Cerpang: Mangir
Pengarang: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation, 2000
I.
Pembahasan
A. Unsur-Unsur
Budaya
1. Bahasa
Bahasa yang digunakan oleh Pramoedya
Ananta Toer dalam cerpang Mangir ini adalah merasionalkan unsur-unsur imajinasi
atau fiktif yang penuh dengan kiasan ke bentuk yang sesungguhnya. Seperti yang
diungkapkan pada lembar pertanggungjawaban bahwa cerita Mangir merupakan
permata dalam kesusastraan Jawa setelah masuknya Islam, bukan karena bentuk
sastranya, tetapi karena makna sejarah-sejaranya. Kemudian dilanjutkan dengan
alasan mengapa diwujudkan dalam bentuk cerpang: tradisi jawa terlalu hati-hati
dalam menuliskan raja-raja atau dinastinya yang masih berkuasa,
pujangga-pujangga Jawa terpaksa menempuh jalan sanepa atau kias. Sebaliknya
pembaca berabad-abad kemudian juga terpaksa harus dapat membuka kunci-kunci
sanepa itu untuk dapat memahami maksud-maksud mereka (Pramoedya, 2000: XXII).
Dalam cerita panggung Mangir Baru
Klinting diwujudkan dalam bentuk manusia sebenarnya. Karakternya sendiri dibuat
seperti manusia biasa. Dia merupakan prajurit, ahli siasat, pemikir, dan
organisator. Baru Klinting digambarkan sebagai sosok yang mempunyai visi dan
misi ke depan. Ia optimis dan percaya diri pada kemampuannya. Berikut ini
adalah penggalan dialog yang melukiskan sifat atau karakter Baru Klinting.
Keterangan
|
Dialog
|
Ucapan Baru Klinting yang yakin dengan masa
depannya. Dia sangat percaya diri.
|
Belum mampu pandanganmu menembus hari dekat
mendatang? Dia akan datang hari penghinaan itu. Kan meruap hilang impian Panembahan,
jadi raja tunggal menggagahi pulau Jawa. Bakal telanjang diri ia dalam
kekalahan dan kehinaan (Pramoedya, 2000: 6).
|
Ucapan Baru Klinting yang menasehati Wanabaya
seakan-akan menguji kesungguhan Wanabaya untuk konsisten terhadap Putri
Pambayun dan Perdikan Mangir.
|
Wanabaya Muda, kau mulai memeras untuk dibenarkan,
untuk dapat anggukan. Kau yang diasuh oleh perdikan sejak pertama kali
melihat matari, hatimu mulai terbelah hanya karena waranggana (Pramoedya,
2000: 31).
|
Baru Klinting menasihati Wanabaya dengan tegas
|
Memalukan – seorang panglima, karena kecantikan
perawan telah relakan perpecahan. Berapa banyak perawan yang cantik di atas
bumi ini? Setiap kau tergila-gila seperti seekor ayam jantan, tahu sarang
tapi tak kenal kandang (Pramoedya, 2000: 32)
|
Baru Klinting menasihati Wanabaya dengan tegas
|
Apa guna kau coba dekati jagang tombak? Hanya
karena wanita hendak robohkan teman sebarisan? Tidakkah kau tahu, dengan
jatuhnya semua temanmu kau akan diburu-buru Mataram seperti babi hutan?
|
Dalam cerita penggalan dialog di atas
bisa dilihat karakter yang ada pada diri Baru Klinting. Namun dalam cerita yang
sebenarnya (sebelum dituliskan oleh Pramoedya), Baru Klinting digambarkan
sebagai seekor ular yang kelahirannya spektakuler saat Kiai Ageng Mangir
mengadakan upacara tingkeban untuk istrinya yang hamil tua. Biasanya seorang
pengarang yang berasal dari kerjaan melukiskan musuh kerajaan dengan tidak
sepenuhnya berwujud manusia.
Hal itu seperti yang dikatakan oleh
Pramoedya bahwa berhadapan dengan sanepa adalah berhadapan dengan teka-teki dua
muka: historis dan daya imajinasi pujangga (Pramoedya, 2000: XXII). Kemudian
dilanjutkan dari penelusuran maksud dari nama Baru Klinting.
Baru itu berasal dari beri dan bahu
(-ning praja), dua-duanya punya persangkutan dengan kekuasaan dan pelaksaannya.
Suatu pendapat bahwa baru adalah perusakan dari kata bahu, perusakan yang
dilakukan dengan sengaja, juga masuk akal. Dan bila demikian, Klinting bisa
berarti mengerut karena kering, atau mengelupas karena kering. Maka Baru
Klinting berarti seorang penggawa Perdikan Mangir yang kulitnya mengelupas
(Karena penyakit kulit). Dari kerusakan kulit seorang pujangga Jawa, yang
sengaja hendak menyandikan, dalam pada itu berpihak pada Mataram, mendapat
bahan untuk melebih-lebihkan penggambaran, bahwa si bahu perdikan itu berkulit
sisik, dan kulit bersisik ia menyamakan dengan ular, dan dari persamaan ular
menjadi ular sungguhan (Pramoedya, 2000: XXVI-XXVII).
2. Sistem
Pengetahuan
a. Pernikahan
Terlarang dan Simbol Wanita
Dalam
buku “Beberapa Pokok Antropologi Sosial”, Koentjaraningrat (1992: 8-9)
menjelaskan bahwa sistem pengetahuan terdiri dari pengetahuan tentang sekitar
alam, alam flora, alam fauna, zat-zat dan bahan mentah, tubuh manusia, kelakuan
sesama manusia, ruang, waktu, dan bilangan. Secara sekilas cerpang “Mangir” ini
hampir menyerupai peristiwa perang Bubat yang dilakukan antara kerajaan Sunda
dengan Majapahit. Awal munculnya perang Bubat tersebut dari Prabu Hayam Wuruk
(kerajaan Majapahit) yang ingin memperistri Putri Dyah Pitaloka Citraresmi
(kerajaan Sunda).
Alasan
umum Hayam wuruk untuk menikah dengan Dyah Pitaloka adalah untuk mengikat
persekutuan dengan Negeri Sunda. Pernikahan dilangsungkan di Majapahit.
Meskipun pihak kerajaan Sunda merasa keberatan dengan tempat pelaksanaan, Raja
Sunda dan Dyah Pitaloka tetap datang ke Bubat diiringi dengan prajurit. Memang
pada masa itu pengantin wanita yang datang menemui pengatin pria disebut-sebut
sebagai jebakan agar dapat menguasai negeri lawannya.
Gajah
Mada pada saat itu masih mengingat sumpahnya sebelum Hayam Wuruk naik tahta.
Gajah Mada berpikiran bahwa kedatangan Raja Sunda beserta prajuritnya adalah
suatu bentuk penyerahan diri. Dyah Pitaloka pun bukan lagi dianggap sebagai
calon mempelai pria tetapi dianggap sebagai umpan kerajaan Sunda agar datang ke
Majapahit. Tanpa pikir panjang, Gajah
Mada langsung memberi perintah kepada pasukannya agar menyerang kerajaan Sunda.
Peperangan yang tidak seimbang antara Majapahit yang pasukannya berjumlah
banyak melawan pasukan kerajaan Sunda yang jumlahnya sedikit terjadi. Karena
ingin membela kehormatan kerajaan Sunda, Dyah Pitaloka akhirnya bunuh diri dan
diikuti oleh perempuan lainnya.
Peristiwa
tersebut hampir menyerupai cerpang Mangir. Awal mula jatuhnya kerajaan Mangir
karena cinta Wanabaya dengan Putri Pambayun tidak dilandasi kejujuran. Putri
Pambayun tidak berbicara sejujurnya bahwa dia berasal dari kerajaan Mataram
yang tidak lain adalah musuh bubuyutan kerajaan Mangir. Namun, Putri Pambayun
menganggap jika dia berbicara jujur maka yang terjadi dia tidak akan dapat
menikah dengan Wanabaya.
Sama
halnya dengan perang Bubat, Putri Pambayun dianggap sebagai umpan untuk
kerajaan musuh. Pada akhir cerita dikisahkan Wanabaya datang untuk meminta
restu kepada ayah Putri Pambayun yaitu Panembahan Senapati dari kerajaan
Mataram. Wanabaya dan pasukannya pun diserang oleh pasukan Mataram. Pasukan
Mangir pun berguguran termasuk Wanabaya.
Kedua
cerita di atas mempunyai kesamaan tema yang dilandasi dari cinta yang
terlarang. Sekilas dapat ditangkap bahwa wanita dalam kedua cerita tersebut
dijadikan sebagai alat untuk menaklukan seorang pria. Wanabaya adalah seorang
prajurit, pendekar, panglima Mangir, tua Perdikan Mangir, tampan, tinggi
perkasa, dan mempunyai jiwa kepemimpinan. Dia juga mempunyai sifat setia pada
negaranya. Namun, sifat setia tersebut seolah-olah dimanfaatkan oleh kerajaan
Mataram. Tumenggung Mandaraka mempunyai pikiran bahwa Wanabaya akan setia pada
pasangannya dan akan melakukan apa saja demi pasangannya. Akhirnya Putri
Pambayun dijadikan alat agar lebih mudah mengalahkan kerajaan Mangir.
Sama
halnya dengan kerajaan Mataram atau kerajaan Majapahit yang menjadikan sosok
wanita sebagai alat untuk menjatuhkan musuhnya atau mempertahankan kekuasaannya, dalam budaya Indonesia sendiri banyak fakta
yang beredar bahwa wanita dijadikan sebagai alat pembayaran untuk menyuap
seorang pejabat selain berupa uang. Tentu saja ini adalah penyalahgunaan simbol
wanita yang seharusnya martabatnya dijunjung tinggi malah dijatuhkan moralnya.
Ini adalah sebuah situasi tragis dimana wanita rela diperjualbelikan demi
mendapatkan kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan.
Faktanya
pada tanggal 7 Juli 2008 lalu, Al Amin Nasution tertangkap basah pada
pembicaraannya yang disadap melalui telepon. Pembicaraan dalam telepon tersebut
tentang permintaan Al Amin untuk disediakan seorang wanita sebagai alat suap
alih fungsi hutan lindung Kabupaten Bintan. Dalam hal ini dapat disimpulkan
bahwa untuk meraih kekuasaan atau kemudahan dalam sebuah proyek dapat dilakukan
dengan segala cara termasuk memberi wanita kepada anggota DPR. Artinya ada tiga
kelemahan yang terdapat dalam jiwa orang Indonesia, yaitu harta, tahta, dan
wanita. Ketiga hal tersebut paling banyak diburu. Jika seseorang dapat
mengendalikan nafsu mereka untuk dapat menguasai ketiga hal tersebut dengan
baik dan benar, maka persoalan dalam hidup dapat teratasi. Tetapi jika
ketiganya disalahgunakan oleh seseorang, maka yang terjadi adalah kehancuran.
Inilah sisi negatif prilaku seorang yang picik yang coba diangkat oleh
pengarang untuk bahan pembelajaran.
b. Strategi
Perang
Terlepas
dari baik atau buruknya tindakan kerajaan Mataram untuk menaklukan kerajaan
Mangir, peristiwa tersebut menampilkan sebuah strategi yang disusun secara
rapi. Sama halnya dengan perang Troya yang ada dalam mitologi Yunani. Pasukan
perang Akhaia mampu memperdaya dan menipu orang-orang Troya dengan
mempersembahkan Kuda Troya. Kuda Troya tersebut ditunjukan sebagai pengabdian
kepada Poseidon. Kuda Troya menurut para petinggi Troya dianggap tidak
berbahaya dan diizinkan masuk ke dalam benteng Troya yang tidak dapat ditembus
oleh para prajurit Yunani selama kurang lebih 10 tahun. Pada malam harinya,
pasukan Yunani atau Akhaia keluar dari perut kuda kayu tersebut dan akhirnya
merebut kota Troya.
Berdasarkan
cerita di atas dan dikaitkan dengan cerita Mangir tersebut dapat diambil
simpulan bahwa kemenangan dapat diraih dengan memperhitungkan kesempatan dan
situasi yang ada. Putri Pambayun dalam kisah Mangir pun dijadikan alat karena
terdapat kesempatan agar Mataram dapat menaklukan kerajaan Mangir. Ini
membuktikan bahwa pola berpikir dalam menyusun strategi dalam perang antara
Mataram dan Mangir didasari dengan pengetahuan intelektual dan pengalaman.
Dalam
kaitannya dengan budaya bangsa Indonesia sekarang ini, sering strategi seperti
itu disalahgunakan. Misalnya saja banyak caleg yang memanfaatkan rakyat hanya
sebagai pengisi suara dalam pemilu. Setelah usai pemilu pejabat meninggalkan
para rakyatnya. Selain itu, banyak caleg yang menyebarkan uang kepada setiap
kepala rumah tangga hanya untuk mendapat kemenangan dalam pemilu. Banyak lagi
cara-cara yang sebenarnya kreatif namun tidak dilakukan dengan cara yang baik.
Hal-hal cerdik seperti itu seharusnya dilakukan dengan cara yang baik menurut
aturan yang berlaku. Seperti halnya kesetiaan Wanabaya yang rela mempertahankan
negerinya sampai mati. Ini menunjukan bahwa pemimpin pada masa dahulu sangat
konsisten dan setia untuk menjaga nama baik kerajaannya. Pada kenyataannya di
negara Indonesia banyak caleg saling berkompetisi dengan cara yang tidak sehat.
Padahal lawan mereka adalah salah satu masyarakat negara Indonesia dan bukan
musuh dalam arti yang sesungguhnya.
3. Organisasi
Sosial
a. Kesetiaan
Seorang Pemimpin
Dalam cerpang Mangir ini, Pramoedya
berhasil merealisasikan sosok Wanabaya dengan sifat yang setia dan berwibawa.
Kata-kata yang dilontarkan oleh Wanabaya mempunyai karakter yang tegas dan
bijaksana. Selain itu, prilaku yang ditampilkan dalam penggalan-penggalan
dialog membuktikan bahwa Wanabaya tidak hanya sekedar berbicara atau bersumpah
melainkan dia mengaplikasikan sumpahnya itu ke bentuk yang nyata. Di bawah ini dapat dilihat kata-kata yang
mewakili sifat Wanabaya.
Keterangan
|
Dialog
|
Wanabaya memohon pada Baru Klinting untuk merestui
hubungannya dengan Putri Pambayun
|
Ki Ageng Mangir telah dengarkan semua. Hanyaa yang
ini di atas segala-gala. Tak pernah Wanabaya sukai wanita. Sekali
diperolehnya, tak ada yang mampu kisarkan kemauannya (Pramoedya, 2000: 26)
|
Wanabaya meyakinkan orang-orang Mangir bahwa dia
akan tetap setia dengan Mangir
|
Takkan kubiarkan kalian lapar. Seluruh rombongan
jadi tanggungan di tangan Ki Ageng. Harap jangan kalian anggap rendah
Wanabaya Muda. Biar bukan raja, aku masih jaya berlumbung daya (Pramoedya.
2000: 28)
|
Wanabaya meyakinkan orang-orang Mangir bahwa dia
tetap akan memilih Putri Pambayun sebagai istrinya
|
Sudah kudengar semua keluar dari mulut kalian.
Juga dalam perkaraa ini aku seorang panglima. Jangan dikira kalian bisa
belokaan Wanabaya. Sekali Wanabaya Muda hendaki sesuatu, dia akan dapatkan
untuk sampai selesai (Pramoedya, 2000: 33)
|
Sumpah Wanabaya yang akan tetap melawan Mataram
meskipun sudah mempunyai istri. Istri bukan sebagai pengganggu untuk tetap
mebela kerajaannya
|
Dengar kalian semua: terhadap Mataram sikap
Wanabaya tak berkisar barang sejari. Ijinkan aku kini memperistri Adisaroh.
Tanpa mendapatkannya aku rela kalian tumpas disini juga. Jangan usir aku,
terlepas dari perdikan ini. Beri aku anggukan, Klinting, dan kalian para
tetua, gegeduk rata Mangir yang perwira. (berlutut dengan tangan terkembang
ke atas pada orang-orang di hadapannya). Aku lihat tujuh tombak berdiri di
jagang sana. Tembuskanlah dalam diriku, bila anggukan tiada kudapat. Dunia
jadi tak berarti tanpa Adisaroh dampingi hidup ini (Pramoedya, 2000: 36)
|
Ungkapan Tummenggung Mandaraka terhadap Wanabaya
|
Memang suami luar biasa, untuk istrinya dia
kerjakan semua, dengan sisa waktunya yang sedikit dari garis depan. Betapa
bangga seorang wanita punya suami seperti dia takkan pernah terdapat di
istana (Pramoedya, 2000: 53)
|
Pada
penggalan dialog-dialog di atas dapat dilihat betapa setianya Wanabaya terhadap
kerajaan. Dia bahkan dapat membagi waktu antara kerajaan dan istrinya. Istrinya
tetap dipandang sebagai seorang yang butuh kasih sayang dan dihargai. Dia tetap
menjaga janji yang pernah dia utarakan sebelumnya. Sifatnya yang konsisten
membuat dia tidak goyah untuk mempertahankan kerajaannya sampai akhir
kematiannya. Tebukti pada akhir cerita tersebut yang menyatakan bahwa Wanabaya
mati saat berperang melawan kerajaan Mataram.
Hal
ini membuktikan bahwa pada zaman dahulu sifat kesetiaan pada seseorang untuk
membela negaranya dan memegang teguh prinsipnya masih berlaku. Pada
kenyataannya, bukan di Indonesia saja sifat kesetiaan pada negaranya masih
berlaku pada zaman dahulu. Di Negara Jepang misalnya, yang terkenal dengan
sejarah 47 Ronin juga secara tidak langsung menjelaskan bahwa sifat kesetiaan
masih sangat banyak ditemukan pada zaman dahulu.
Sejarah
47 Ronin menceritakan tentang pembalasan dendam anak buah pemimpin Asano Takumi
terhadap pejabat tinggi Kira Kozuke. Awalnya
Asano Takumi bertengkar dengan Kira Kozuke yang akhirnya melahirkan keputusan
hukuman mati bagi pihak yang bersalah. Hukuman mati yang biasa dikenal seppuku
(bunuh diri secara terhormat) dijatuhkan pada Asano Takumi, sedangkan Kira
Kozuke dibebaskan begitu saja. Hukumannya yang lain adalah pencabutan semua
wilayah kekuasaan klan Ako Asano di Ako, sehingga semua pengikutnya harus
menjadi ronin (samurai yang tidak mempunyai tuan). Setelah Asano meninggal dunia karena hukuman mati, para
ronin membalas dendam manjikannya itu terhadap Kira Kozuke. Setelah Kira Kozuke
meninggal, semua ronin yang membalas dendam itu akhirnya dihukum seppuku sesuai
dengan keputusan pemerintah. Meskipun para ronin tahu bahwa membalas dendam
dengan membunuh pejabat tinggi itu adalah sebuah tindakan yang patut untuk
dihukum, para ronin tetap mempertahankan janjinya untuk tetap setia dengan
majikannya.
Di
negara Indonesia sendiri bila dikaitkan dengan sifat kesetiaan seorang pemimpin
terhadap negaranya pada masa sekarang ini jauh berbeda dengan masa lalu. Banyak
pelanggaran yang terjadi karena tidak mempedulikan peraturan yang ada.
Kesetiaan malah sering disalahgunakan dalam kejadian yang salah. Contohnya saja
ketika seorang pemimpin korupsi maka dengan setia anak buanya pun ikut korupsi.
Namun dalam hal ini kesetiaan pada pemimpin atau negara seharusnya mengacu pada
peraturan yang berlaku. Sumpah atau janji yang diutarakan oleh pemimpin yang
ingin menjadi pejabat sering diabaikan. Di bawah ini terdapat janji dalam
pelantikan untuk menjadi pejabat yang diambil dari situs internet.
“Demi Allah saya bersumpah/ berjanji,
bahwa Saya, untuk diangkat pada jabatan ini, langsung ataupun tidak langsung
dengan nama atau dalih apapun, tidak memberikan atau menjanjikan, ataupun akan
memberikan sesuatu kepada siapapun juga.
Bahwa saya, untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu, dalam jabatan ini, tiada sekali-kali menerima dari siapapun
juga, langsung ataupun tidak langsung, suatu janji atau pemberian.
Bahwa saya setia kepada UUD 1945, dan
akan memelihara segala undang-undang dan peraturan yang berlaku bagi negara
Republik Indonesia.
Bahwa saya akan setia pada nusa dan
bangsa, dan akan memenuhi segala kewajiban yang ditanggungkan kepada saya oleh
jabatan ini.
Bahwa saya akan menjalankan tugas dan
kewajiban dengan penuh rasa tanggung jawab kepada bangsa dan negara.” (sumber:
nasional.kompas.com/ read/2013/10/17/1033299/Sumpah_Serapah_Pejabat_Negeri)
Secara
tidak langsung jika diamati secara lebih seksama, maka dapat dilihat bahwa
ikrar untuk tidak menyalahgunakan jabatan ditempatkan pada poin pertama dan
kedua diikuti dengan peraturan-peraturan yang ada dalam poin-poin berikutnya. Seandainya
dari sumpah tersebut dihayati dengan hikmat karena mengandung unsur Tuhan di
dalamnya, secara logika seseorang akan berpegang teguh dalam sumpahnya
tersebut. Namun dalam kenyataannya masih ada saja pejabat yang korupsi atau
menyalahgunakan jabatan. Ini justru bertentangan dengan situasi pada zaman
dahulu khususnya dalam cerita panggung Mangir
tersebut.
b. Kesetiaan
Seorang Istri
Dalam cerpang Mangir juga diceritakan
tentang seorang istri yang bernama Putri Pambayun yang setia terhadap Suaminya.
Meskipun awalnya Putri Pambayun pernah membohongi suaminya, tetapi pelajaran
yang positif yang dapat diambil disini adalah kesetiaan seorang Putri Pambayun
terhadap Wanabaya. Dia tetap akan terus mendapinginya dan mentaati seluruh
kebijakannya. Walaupun akhirnya dia dijadikan alat penjebakan oleh Tumenggung
Mandaraka. Di bawah ini adalah kata-kata yang membuktikan kesetiaan Putri
Pambayun.
Keterangan
|
Dialog
|
Ucapan Wanabaya yang sedih melihat Putri Pambayun
rela menemaninya hingga tidak berkesempatan pulang kampung sebelum mendapat
restu dari Wanabaya
|
Kau terlalu rindu kampung halaman, juga kau
berbahagia di Perdikan, empat bulan kau telah saksikan tak ada lelaki
perbudak wanita seperti di istana. Orang-orang berbangsa itu lupa, wanita tak
lain dari ibu bangsa. Maka jangan kau suka melamun Adisaroh kekasih si
kakang. Gelisah hati melihat, seakang kakang tak cukup bertimbang rasa
(Pramoedya, 2000: 42)
|
Ucapan Putri Pambayun sebagai rasa syukur karena
mendapatkan suami yang baik hatinya.
|
Setiap malam, kakangku Wanabaya, bila semua sudah
lelap, pepohonan terangguk-angguk mengantuk, dan agin tak juga jera
berkelana, Adisaroh istrimu bangun hati mengucap syukur dapatkan suami
seperti kakang. Aku memohon, ya Kau Sang Pembikin Nyawa, kecuali mati, jangan
pisahkan kami berdua, jangan Kau biarkan kami bercerai sendiri-sendiri
((Pramoedya, 2000: 43)
|
Putri Pambayun menjelaskan keadaannya kepada
Wanabaya
|
Tak pernah Adisaroh dustai suami. Bukankah untukmu
seorang bayi ini kukandungkan? (Pramoedya, 2000: 65)
|
Putri Pambayun rela dihukum untuk menebus
kesalahannya karena pernah membohongi Wanabaya
|
Inilah diri, hukumlah semau hatimu (Pramoedya,
2000: 66)
|
Putri Pambayun berbicara setelah melihat Wanabaya
tidak jadi menghukumnya
|
Tiada kau hukum aku? Bumi dan langit tak dapat
ingkari, inilah Putri Pambayun Mataram istrimu, inilah bayi dalam kandungan
anakmu, dua-duanya tetap bersetia kepadamu (Pramoedya, 2000: 67)
|
Putri Pabayun berbicara bahwa dia akan setia
membela Wanabaya meskipun harus melawan Mataram
|
Untukmu dan Perdikan, Kang, di mana dan kapan saja
(Pramoedya, 2000: 75)
|
Penggalan
dialog tersebut menjelaskan bahwa seorang istri sudah selayaknya patuh dan taat
terhadap suami selama dalam situasi yang baik dan benar. Namun jika dikaitkan
dengan keadaan di negara bangsa Indonesia zaman sekarang, banyak istri yang
tidak patuh terhadap suaminya. Sebagai contoh mereka lebih memilih kepentingan
pribadi untuk bekerja mencari uang dari pada mengasuh anaknya atau menjadi ibu
rumah tangga sesuai dengan perintah suami.
Wanita
yang lebih memprioritaskan bekerja di luar dari pada merawat anak-anaknya, akan
rela meninggalkan anaknya menjadi mangsa zaman. Pada akhirnya kasih sayang anak
kepada ibunya akan hangus dan tidak ingin menjadi seperti ibunya yang sibuk di
luar. Harmonisasi keluarga akan sulit terwujud karena sekembalinya ibu dari
pekerjaannya dia akan membawa wajah yang tidak indah dipandang, yang sebenarnya
anak-anaknya mendambakan sentuhan-sentuhan manja dari ibu dan bermain
bersamanya, akan tetapi ibu malah marah-marah dan membentak anak-anaknya agar
tidak berisik karena ibu merasa letih dan lelah.
Itulah
salah satu dampak dari seorang istri yang lebih ingin memprioritaskan untuk
bekerja daripada mengasuh anak yang terjadi pada masa sekarang ini. Selain itu
kerusakan hubungan rumah tangga terjadi salah satunya tidak ada hubungan
komunikasi antara ayah, ibu dan anak. Salah satu penyebabnya adalah ibu dan
ayahnya sibuk bekerja. Seandainya suami menyuruh istrinya untuk mengasuh
anaknya mungkin kejadian seperti itu dapat diminimalisasikan. Terlebih lagi
jika seorang istri mematuhi perkataan suaminya.
B. Pesan
Moral
1. Belajar
Menghargai Orang Lain
Dalam kaitannya dengan cerpang Mangir
ini bahwa sebagai manusia harus menghargai sesama manusia lainnya. Wanita dan
pria sejatinya mempunyai hak dan kewajiban yang sama sesuai dengan
kemampuannya. Kisah ini seakan-akan memberikan pesan kepada pembaca bahwa
seseorang tidak boleh merendahkan atau memperalat orang lain demi kepentingan
pribadi.
2. Belajar
untuk Setia
Setia disini bukan hanya terhadap
pasangan tetapi lebih bermakna luas. Setia disini bisa diartikan sebagai setia
terhadap nusa dan bangsa, setia terhadap janji, setia tehadap orang tua, setia
terhadap kebenaran dan sebagainya selama itu baik untuk umum.
3. Pemimpin
Amanah
Semua pemimpin di dalam cerita ini mempunyai sifat
kepemimpinan yang berbeda-beda. Sifat yang positifnya adalah mereka dapat
melakukan strategi perang sehingga dapat dihormati oleh anak buahnya. Menjadi
seorang pemimpin yang dihormati oleh anak buahnya bukan hal yang mudah. Sekali
saja pemimpin berbuat dusta atau kesalahan, kepercayaan dari anak buahnya akan
hilang. Maka dari itu, diharapkan seorang manusia yang ditakdirkan menjadi
khalifah di bumi menjadi pemimpin yang amanah dan dapat dipercaya. Tentu saja
untuk menjadi pemimpin yang seperti itu harus berpegang teguh terhadap janji
yang dia utarakan demi negaranya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar