Jumat, 04 Juli 2014

Cicak


Oleh: Michelia Alba

“Pokoknya ini yang terakhir kalinya,” ucapku sambil memohon-mohon kepada atasanku.
Tenan?” tanya atasanku.
Kepercayaan atasanku sepertinya mulai hilang. Mungkin itu adalah kesalahanku juga. Berkali-kali ucapan ‘yang terakhir’ aku ungkapkan. Namun perbuatan itu selalu saja diulangi. Bukannya aku tidak bisa, tapi kebiasaanlah yang membuatku seperti itu. Seperti misalnya hari Senin lalu ketika aku ingin berangkat ke kantor. Aku melihat seorang nenek yang berjalan dengan sekarung sampah tepat berada di punggungnya. Bibirnya memutih seperti sudah memakan satu kilogram terigu. Tidak jauh beda dengan warna rambutnya. Kakinya yang serba lecet tidak digubris olehnya. Jalan berbatu pun terus dia tempuh.
“Mau saya bantu nek?” itulah yang pertama kali aku katakan padanya. Awalnya dia menolak, namun setelah kupaksa akhirnya dia bersedia menaiki motorku yang sederhana. Kuantar dia sampai rumah kardusnya yang entah akan tinggal di mana nenek itu jika hujan datang. Ternyata karung sampah itu berisi sepenggal makanan bekas. Rencananya ingin dia bagikan kepada keluarga yang lain.
Nenek itu memang selalu datang ke tempat pembuangan sampah sekitar jam tiga pagi. Memungut sisa-sisa makanan yang terkadang disertai dengan kotoran makhluk hidup. Baunya seakan sudah tidak berbeda satu sama lain. Tercampur menjadi satu namun tetap menjadi makanan empuk untuk si Nenek.
“Ya dari mana lagi saya mencari uang? Saya tidak mempunyai apa-apa lagi. Mungkin ini salah satu cara Tuhan memberi saya makan. Ketika orang lain menganggap bahwa sedekah bukan lagi menaruh uang di kotak amal. Mereka semua sudah menganggap bahwa dengan membuang sampah adalah sedekah bagi orang-orang seperti saya ini,” begitulah penjelasan nenek itu dengan bahasa Jawanya. Penjelasan yang kudapat setelah aku pulang kantor dan setelah aku dicaci-maki karena terlambat hanya untuk alasan yang tidak penting.
Sejak kecil, aku memang sudah terbiasa untuk membantu orang lain. Banyak yang mengatakan bahwa kebiasaanku adalah kelemahanku. Dua kali aku dipecat karena aku lebih mementingkan orang lain daripada urusanku sendiri. Alasan demi alasan tidak pernah logis di mata atasan. Namun, hanya itulah kepuasan tersendiri yang begitu nikmat. Tidak ada lagi yang kuharapkan selain senyuman dan canda tawa yang terlontar dari bibir manis orang yang kubantu.
Keesokan harinya atasanku memerintahkan aku untuk mengantarkan dokumen ke sebuah perusahaan. Di tengah jalan, kebiasaan itu muncul lagi. Ada seorang anak yang tertabrak motor karena terlalu asik bermain layangan. Pengendara motor itu langsung kabur hanya meninggalkan sebuah spion di pinggir jalan seperti cicak yang melakukan autotomi. Aku pun segera menepi karena memang tidak ada siapa-siapa lagi yang akan membantunya. Maksudku, orang lain hanya melihat takjub, terpana, terkaget-kaget, dan tanpa berbuat sesuatu untuk menolongnya. Bahkan beberapa orang hanya merekam atau memfotonya lewat telepon genggam. Aku tidak habis pikir.
Setelah aku kembali lagi ke kantor, atasanku dengan senang hati memotong gajiku. Aku terlambat untuk mengantarkan dokumen. Tapi menurutku itu lebih baik daripada aku terlambat untuk mengantarkan anak kecil itu ke rumah sakit. Tentu saja alasan seperti itu tidak akan didengar oleh atasanku. Aku hanya pasrah dengan keputusan beliau. Kebiasaan ini seperti sudah menjadi sebuah penyakit yang melekat di tubuhku. Aku akan melupakan segalannya hanya untuk memenuhi hasrat kebiasaanku ini.
“Ditanya kok malah diam saja! Apa kamu yakin tidak akan melakukan hal ini lagi?” tanya atasanku membuyarkan lamunanku. Tentu saja itu adalah pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab.
“I-iya Pak!”
Lha pie toh? Kalau sampeyan tidak jawab ‘iya’, maka akan saya pecat. Tidak ada pilihan lain! Kalau tidak, ya cari pekerjaan lain yang cocok untuk Anda. Pembantu rumah tangga mungkin? Atau pembantu rumah tetangga? Ya terserah. Setidaknya itu dapat menyalurkan kebiasaan Anda. Kebiasaan Anda itu merugikan saya. Tentu saja merugikan perusahaan dan karyawan-karyawan yang lain. Ingat! Waktu adalah segalanya!”
Aku pun mengangguk setuju dengan beban berat yang saat ini kurasakan. Aku terpaksa menjadi seekor cicak yang lebih baik kabur dan meninggalkan ekornya daripada menjadi seekor nyamuk yang berani melawan orang bertubuh besar. Aku tidak akan berbaik hati lagi mengantarkan tetanggaku ke sekolah seperti yang kulakukan tadi pagi. Di hari yang akan datang akan kusempatkan untuk belajar menolak permintaan tolong dari berbagai orang.
Keesokan harinya, tidak ada seorang pun yang kubantu selama perjalanan ke kantor. Setiap hari aku melakukan hal yang sama semacam itu. Kucing yang tertabrak, seorang nenek yang hendak menyebrang, orang terjatuh dari tangga, pengemis yang dimaki orang, dan sebagainya tidak aku hiraukan. Aku memaksa diriku untuk menepati janji. Meskipun keinginanku untuk membantu orang lain masih saja menggebu-gebu, aku takut itu hanya hawa nafsu yang seharusnya kutahan setidaknya sampai pulang bekerja. Dengan sekejap hidupku berubah menjadi seorang yang individualis bahkan cenderung egois.
Pada saat itu musim hujan datang tanpa mengetuk pintu. Datang tergesa-gesa sehingga membuat ribuan orang tidak sempat membawa payung saat hendak bepergian. Hanya ada dua pilihan yang harus mereka pilih. Berdiam diri menunggu hujan reda atau bergegas menuju tempat yang dituju dengan pakaian yang basah kuyup. Bagiku, pilihan kedualah yang kupilih.
Setibanya di kantor, puluhan orang penting sedang berkumpul. Seorang rekan kerjaku langsung terbirit-birit menanyakan kabar atasan kami.
“Pak Suminto?” aku balik tanya.
“Iya. Dia sudah ditunggu orang-orang penting itu,” ucap rekanku seraya menggerakan bola mata hitamnya ke kanan. “Bagaimana mungkin dia bisa melupakan hari yang sangat penting ini? Kau tahu di mana dia?”
“Mana kutahu,” aku menjawab santai sambil berjalan ke arah ruanganku. Memang semenjak kejadian minggu lalu, aku sedikit jengkel dengan atasanku. Biar saja dia merasakan terlambat untuk masuk kantor. Aku bahkan tidak ingin menolong atau bahkan mendengar kabarnya saja sudah tidak sudi.
Dua jam berselang. Para karyawan yang sedari tadi sibuk mencari Pak Suminto, kini sudah mulai surut. Semuanya seperti kembali pada kerjaannya masing-masing. Puluhan orang penting sudah tidak sabar untuk menunggu lebih lama lagi. Mereka memutuskan untuk pergi.
Seorang sekertaris masuk ke ruanganku. “Pak Suminto marah besar. Dia ingin bertemu denganmu sekarang,” katanya.
Lho kok malah saya yang dipanggil?” tanyaku terheran-heran. Sebelum pertanyaanku dijawab, Pak Suminto membuka pintu ruanganku dengan kasar.
“Anda saya pecat! Bereskan barang-barang Anda sekarang juga tanpa banyak bicara!” teriakan Pak Suminto langsung menyambar tepat di wajahku. Pakaiannya basah kuyup dan sedikit menerawang sehingga pusar perutnya yang buncit dapat terlihat jelas. Rambutnya yang lepek membelah dua seperti artis dangdut. Secara keseluruhan, aku seperti mendadak kedatangan seorang pelawak yang terlihat bodoh di hadapanku. Jika situasi sedang tidak formal, mungkin saat itu juga aku tertawa. Namun, aku memilih untuk membalas teriakannya.
Lho Bapak yang telat, kenapa saya yang dipecat?”
“Apa saya harus memecat diri saya sendiri? Jelas tidak! Andalah yang menjadi biang kerok dalam peristiwa ini!”
“Sebentar Pak, maksud Bapak apa?”
“Anda tahu? Orang-orang penting itu meninggalkan saya karena saya terlambat. Mereka semua membatalkan kerja samanya dengan perusahaan ini. Dengan adanya peristiwa ini, saya lagi-lagi rugi besar. Tahu?”
“Iya, saya tahu. Tapi apa urusannya dengan saya? Bukankah itu…?”
“Itu karena Anda! Saya terlambat karena harus mengantar ibu saya ke rumah sakit. Di tengah jalan menuju ke kantor, mobil saya mogok dan ban belakang saya kempes. Kebetulan saat itu hujan sangat lebat sekali. Tidak ada yang mau membantu saya setidaknya untuk mengantarkan saya ke kantor. Saat itu saya melihat Anda sedang berteduh di dekat halte bis. Berkali-kali saya panggil bahkan mata Anda sempat menghadap wajah saya. Tapi apa yang Anda lakukan? Anda langsung lari terbirit-birit seakan takut akan sesuatu. Jelas Andalah yang membuat saya menjadi terlambat.”
Itu benar. Tapi pada saat itu aku tidak benar-benar melihat wajahnya. Di dalam perjalanan aku bahkan seperti orang bisu, buta, dan tuli. Tidak ada orang yang aku hiraukan. Mereka semua sama. Mereka hanya menjadi pengganggu agar aku tidak dapat datang ke kantor tepat waktu. Di satu sisi, aku menghilangkan diriku sendiri untuk bekerja professional. Di sisi lain, aku tidak bisa menolak bahwa kebiasaanku itu kerap muncul di saat-saat tertentu. Apa aku sekejam itu? Aku hanya ingin datang tepat waktu tanpa memedulikan orang lain termasuk atasanku sendiri.
“Bukankah itu yang Bapak harapkan dari saya? Bapak ingin agar saya bekerja secara professional tanpa memedulikan orang di sekitar saya, kan? Dan itu sudah saya lakukan. Apakah saya salah?” tanyaku dengan nada yang agak keras.
“Tapi bukan itu maksud saya! Saya ini atasan Anda. Bukan orang asing yang tidak Anda kenal!”
“Saya rasa semuanya sama. Sama seperti dulu sebelum Anda melarang saya untuk tidak lagi membantu orang lain di luar sana. Semua orang saya anggap sama. Semuanya berhak dibantu, baik oleh saya maupun oleh orang disekitarnya.”
“Tapi tidak semua orang harus Anda bantu!”
“Oh iya. Tentu saja. Akhirnya saya lebih memilih untuk tidak akan membantu siapapun termasuk Bapak. Saya pikir saat itu Bapak sedang menguji saya,” ucapku yang langsung segera mungkin membereskan barang-barang di ruangan.
Aku bergegas pergi tanpa tujuanku selanjutnya. Pokoknya hari itu adalah yang terakhir aku berada di tempat yang serba kaku. Aku lebih baik memenuhi keinginanku sendiri. Mungkin benar, bekerja sambilan adalah bakatku. Membantu banyak orang tanpa ada atasan mungkin akan menjadi pekerjaanku sehari-hari. Kebisaanku adalah kelebihanku. Aku tidak ingin lagi menjadi seekor cicak.

Surakarta, 10 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar