Jumat, 16 Mei 2014

Analisis Cerpang (Cerita Panggung): Mangir Karya Pramoedya Ananta Toer




Cerpang: Mangir
Pengarang: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The     Ford Foundation, 2000

                                                                                                                                                              I.          Pembahasan

A.  Unsur-Unsur Budaya
1.    Bahasa
Bahasa yang digunakan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam cerpang Mangir ini adalah merasionalkan unsur-unsur imajinasi atau fiktif yang penuh dengan kiasan ke bentuk yang sesungguhnya. Seperti yang diungkapkan pada lembar pertanggungjawaban bahwa cerita Mangir merupakan permata dalam kesusastraan Jawa setelah masuknya Islam, bukan karena bentuk sastranya, tetapi karena makna sejarah-sejaranya. Kemudian dilanjutkan dengan alasan mengapa diwujudkan dalam bentuk cerpang: tradisi jawa terlalu hati-hati dalam menuliskan raja-raja atau dinastinya yang masih berkuasa, pujangga-pujangga Jawa terpaksa menempuh jalan sanepa atau kias. Sebaliknya pembaca berabad-abad kemudian juga terpaksa harus dapat membuka kunci-kunci sanepa itu untuk dapat memahami maksud-maksud mereka (Pramoedya, 2000: XXII).
Dalam cerita panggung Mangir Baru Klinting diwujudkan dalam bentuk manusia sebenarnya. Karakternya sendiri dibuat seperti manusia biasa. Dia merupakan prajurit, ahli siasat, pemikir, dan organisator. Baru Klinting digambarkan sebagai sosok yang mempunyai visi dan misi ke depan. Ia optimis dan percaya diri pada kemampuannya. Berikut ini adalah penggalan dialog yang melukiskan sifat atau karakter Baru Klinting.
Keterangan
Dialog
Ucapan Baru Klinting yang yakin dengan masa depannya. Dia sangat percaya diri.
Belum mampu pandanganmu menembus hari dekat mendatang? Dia akan datang hari penghinaan itu. Kan meruap hilang impian Panembahan, jadi raja tunggal menggagahi pulau Jawa. Bakal telanjang diri ia dalam kekalahan dan kehinaan (Pramoedya, 2000: 6).
Ucapan Baru Klinting yang menasehati Wanabaya seakan-akan menguji kesungguhan Wanabaya untuk konsisten terhadap Putri Pambayun dan Perdikan Mangir.
Wanabaya Muda, kau mulai memeras untuk dibenarkan, untuk dapat anggukan. Kau yang diasuh oleh perdikan sejak pertama kali melihat matari, hatimu mulai terbelah hanya karena waranggana (Pramoedya, 2000: 31).
Baru Klinting menasihati Wanabaya dengan tegas
Memalukan – seorang panglima, karena kecantikan perawan telah relakan perpecahan. Berapa banyak perawan yang cantik di atas bumi ini? Setiap kau tergila-gila seperti seekor ayam jantan, tahu sarang tapi tak kenal kandang (Pramoedya, 2000: 32)
Baru Klinting menasihati Wanabaya dengan tegas
Apa guna kau coba dekati jagang tombak? Hanya karena wanita hendak robohkan teman sebarisan? Tidakkah kau tahu, dengan jatuhnya semua temanmu kau akan diburu-buru Mataram seperti babi hutan?

Dalam cerita penggalan dialog di atas bisa dilihat karakter yang ada pada diri Baru Klinting. Namun dalam cerita yang sebenarnya (sebelum dituliskan oleh Pramoedya), Baru Klinting digambarkan sebagai seekor ular yang kelahirannya spektakuler saat Kiai Ageng Mangir mengadakan upacara tingkeban untuk istrinya yang hamil tua. Biasanya seorang pengarang yang berasal dari kerjaan melukiskan musuh kerajaan dengan tidak sepenuhnya berwujud manusia.
Hal itu seperti yang dikatakan oleh Pramoedya bahwa berhadapan dengan sanepa adalah berhadapan dengan teka-teki dua muka: historis dan daya imajinasi pujangga (Pramoedya, 2000: XXII). Kemudian dilanjutkan dari penelusuran maksud dari nama Baru Klinting.
Baru itu berasal dari beri dan bahu (-ning praja), dua-duanya punya persangkutan dengan kekuasaan dan pelaksaannya. Suatu pendapat bahwa baru adalah perusakan dari kata bahu, perusakan yang dilakukan dengan sengaja, juga masuk akal. Dan bila demikian, Klinting bisa berarti mengerut karena kering, atau mengelupas karena kering. Maka Baru Klinting berarti seorang penggawa Perdikan Mangir yang kulitnya mengelupas (Karena penyakit kulit). Dari kerusakan kulit seorang pujangga Jawa, yang sengaja hendak menyandikan, dalam pada itu berpihak pada Mataram, mendapat bahan untuk melebih-lebihkan penggambaran, bahwa si bahu perdikan itu berkulit sisik, dan kulit bersisik ia menyamakan dengan ular, dan dari persamaan ular menjadi ular sungguhan (Pramoedya, 2000: XXVI-XXVII).






2.    Sistem Pengetahuan
a.    Pernikahan Terlarang dan Simbol Wanita
Dalam buku “Beberapa Pokok Antropologi Sosial”, Koentjaraningrat (1992: 8-9) menjelaskan bahwa sistem pengetahuan terdiri dari pengetahuan tentang sekitar alam, alam flora, alam fauna, zat-zat dan bahan mentah, tubuh manusia, kelakuan sesama manusia, ruang, waktu, dan bilangan. Secara sekilas cerpang “Mangir” ini hampir menyerupai peristiwa perang Bubat yang dilakukan antara kerajaan Sunda dengan Majapahit. Awal munculnya perang Bubat tersebut dari Prabu Hayam Wuruk (kerajaan Majapahit) yang ingin memperistri Putri Dyah Pitaloka Citraresmi (kerajaan Sunda).
Alasan umum Hayam wuruk untuk menikah dengan Dyah Pitaloka adalah untuk mengikat persekutuan dengan Negeri Sunda. Pernikahan dilangsungkan di Majapahit. Meskipun pihak kerajaan Sunda merasa keberatan dengan tempat pelaksanaan, Raja Sunda dan Dyah Pitaloka tetap datang ke Bubat diiringi dengan prajurit. Memang pada masa itu pengantin wanita yang datang menemui pengatin pria disebut-sebut sebagai jebakan agar dapat menguasai negeri lawannya.
Gajah Mada pada saat itu masih mengingat sumpahnya sebelum Hayam Wuruk naik tahta. Gajah Mada berpikiran bahwa kedatangan Raja Sunda beserta prajuritnya adalah suatu bentuk penyerahan diri. Dyah Pitaloka pun bukan lagi dianggap sebagai calon mempelai pria tetapi dianggap sebagai umpan kerajaan Sunda agar datang ke Majapahit.  Tanpa pikir panjang, Gajah Mada langsung memberi perintah kepada pasukannya agar menyerang kerajaan Sunda. Peperangan yang tidak seimbang antara Majapahit yang pasukannya berjumlah banyak melawan pasukan kerajaan Sunda yang jumlahnya sedikit terjadi. Karena ingin membela kehormatan kerajaan Sunda, Dyah Pitaloka akhirnya bunuh diri dan diikuti oleh perempuan lainnya.
Peristiwa tersebut hampir menyerupai cerpang Mangir. Awal mula jatuhnya kerajaan Mangir karena cinta Wanabaya dengan Putri Pambayun tidak dilandasi kejujuran. Putri Pambayun tidak berbicara sejujurnya bahwa dia berasal dari kerajaan Mataram yang tidak lain adalah musuh bubuyutan kerajaan Mangir. Namun, Putri Pambayun menganggap jika dia berbicara jujur maka yang terjadi dia tidak akan dapat menikah dengan Wanabaya.
Sama halnya dengan perang Bubat, Putri Pambayun dianggap sebagai umpan untuk kerajaan musuh. Pada akhir cerita dikisahkan Wanabaya datang untuk meminta restu kepada ayah Putri Pambayun yaitu Panembahan Senapati dari kerajaan Mataram. Wanabaya dan pasukannya pun diserang oleh pasukan Mataram. Pasukan Mangir pun berguguran termasuk Wanabaya.
Kedua cerita di atas mempunyai kesamaan tema yang dilandasi dari cinta yang terlarang. Sekilas dapat ditangkap bahwa wanita dalam kedua cerita tersebut dijadikan sebagai alat untuk menaklukan seorang pria. Wanabaya adalah seorang prajurit, pendekar, panglima Mangir, tua Perdikan Mangir, tampan, tinggi perkasa, dan mempunyai jiwa kepemimpinan. Dia juga mempunyai sifat setia pada negaranya. Namun, sifat setia tersebut seolah-olah dimanfaatkan oleh kerajaan Mataram. Tumenggung Mandaraka mempunyai pikiran bahwa Wanabaya akan setia pada pasangannya dan akan melakukan apa saja demi pasangannya. Akhirnya Putri Pambayun dijadikan alat agar lebih mudah mengalahkan kerajaan Mangir.
Sama halnya dengan kerajaan Mataram atau kerajaan Majapahit yang menjadikan sosok wanita sebagai alat untuk menjatuhkan musuhnya atau mempertahankan kekuasaannya,  dalam budaya Indonesia sendiri banyak fakta yang beredar bahwa wanita dijadikan sebagai alat pembayaran untuk menyuap seorang pejabat selain berupa uang. Tentu saja ini adalah penyalahgunaan simbol wanita yang seharusnya martabatnya dijunjung tinggi malah dijatuhkan moralnya. Ini adalah sebuah situasi tragis dimana wanita rela diperjualbelikan demi mendapatkan kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan.
Faktanya pada tanggal 7 Juli 2008 lalu, Al Amin Nasution tertangkap basah pada pembicaraannya yang disadap melalui telepon. Pembicaraan dalam telepon tersebut tentang permintaan Al Amin untuk disediakan seorang wanita sebagai alat suap alih fungsi hutan lindung Kabupaten Bintan. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa untuk meraih kekuasaan atau kemudahan dalam sebuah proyek dapat dilakukan dengan segala cara termasuk memberi wanita kepada anggota DPR. Artinya ada tiga kelemahan yang terdapat dalam jiwa orang Indonesia, yaitu harta, tahta, dan wanita. Ketiga hal tersebut paling banyak diburu. Jika seseorang dapat mengendalikan nafsu mereka untuk dapat menguasai ketiga hal tersebut dengan baik dan benar, maka persoalan dalam hidup dapat teratasi. Tetapi jika ketiganya disalahgunakan oleh seseorang, maka yang terjadi adalah kehancuran. Inilah sisi negatif prilaku seorang yang picik yang coba diangkat oleh pengarang untuk bahan pembelajaran.


b.    Strategi Perang
Terlepas dari baik atau buruknya tindakan kerajaan Mataram untuk menaklukan kerajaan Mangir, peristiwa tersebut menampilkan sebuah strategi yang disusun secara rapi. Sama halnya dengan perang Troya yang ada dalam mitologi Yunani. Pasukan perang Akhaia mampu memperdaya dan menipu orang-orang Troya dengan mempersembahkan Kuda Troya. Kuda Troya tersebut ditunjukan sebagai pengabdian kepada Poseidon. Kuda Troya menurut para petinggi Troya dianggap tidak berbahaya dan diizinkan masuk ke dalam benteng Troya yang tidak dapat ditembus oleh para prajurit Yunani selama kurang lebih 10 tahun. Pada malam harinya, pasukan Yunani atau Akhaia keluar dari perut kuda kayu tersebut dan akhirnya merebut kota Troya.
Berdasarkan cerita di atas dan dikaitkan dengan cerita Mangir tersebut dapat diambil simpulan bahwa kemenangan dapat diraih dengan memperhitungkan kesempatan dan situasi yang ada. Putri Pambayun dalam kisah Mangir pun dijadikan alat karena terdapat kesempatan agar Mataram dapat menaklukan kerajaan Mangir. Ini membuktikan bahwa pola berpikir dalam menyusun strategi dalam perang antara Mataram dan Mangir didasari dengan pengetahuan intelektual dan pengalaman.
Dalam kaitannya dengan budaya bangsa Indonesia sekarang ini, sering strategi seperti itu disalahgunakan. Misalnya saja banyak caleg yang memanfaatkan rakyat hanya sebagai pengisi suara dalam pemilu. Setelah usai pemilu pejabat meninggalkan para rakyatnya. Selain itu, banyak caleg yang menyebarkan uang kepada setiap kepala rumah tangga hanya untuk mendapat kemenangan dalam pemilu. Banyak lagi cara-cara yang sebenarnya kreatif namun tidak dilakukan dengan cara yang baik. Hal-hal cerdik seperti itu seharusnya dilakukan dengan cara yang baik menurut aturan yang berlaku. Seperti halnya kesetiaan Wanabaya yang rela mempertahankan negerinya sampai mati. Ini menunjukan bahwa pemimpin pada masa dahulu sangat konsisten dan setia untuk menjaga nama baik kerajaannya. Pada kenyataannya di negara Indonesia banyak caleg saling berkompetisi dengan cara yang tidak sehat. Padahal lawan mereka adalah salah satu masyarakat negara Indonesia dan bukan musuh dalam arti yang sesungguhnya.



3.    Organisasi Sosial
a.    Kesetiaan Seorang Pemimpin
Dalam cerpang Mangir ini, Pramoedya berhasil merealisasikan sosok Wanabaya dengan sifat yang setia dan berwibawa. Kata-kata yang dilontarkan oleh Wanabaya mempunyai karakter yang tegas dan bijaksana. Selain itu, prilaku yang ditampilkan dalam penggalan-penggalan dialog membuktikan bahwa Wanabaya tidak hanya sekedar berbicara atau bersumpah melainkan dia mengaplikasikan sumpahnya itu ke bentuk yang nyata.  Di bawah ini dapat dilihat kata-kata yang mewakili sifat Wanabaya.
Keterangan
Dialog
Wanabaya memohon pada Baru Klinting untuk merestui hubungannya dengan Putri Pambayun
Ki Ageng Mangir telah dengarkan semua. Hanyaa yang ini di atas segala-gala. Tak pernah Wanabaya sukai wanita. Sekali diperolehnya, tak ada yang mampu kisarkan kemauannya (Pramoedya, 2000: 26)
Wanabaya meyakinkan orang-orang Mangir bahwa dia akan tetap setia dengan Mangir
Takkan kubiarkan kalian lapar. Seluruh rombongan jadi tanggungan di tangan Ki Ageng. Harap jangan kalian anggap rendah Wanabaya Muda. Biar bukan raja, aku masih jaya berlumbung daya (Pramoedya. 2000: 28)
Wanabaya meyakinkan orang-orang Mangir bahwa dia tetap akan memilih Putri Pambayun sebagai istrinya
Sudah kudengar semua keluar dari mulut kalian. Juga dalam perkaraa ini aku seorang panglima. Jangan dikira kalian bisa belokaan Wanabaya. Sekali Wanabaya Muda hendaki sesuatu, dia akan dapatkan untuk sampai selesai (Pramoedya, 2000: 33)
Sumpah Wanabaya yang akan tetap melawan Mataram meskipun sudah mempunyai istri. Istri bukan sebagai pengganggu untuk tetap mebela kerajaannya
Dengar kalian semua: terhadap Mataram sikap Wanabaya tak berkisar barang sejari. Ijinkan aku kini memperistri Adisaroh. Tanpa mendapatkannya aku rela kalian tumpas disini juga. Jangan usir aku, terlepas dari perdikan ini. Beri aku anggukan, Klinting, dan kalian para tetua, gegeduk rata Mangir yang perwira. (berlutut dengan tangan terkembang ke atas pada orang-orang di hadapannya). Aku lihat tujuh tombak berdiri di jagang sana. Tembuskanlah dalam diriku, bila anggukan tiada kudapat. Dunia jadi tak berarti tanpa Adisaroh dampingi hidup ini (Pramoedya, 2000: 36)
Ungkapan Tummenggung Mandaraka terhadap Wanabaya
Memang suami luar biasa, untuk istrinya dia kerjakan semua, dengan sisa waktunya yang sedikit dari garis depan. Betapa bangga seorang wanita punya suami seperti dia takkan pernah terdapat di istana (Pramoedya, 2000: 53)

Pada penggalan dialog-dialog di atas dapat dilihat betapa setianya Wanabaya terhadap kerajaan. Dia bahkan dapat membagi waktu antara kerajaan dan istrinya. Istrinya tetap dipandang sebagai seorang yang butuh kasih sayang dan dihargai. Dia tetap menjaga janji yang pernah dia utarakan sebelumnya. Sifatnya yang konsisten membuat dia tidak goyah untuk mempertahankan kerajaannya sampai akhir kematiannya. Tebukti pada akhir cerita tersebut yang menyatakan bahwa Wanabaya mati saat berperang melawan kerajaan Mataram.
Hal ini membuktikan bahwa pada zaman dahulu sifat kesetiaan pada seseorang untuk membela negaranya dan memegang teguh prinsipnya masih berlaku. Pada kenyataannya, bukan di Indonesia saja sifat kesetiaan pada negaranya masih berlaku pada zaman dahulu. Di Negara Jepang misalnya, yang terkenal dengan sejarah 47 Ronin juga secara tidak langsung menjelaskan bahwa sifat kesetiaan masih sangat banyak ditemukan pada zaman dahulu.
Sejarah 47 Ronin menceritakan tentang pembalasan dendam anak buah pemimpin Asano Takumi terhadap pejabat tinggi Kira Kozuke.  Awalnya Asano Takumi bertengkar dengan Kira Kozuke yang akhirnya melahirkan keputusan hukuman mati bagi pihak yang bersalah. Hukuman mati yang biasa dikenal seppuku (bunuh diri secara terhormat) dijatuhkan pada Asano Takumi, sedangkan Kira Kozuke dibebaskan begitu saja. Hukumannya yang lain adalah pencabutan semua wilayah kekuasaan klan Ako Asano di Ako, sehingga semua pengikutnya harus menjadi ronin (samurai yang tidak mempunyai tuan). Setelah Asano  meninggal dunia karena hukuman mati, para ronin membalas dendam manjikannya itu terhadap Kira Kozuke. Setelah Kira Kozuke meninggal, semua ronin yang membalas dendam itu akhirnya dihukum seppuku sesuai dengan keputusan pemerintah. Meskipun para ronin tahu bahwa membalas dendam dengan membunuh pejabat tinggi itu adalah sebuah tindakan yang patut untuk dihukum, para ronin tetap mempertahankan janjinya untuk tetap setia dengan majikannya.
Di negara Indonesia sendiri bila dikaitkan dengan sifat kesetiaan seorang pemimpin terhadap negaranya pada masa sekarang ini jauh berbeda dengan masa lalu. Banyak pelanggaran yang terjadi karena tidak mempedulikan peraturan yang ada. Kesetiaan malah sering disalahgunakan dalam kejadian yang salah. Contohnya saja ketika seorang pemimpin korupsi maka dengan setia anak buanya pun ikut korupsi. Namun dalam hal ini kesetiaan pada pemimpin atau negara seharusnya mengacu pada peraturan yang berlaku. Sumpah atau janji yang diutarakan oleh pemimpin yang ingin menjadi pejabat sering diabaikan. Di bawah ini terdapat janji dalam pelantikan untuk menjadi pejabat yang diambil dari situs internet.
“Demi Allah saya bersumpah/ berjanji, bahwa Saya, untuk diangkat pada jabatan ini, langsung ataupun tidak langsung dengan nama atau dalih apapun, tidak memberikan atau menjanjikan, ataupun akan memberikan sesuatu kepada siapapun juga.
Bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, dalam jabatan ini, tiada sekali-kali menerima dari siapapun juga, langsung ataupun tidak langsung, suatu janji atau pemberian.
Bahwa saya setia kepada UUD 1945, dan akan memelihara segala undang-undang dan peraturan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia.
Bahwa saya akan setia pada nusa dan bangsa, dan akan memenuhi segala kewajiban yang ditanggungkan kepada saya oleh jabatan ini.
Bahwa saya akan menjalankan tugas dan kewajiban dengan penuh rasa tanggung jawab kepada bangsa dan negara.” (sumber: nasional.kompas.com/ read/2013/10/17/1033299/Sumpah_Serapah_Pejabat_Negeri)

Secara tidak langsung jika diamati secara lebih seksama, maka dapat dilihat bahwa ikrar untuk tidak menyalahgunakan jabatan ditempatkan pada poin pertama dan kedua diikuti dengan peraturan-peraturan yang ada dalam poin-poin berikutnya. Seandainya dari sumpah tersebut dihayati dengan hikmat karena mengandung unsur Tuhan di dalamnya, secara logika seseorang akan berpegang teguh dalam sumpahnya tersebut. Namun dalam kenyataannya masih ada saja pejabat yang korupsi atau menyalahgunakan jabatan. Ini justru bertentangan dengan situasi pada zaman dahulu khususnya dalam cerita panggung Mangir tersebut.

b.    Kesetiaan Seorang Istri
Dalam cerpang Mangir juga diceritakan tentang seorang istri yang bernama Putri Pambayun yang setia terhadap Suaminya. Meskipun awalnya Putri Pambayun pernah membohongi suaminya, tetapi pelajaran yang positif yang dapat diambil disini adalah kesetiaan seorang Putri Pambayun terhadap Wanabaya. Dia tetap akan terus mendapinginya dan mentaati seluruh kebijakannya. Walaupun akhirnya dia dijadikan alat penjebakan oleh Tumenggung Mandaraka. Di bawah ini adalah kata-kata yang membuktikan kesetiaan Putri Pambayun.
Keterangan
Dialog
Ucapan Wanabaya yang sedih melihat Putri Pambayun rela menemaninya hingga tidak berkesempatan pulang kampung sebelum mendapat restu dari Wanabaya
Kau terlalu rindu kampung halaman, juga kau berbahagia di Perdikan, empat bulan kau telah saksikan tak ada lelaki perbudak wanita seperti di istana. Orang-orang berbangsa itu lupa, wanita tak lain dari ibu bangsa. Maka jangan kau suka melamun Adisaroh kekasih si kakang. Gelisah hati melihat, seakang kakang tak cukup bertimbang rasa (Pramoedya, 2000: 42)
Ucapan Putri Pambayun sebagai rasa syukur karena mendapatkan suami yang baik hatinya.
Setiap malam, kakangku Wanabaya, bila semua sudah lelap, pepohonan terangguk-angguk mengantuk, dan agin tak juga jera berkelana, Adisaroh istrimu bangun hati mengucap syukur dapatkan suami seperti kakang. Aku memohon, ya Kau Sang Pembikin Nyawa, kecuali mati, jangan pisahkan kami berdua, jangan Kau biarkan kami bercerai sendiri-sendiri ((Pramoedya, 2000: 43)
Putri Pambayun menjelaskan keadaannya kepada Wanabaya
Tak pernah Adisaroh dustai suami. Bukankah untukmu seorang bayi ini kukandungkan? (Pramoedya, 2000: 65)
Putri Pambayun rela dihukum untuk menebus kesalahannya karena pernah membohongi Wanabaya
Inilah diri, hukumlah semau hatimu (Pramoedya, 2000: 66)
Putri Pambayun berbicara setelah melihat Wanabaya tidak jadi menghukumnya
Tiada kau hukum aku? Bumi dan langit tak dapat ingkari, inilah Putri Pambayun Mataram istrimu, inilah bayi dalam kandungan anakmu, dua-duanya tetap bersetia kepadamu (Pramoedya, 2000: 67)
Putri Pabayun berbicara bahwa dia akan setia membela Wanabaya meskipun harus melawan Mataram
Untukmu dan Perdikan, Kang, di mana dan kapan saja (Pramoedya, 2000: 75)

Penggalan dialog tersebut menjelaskan bahwa seorang istri sudah selayaknya patuh dan taat terhadap suami selama dalam situasi yang baik dan benar. Namun jika dikaitkan dengan keadaan di negara bangsa Indonesia zaman sekarang, banyak istri yang tidak patuh terhadap suaminya. Sebagai contoh mereka lebih memilih kepentingan pribadi untuk bekerja mencari uang dari pada mengasuh anaknya atau menjadi ibu rumah tangga sesuai dengan perintah suami.
Wanita yang lebih memprioritaskan bekerja di luar dari pada merawat anak-anaknya, akan rela meninggalkan anaknya menjadi mangsa zaman. Pada akhirnya kasih sayang anak kepada ibunya akan hangus dan tidak ingin menjadi seperti ibunya yang sibuk di luar. Harmonisasi keluarga akan sulit terwujud karena sekembalinya ibu dari pekerjaannya dia akan membawa wajah yang tidak indah dipandang, yang sebenarnya anak-anaknya mendambakan sentuhan-sentuhan manja dari ibu dan bermain bersamanya, akan tetapi ibu malah marah-marah dan membentak anak-anaknya agar tidak berisik karena ibu merasa letih dan lelah.
Itulah salah satu dampak dari seorang istri yang lebih ingin memprioritaskan untuk bekerja daripada mengasuh anak yang terjadi pada masa sekarang ini. Selain itu kerusakan hubungan rumah tangga terjadi salah satunya tidak ada hubungan komunikasi antara ayah, ibu dan anak. Salah satu penyebabnya adalah ibu dan ayahnya sibuk bekerja. Seandainya suami menyuruh istrinya untuk mengasuh anaknya mungkin kejadian seperti itu dapat diminimalisasikan. Terlebih lagi jika seorang istri mematuhi perkataan suaminya.



B.  Pesan Moral
1.    Belajar Menghargai Orang Lain
Dalam kaitannya dengan cerpang Mangir ini bahwa sebagai manusia harus menghargai sesama manusia lainnya. Wanita dan pria sejatinya mempunyai hak dan kewajiban yang sama sesuai dengan kemampuannya. Kisah ini seakan-akan memberikan pesan kepada pembaca bahwa seseorang tidak boleh merendahkan atau memperalat orang lain demi kepentingan pribadi.
2.    Belajar untuk Setia
Setia disini bukan hanya terhadap pasangan tetapi lebih bermakna luas. Setia disini bisa diartikan sebagai setia terhadap nusa dan bangsa, setia terhadap janji, setia tehadap orang tua, setia terhadap kebenaran dan sebagainya selama itu baik untuk umum.
3.    Pemimpin Amanah
Semua pemimpin di dalam cerita ini mempunyai sifat kepemimpinan yang berbeda-beda. Sifat yang positifnya adalah mereka dapat melakukan strategi perang sehingga dapat dihormati oleh anak buahnya. Menjadi seorang pemimpin yang dihormati oleh anak buahnya bukan hal yang mudah. Sekali saja pemimpin berbuat dusta atau kesalahan, kepercayaan dari anak buahnya akan hilang. Maka dari itu, diharapkan seorang manusia yang ditakdirkan menjadi khalifah di bumi menjadi pemimpin yang amanah dan dapat dipercaya. Tentu saja untuk menjadi pemimpin yang seperti itu harus berpegang teguh terhadap janji yang dia utarakan demi negaranya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar