Selasa, 06 Mei 2014

Presiden


Oleh: Michelia Alba

“Nama saya Slamet, saya Presiden Amerika!” ucapnya sambil mengelus jenggotnya yang hanya selembar menggantung di dagunya.
Aku hanya tersenyum setengah terpingkal-pingkal mendengar jawabannya. Dia adalah orang keempat puluh tiga yang aku wawancarai. Memang agak berbeda dari orang-orang sebelumnya. Dia memang orang yang istimewa menurutku. Karena dia adalah satu-satunya orang yang kutanyai yang jiwanya sedang terganggu. Alias dia adalah orang gila.
Ya, aku sedang berhadapan dengan orang gila. Di suatu daerah terpencil. Dan tentu saja di rumah sakit jiwa.
“Hei! Mengapa diam saja? Ngapain lu ke sini? Saya itu sedang sibuk. Saya harus rapat dengan kaki tangan saya. Belum lagi harus mengurusi anak-anak yatim yang sedang kelaparan di panti asuhan. Jika Anda tidak ada hal penting yang ingin dibicarakan, lebih baik Anda pulang saja!” ucap bapak tua berambut putih yang sedang berada di hadapanku. Dia mendekatkan wajahnya sambil merekatkan kedua telapak tangannya.
Tatapannya tegas dan berwibawa sekali. Jika dia tidak berbicara mungkin aku tidak mengaggapnya gila. Aku bahkan mengira kalau dia adalah politisi atau paling tidak sekedar polisi.
“Mungkin saya akan bertanya beberapa hal kecil. Bagaimana perasaan bapak selama ada di tempat ini?” aku mengajukan pertanyaan pertama. Meskipun ini terkesan seperti hal yang sangat percuma aku lakukan. Aku telah bertanya kepada semua orang dengan berbagai profesi. Dari pengusaha, office boy, dosen, mahasiswa, tukang sapu, tukang pijit, tukang ojek, pengamen, pengemis, dan masih banyak lagi. Itu semua kulakukan hanya untuk menyerap ilmu-ilmu positif dari mereka dan melihat beberapa sudut pandang yang berbeda akan sesuatu. Terutama aku ingin mengetahui jawaban dari berbagai sudut pandang tentang pertanyaan inti yang ingin aku tanyakan.
Orang gila yang satu ini menurutku sangat istimewa. Karena dari semua orang yang aku tanya 10 diantaranya menjawab jujur dan apa adanya. Sisannya mereka menjawab bohong. Anggap saja aku tahu yang mana yang jujur dan yang mana yang bohong. Tapi, untuk orang gila yang satu ini, aku rasa aku sulit membedakan kejujuran dan kebohongan.
“Saya rasa saya puas berada disini. Memang sejak dulu cita-cita saya ingin menjadi presiden. Ternyata malah jadi presiden Amerika. Untung saya gede kan?” ucap Pak Slamet.
“Lalu, apa…”
“Sebentar! Saya belum selesai bicara. Anda jangan memotong pembicaraan saya dulu dong! Jika pembicaraan seseorang dipotong bisa jadi akan menimbulkan fitnah dan kesalahpahaman. Bahkan fakta-fakta dan data-data pun belum saya utarakan. Secara tidak langsung Anda telah membuat kesimpulan sendiri tanpa mempertimbakan data-data yang ada. Anda mengerti maksud saya?” suara Pak Slamet menggaung di seisi ruangan.  
“I-iya Pak,” ucapku sambil melambaikan kepalaku naik-turun.
Pertama, usiaku 24 tahun dan usia Pak Slamet 63 tahun. Aku rasa itu alasan universal ketika manusia takut dengan manusia lainnya. Kedua, ruangan ini hanya ada aku dan dia, sedangkan aku sedang berbicara dengan orang yang tidak waras. Itu sangat berbahaya. Jujur aku takut padanya. Ketiga, dia Presiden Amerika!
“Nah gitu dong. Saya ini merasa puas sekaligus resah. Bencana alam yang ada di negara saya sangat banyak. Korban juga tidak sedikit yang berjatuhan. Belum lagi saya harus menyumbang fakir miskin dan anak-anak terlantar. Maklum, kalo negara saya itu semua orang yang miskin-miskin dipelihara oleh negara. Jadi ya saya repot sekali mengurusi ini-itu. Oh ya sebelum saya lanjutkan, saya minta tolong Anda bawakan saya segelas kopi hangat dengan gula merah di dalamnya!”
“Tapi Pak…”
Cepet! Anda lupa saya siapa? Saya itu Presiden Italia!”
“Italia?”
“Anda dari tadi gak denger saya ngomong ya? Iya Presiden Italia. Kok malah tanya lagi? Cepet ambil saya minum!”
“Iya Pak. Saya akan ambilkan minum untuk Bapak,” ucapku dan langsung meninggalkan Pak Slamet di ruangannya.
Selama perjalanan mengambil air minum, aku seperti berbicara dengan diriku sendiri. Dia itu adalah orang gila dan aku rela disuruh-suruh oleh orang gila. Sebenarnya siapa yang gila? Tapi jika aku tidak menuruti perintahnya, takutnya dia tidak akan menjawab pertanyaanku lagi. Padahal aku ingin sekali mengerti perasaan dan pandangan semua orang dari berbagai profesi. Termasuk pandangan dari orang gila itu.
Sebenarnya aku bisa saja menyuruh orang membuatkan minum untuk orang otaknya terlalu waras itu. Tapi aku sudah terlanjur menuruti perintah orang gila itu. Kalau aku menyuruh orang lain dan orang lain itu sampai tahu kalau aku baru saja menuruti perintah orang gila, wah bisa-bisa aku disangka lebih gila lagi dari orang gila itu. Lebih baik aku buat saja sendiri kopinya dengan alasan lebih suka membuat kopi buatan sendiri.
Suara gemerincing sendok yang beradu dengan gelas berkali-kali membuatku masuk dalam lamunan sesaat. Sedikit kesal namun agak tersenyum kecut. Itulah perasaanku. Bagaimana tidak? Seorang presiden Amerika, eh Italia meminta segelas kopi berisikan gula merah. Ada-ada saja. Seperti orang gila.
Pak Slamet memang pernah menjadi Gubernur. Dia dituduh korupsi sehingga dijebloskan ke dalam penjara. Tapi selama hidupnya sampai dia menjadi gila, belum pernah melakukan korupsi apalagi mengaku sebagai koruptor. Sebagian orang bilang kalau dia hanya difitnah. Sayangnya hanya sedikit orang yang bilang seperti itu. Sisanya menghujat dan mengutuk dia agar cepat lepas dari jabatannya dan dihukum seberat-beratnya. Aku belum bisa mengambil kesimpulan. Sebab aku pun belum tau data-data apa yang ingin dia katakan padaku selanjutnya.
Dari bahasanya yang tinggi, pastilah orang lain pun setuju kalau dia bukan orang gila biasa. Pilihan katanya mencerminkan orang yang berilmu namun terperangkap di dalam sebuah tempurung. Seperti pesawat yang sedang terbang lalu mendapatkan sebuah goncangan yang dahsyat. Kemudian pesawat itu jatuh, hilang, atau bahkan hancur. Aku tidak tahu. Yang jelas dia kehilangan siapa dirinya yang sebenarnya. Anggap saja itu gambaran sebuah gangguan mental.
Aku kembali dengan membawa secangkir kopi berisikan gula merah bubuk yang sudah tercampur rata. “Bapak mau rokok?” tanyaku untuk menyegarkan suasana.
“Lancang Anda!” teriaknya. “Saya heran dengan anak-anak zaman sekarang. Usia 6 tahun sudah pandai merokok. Apa saja yang diajarkan oleh orang tuanya? Kalau orang tuanya merokok ya anaknya pun ikut merokok. Kalau bukan orang tuanya yang salah, pasti teman-temannya. Mau jadi apa anak-anak di masa depan? Kalau merokok itu ya inget umur. Masih muda kok sudah merokok. Udah gitu ngerokok kok ngajak-ngajak?”
“Iya Pak maaf,”
“Mana koreknya?” tanya Pak Slamet dengan nada mengancam.
“Bapak merokok?”
Lho terkecuali saya. Saya boleh merokok. Gua kan Presiden. Boleh dong? Lagian anak-anak saya juga merokok ya saya juga ikut merokok lah. Masa saya tidak merokok. Nanti yang ngajarin anak saya ngerokok siapa lagi selain saya?”
“Kata bapak gak boleh ngajarin anak-anaknya merokok?”
“Rokok itu halal. Semua orang boleh ngerokok dan kasian juga para pedagang kalo rokok tidak lagi dijual bebas. Bisa-bisa rakyat jadi pengagguran atau malah jadi pengemis. Ya saya sendiri sebagai presiden tidak tega melihat itu semua. Ya saya sih terserah rakyat aja.”
Jawabannya terkesan normal tanpa dibuat-buat dan tanpa ada imajinasi dari Pak Slamet. Aku pun jika ditanya tentang hal seperti itu mungkin akan menjawab sama persis dengan Pak Slamet. Tapi apakah orang lain pun akan menjawab seperti itu? Tidak ada keyakinan, tidak ada kepastian, tidak ada ketegasan. Samakah orang biasa dengan orang gila? Semakin lama aku disini, semakin sulit membedakan siapa yang gila.
“Sudah berapa lama di sini? Dan apa saja yang bapak lakukan disini?” menurutku ini adalah pertanyaanku yang ketiga.
“Sudahku bilang barusan, kalau saya itu orangnya santai. Pekerjaan saya hanya makan selama 1 jam dan tidur selama 8 jam perhari. Kalau saya tidak ada kerjaan biasanya saya baca buku, menulis novel, pergi ke desa-desa terpencil, mendengarkan aspirasi rakyat, menjalankan proyek, dan menjalankan janji-janji saya terhadap rakyat. Dan itu saya jalankan dengan suka cita. Makanya saya selalu tersenyum dan tertawa,” jawab Pak Slamet sambil mengeluarkan asap rokok dari dalam tubuhnya.
“Barusan? Kapan dia bilang seperti itu?” tanyaku dalam hati. Namun pertanyaan yang paling besar dalam hatiku adalah “Apakah saya salah bertanya dengan orang gila? Dia itu hanya mengkhayal. Apa aku terlalu serius?” Sepertinya para pakar psikolog juga tidak memasukan kata-kata orang gila seperti dia ke dalam hati mereka. Tapi ini sudah terlanjur. Mau bagaimana lagi. Yang bisa aku lakukan hanya mengajukan pertanyaan inti. Daripada aku berbasa basi malah akan jadi repot nantinya. Pertanyaan mengenai sudut pandang orang terhadap sesuatu. Pertanyaan ini juga aku ajukan pada orang lain yang pernah aku temui.
“Menurut Bapak, Apa tanggapan Bapak terhadap Negara Indonesia?”
“Negara Indonesia? Oh itu. Dulu saya pernah bermimpi jadi gubernur salah satu provinsi di Indonesia. Saya menjabat sekitar 7 tahun kalau tidak salah. Tapi, setelah itu saya dituduh menggelapkan uang rakyat. Padahal jujur saya tidak pernah korupsi sedikit pun. Saya dibesarkan oleh orang tua yang jujur dan baik hatinya. Mana mungkin saya berbohong sampai bisa menggelapkan uang rakyat.
Saya waktu itu difitnah. Banyak data-data palsu yang memberatkan saya. Soalnya kenapa? Soalnya saya itu gak pernah mau diajak korupsi. Males. Ngapain coba korupsi. Eh malah saya yang disangka korupsi. Banyak yang tidak suka sama saya. Jadi saya itu serba salah. Gak korupsi difitnah, kalau saya korupsi ya saya masuk penjara. Tapi, tetep ada untungnya juga sih.”
“Ada untungnya?”
“Iya”
“Apa untungnya?”
“Untungnya saya bangun dari mimpi itu. Dan ketika saya bangun saya sudah jadi Presiden Korea Selatan. Untung kan?”
“Oh iya Pak. Lebih untung seperti itu dari pada masuk penjara,”
“Ya sebenarnya lebih baik masuk rumah sakit jiwa lah dari pada masuk penjara,”
“Kok bisa?”
Kan biar bisa jadi Presiden Amerika!”
“Bapak sebenarnya Presiden apa sih?”
“Kok malah tanya lagi? Kan saya orang gila!”

***

Surakarta, 16 Maret 2014
(Pernah dimuat di Solopos, Minggu 6 April 2014)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar