku pun segera menepi karena memang tidak ada siapa-siapa lagi yang
akan membantunya. Maksudku, orang lain hanya melihat takjub, terpana,
terkaget-kaget, dan tanpa berbuat sesuatu untuk menolongnya. Bahkan beberapa
orang hanya merekam atau memfotonya lewat telepon genggam. Aku tidak habis
pikir.
Setelah aku kembali
lagi ke kantor, atasanku dengan senang hati memotong gajiku. Aku terlambat
untuk mengantarkan dokumen. Tapi menurutku itu lebih baik daripada aku
terlambat untuk mengantarkan anak kecil itu ke rumah sakit. Tentu saja alasan
seperti itu tidak akan didengar oleh atasanku. Aku hanya pasrah dengan
keputusan beliau. Kebiasaan ini seperti sudah menjadi sebuah penyakit yang
melekat di tubuhku. Aku akan melupakan segalannya hanya untuk memenuhi hasrat
kebiasaanku ini.
“Ditanya kok malah diam
saja! Apa kamu yakin tidak akan melakukan hal ini lagi?” tanya atasanku membuyarkan
lamunanku. Tentu saja itu adalah pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab.
“I-iya Pak!”
“Lha pie toh? Kalau sampeyan
tidak jawab ‘iya’, maka akan saya pecat. Tidak ada pilihan lain! Kalau tidak,
ya cari pekerjaan lain yang cocok untuk Anda. Pembantu rumah tangga mungkin?
Atau pembantu rumah tetangga? Ya terserah. Setidaknya itu dapat menyalurkan
kebiasaan Anda. Kebiasaan Anda itu merugikan saya. Tentu saja merugikan
perusahaan dan karyawan-karyawan yang lain. Ingat! Waktu adalah segalanya!”
Aku pun mengangguk
setuju dengan beban berat yang saat ini kurasakan. Aku terpaksa menjadi seekor
cicak yang lebih baik kabur dan meninggalkan ekornya daripada menjadi seekor
nyamuk yang berani melawan orang bertubuh besar. Aku tidak akan berbaik hati
lagi mengantarkan tetanggaku ke sekolah seperti yang kulakukan tadi pagi. Di
hari yang akan datang akan kusempatkan untuk belajar menolak permintaan tolong
dari berbagai orang.
Keesokan harinya, tidak
ada seorang pun yang kubantu selama perjalanan ke kantor. Setiap hari aku
melakukan hal yang sama semacam itu. Kucing yang tertabrak, seorang nenek yang
hendak menyebrang, orang terjatuh dari tangga, pengemis yang dimaki orang, dan
sebagainya tidak aku hiraukan. Aku memaksa diriku untuk menepati janji.
Meskipun keinginanku untuk membantu orang lain masih saja menggebu-gebu, aku
takut itu hanya hawa nafsu yang seharusnya kutahan setidaknya sampai pulang
bekerja. Dengan sekejap hidupku berubah menjadi seorang yang individualis
bahkan cenderung egois.
Pada saat itu musim
hujan datang tanpa mengetuk pintu. Datang tergesa-gesa sehingga membuat ribuan
orang tidak sempat membawa payung saat hendak bepergian. Hanya ada dua pilihan
yang harus mereka pilih. Berdiam diri menunggu hujan reda atau bergegas menuju
tempat yang dituju dengan pakaian yang basah kuyup. Bagiku, pilihan kedualah
yang kupilih.
Setibanya di kantor,
puluhan orang penting sedang berkumpul. Seorang rekan kerjaku langsung
terbirit-birit menanyakan kabar atasan kami.
“Pak Suminto?” aku
balik tanya.
“Iya. Dia sudah
ditunggu orang-orang penting itu,” ucap rekanku seraya menggerakan bola mata
hitamnya ke kanan. “Bagaimana mungkin dia bisa melupakan hari yang sangat
penting ini? Kau tahu di mana dia?”
“Mana kutahu,” aku
menjawab santai sambil berjalan ke arah ruanganku. Memang semenjak kejadian
minggu lalu, aku sedikit jengkel dengan atasanku. Biar saja dia merasakan
terlambat untuk masuk kantor. Aku bahkan tidak ingin menolong atau bahkan
mendengar kabarnya saja sudah tidak sudi.
Dua jam berselang. Para
karyawan yang sedari tadi sibuk mencari Pak Suminto, kini sudah mulai surut.
Semuanya seperti kembali pada kerjaannya masing-masing. Puluhan orang penting
sudah tidak sabar untuk menunggu lebih lama lagi. Mereka memutuskan untuk
pergi.
Seorang sekertaris
masuk ke ruanganku. “Pak Suminto marah besar. Dia ingin bertemu denganmu
sekarang,” katanya.
“Lho kok malah saya yang dipanggil?” tanyaku terheran-heran. Sebelum
pertanyaanku dijawab, Pak Suminto membuka pintu ruanganku dengan kasar.
“Anda saya pecat!
Bereskan barang-barang Anda sekarang juga tanpa banyak bicara!” teriakan Pak
Suminto langsung menyambar tepat di wajahku. Pakaiannya basah kuyup dan sedikit
menerawang sehingga pusar perutnya yang buncit dapat terlihat jelas. Rambutnya
yang lepek membelah dua seperti artis dangdut. Secara keseluruhan, aku seperti
mendadak kedatangan seorang pelawak yang terlihat bodoh di hadapanku. Jika
situasi sedang tidak formal, mungkin saat itu juga aku tertawa. Namun, aku
memilih untuk membalas teriakannya.
“Lho Bapak yang telat, kenapa saya yang dipecat?”
“Apa saya harus memecat
diri saya sendiri? Jelas tidak! Andalah yang menjadi biang kerok dalam
peristiwa ini!”
“Sebentar Pak, maksud
Bapak apa?”
“Anda tahu? Orang-orang
penting itu meninggalkan saya karena saya terlambat. Mereka semua membatalkan
kerja samanya dengan perusahaan ini. Dengan adanya peristiwa ini, saya
lagi-lagi rugi besar. Tahu?”
“Iya, saya tahu. Tapi
apa urusannya dengan saya? Bukankah itu…?”
“Itu karena Anda! Saya
terlambat karena harus mengantar ibu saya ke rumah sakit. Di tengah jalan
menuju ke kantor, mobil saya mogok dan ban belakang saya kempes. Kebetulan saat
itu hujan sangat lebat sekali. Tidak ada yang mau membantu saya setidaknya
untuk mengantarkan saya ke kantor. Saat itu saya melihat Anda sedang berteduh
di dekat halte bis. Berkali-kali saya panggil bahkan mata Anda sempat menghadap
wajah saya. Tapi apa yang Anda lakukan? Anda langsung lari terbirit-birit
seakan takut akan sesuatu. Jelas Andalah yang membuat saya menjadi terlambat.”
Itu benar. Tapi pada
saat itu aku tidak benar-benar melihat wajahnya. Di dalam perjalanan aku bahkan
seperti orang bisu, buta, dan tuli. Tidak ada orang yang aku hiraukan. Mereka
semua sama. Mereka hanya menjadi pengganggu agar aku tidak dapat datang ke kantor
tepat waktu. Di satu sisi, aku menghilangkan diriku sendiri untuk bekerja
professional. Di sisi lain, aku tidak bisa menolak bahwa kebiasaanku itu kerap
muncul di saat-saat tertentu. Apa aku sekejam itu? Aku hanya ingin datang tepat
waktu tanpa memedulikan orang lain termasuk atasanku sendiri.
“Bukankah itu yang
Bapak harapkan dari saya? Bapak ingin agar saya bekerja secara professional
tanpa memedulikan orang di sekitar saya, kan?
Dan itu sudah saya lakukan. Apakah saya salah?” tanyaku dengan nada yang agak
keras.
“Tapi bukan itu maksud
saya! Saya ini atasan Anda. Bukan orang asing yang tidak Anda kenal!”
“Saya rasa semuanya
sama. Sama seperti dulu sebelum Anda melarang saya untuk tidak lagi membantu
orang lain di luar sana. Semua orang saya anggap sama. Semuanya berhak dibantu,
baik oleh saya maupun oleh orang disekitarnya.”
“Tapi tidak semua orang
harus Anda bantu!”
“Oh iya. Tentu saja.
Akhirnya saya lebih memilih untuk tidak akan membantu siapapun termasuk Bapak.
Saya pikir saat itu Bapak sedang menguji saya,” ucapku yang langsung segera
mungkin membereskan barang-barang di ruangan.
Aku bergegas pergi
tanpa tujuanku selanjutnya. Pokoknya hari itu adalah yang terakhir aku berada
di tempat yang serba kaku. Aku lebih baik memenuhi keinginanku sendiri. Mungkin
benar, bekerja sambilan adalah bakatku. Membantu banyak orang tanpa ada atasan
mungkin akan menjadi pekerjaanku sehari-hari. Kebisaanku adalah kelebihanku.
Aku tidak ingin lagi menjadi seekor cicak.
Surakarta, 10
Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar