Oleh: Michelia Alba
“Nama
saya Slamet, saya Presiden Amerika!” ucapnya sambil mengelus jenggotnya yang
hanya selembar menggantung di dagunya.
Aku
hanya tersenyum setengah terpingkal-pingkal mendengar jawabannya. Dia adalah
orang keempat puluh tiga yang aku wawancarai. Memang agak berbeda dari
orang-orang sebelumnya. Dia memang orang yang istimewa menurutku. Karena dia
adalah satu-satunya orang yang kutanyai yang jiwanya sedang terganggu. Alias
dia adalah orang gila.
Ya,
aku sedang berhadapan dengan orang gila. Di suatu daerah terpencil. Dan tentu
saja di rumah sakit jiwa.
“Hei!
Mengapa diam saja? Ngapain lu ke
sini? Saya itu sedang sibuk. Saya harus rapat dengan kaki tangan saya. Belum
lagi harus mengurusi anak-anak yatim yang sedang kelaparan di panti asuhan.
Jika Anda tidak ada hal penting yang ingin dibicarakan, lebih baik Anda pulang
saja!” ucap bapak tua berambut putih yang sedang berada di hadapanku. Dia
mendekatkan wajahnya sambil merekatkan kedua telapak tangannya.
Tatapannya
tegas dan berwibawa sekali. Jika dia tidak berbicara mungkin aku tidak
mengaggapnya gila. Aku bahkan mengira kalau dia adalah politisi atau paling
tidak sekedar polisi.
“Mungkin
saya akan bertanya beberapa hal kecil. Bagaimana perasaan bapak selama ada di
tempat ini?” aku mengajukan pertanyaan pertama. Meskipun ini terkesan seperti
hal yang sangat percuma aku lakukan. Aku telah bertanya kepada semua orang
dengan berbagai profesi. Dari pengusaha, office
boy, dosen, mahasiswa, tukang sapu, tukang pijit, tukang ojek, pengamen,
pengemis, dan masih banyak lagi. Itu semua kulakukan hanya untuk menyerap
ilmu-ilmu positif dari mereka dan melihat beberapa sudut pandang yang berbeda
akan sesuatu. Terutama aku ingin mengetahui jawaban dari berbagai sudut pandang
tentang pertanyaan inti yang ingin aku tanyakan.
Orang
gila yang satu ini menurutku sangat istimewa. Karena dari semua orang yang aku
tanya 10 diantaranya menjawab jujur dan apa adanya. Sisannya mereka menjawab
bohong. Anggap saja aku tahu yang mana yang jujur dan yang mana yang bohong.
Tapi, untuk orang gila yang satu ini, aku rasa aku sulit membedakan kejujuran
dan kebohongan.
“Saya
rasa saya puas berada disini. Memang sejak dulu cita-cita saya ingin menjadi
presiden. Ternyata malah jadi presiden Amerika. Untung saya gede kan?” ucap Pak Slamet.
“Lalu,
apa…”
“Sebentar!
Saya belum selesai bicara. Anda jangan memotong pembicaraan saya dulu dong! Jika pembicaraan seseorang
dipotong bisa jadi akan menimbulkan fitnah dan kesalahpahaman. Bahkan
fakta-fakta dan data-data pun belum saya utarakan. Secara tidak langsung Anda
telah membuat kesimpulan sendiri tanpa mempertimbakan data-data yang ada. Anda
mengerti maksud saya?” suara Pak Slamet menggaung di seisi ruangan.
“I-iya
Pak,” ucapku sambil melambaikan kepalaku naik-turun.
Pertama,
usiaku 24 tahun dan usia Pak Slamet 63 tahun. Aku rasa itu alasan universal
ketika manusia takut dengan manusia lainnya. Kedua, ruangan ini hanya ada aku
dan dia, sedangkan aku sedang berbicara dengan orang yang tidak waras. Itu
sangat berbahaya. Jujur aku takut padanya. Ketiga, dia Presiden Amerika!
“Nah
gitu dong. Saya ini merasa puas
sekaligus resah. Bencana alam yang ada di negara saya sangat banyak. Korban
juga tidak sedikit yang berjatuhan. Belum lagi saya harus menyumbang fakir miskin
dan anak-anak terlantar. Maklum, kalo negara saya itu semua orang yang
miskin-miskin dipelihara oleh negara. Jadi ya saya repot sekali mengurusi
ini-itu. Oh ya sebelum saya lanjutkan, saya minta tolong Anda bawakan saya
segelas kopi hangat dengan gula merah di dalamnya!”
“Tapi
Pak…”
“Cepet! Anda lupa saya siapa? Saya itu
Presiden Italia!”
“Italia?”
“Anda
dari tadi gak denger saya ngomong ya? Iya Presiden Italia. Kok
malah tanya lagi? Cepet ambil saya
minum!”
“Iya
Pak. Saya akan ambilkan minum untuk Bapak,” ucapku dan langsung meninggalkan
Pak Slamet di ruangannya.
Selama
perjalanan mengambil air minum, aku seperti berbicara dengan diriku sendiri.
Dia itu adalah orang gila dan aku rela disuruh-suruh oleh orang gila.
Sebenarnya siapa yang gila? Tapi jika aku tidak menuruti perintahnya, takutnya
dia tidak akan menjawab pertanyaanku lagi. Padahal aku ingin sekali mengerti
perasaan dan pandangan semua orang dari berbagai profesi. Termasuk pandangan
dari orang gila itu.
Sebenarnya
aku bisa saja menyuruh orang membuatkan minum untuk orang otaknya terlalu waras
itu. Tapi aku sudah terlanjur menuruti perintah orang gila itu. Kalau aku
menyuruh orang lain dan orang lain itu sampai tahu kalau aku baru saja menuruti
perintah orang gila, wah bisa-bisa
aku disangka lebih gila lagi dari orang gila itu. Lebih baik aku buat saja
sendiri kopinya dengan alasan lebih suka membuat kopi buatan sendiri.
Suara
gemerincing sendok yang beradu dengan gelas berkali-kali membuatku masuk dalam
lamunan sesaat. Sedikit kesal namun agak tersenyum kecut. Itulah perasaanku.
Bagaimana tidak? Seorang presiden Amerika, eh
Italia meminta segelas kopi berisikan gula merah. Ada-ada saja. Seperti
orang gila.
Pak
Slamet memang pernah menjadi Gubernur. Dia dituduh korupsi sehingga dijebloskan
ke dalam penjara. Tapi selama hidupnya sampai dia menjadi gila, belum pernah
melakukan korupsi apalagi mengaku sebagai koruptor. Sebagian orang bilang kalau
dia hanya difitnah. Sayangnya hanya sedikit orang yang bilang seperti itu.
Sisanya menghujat dan mengutuk dia agar cepat lepas dari jabatannya dan dihukum
seberat-beratnya. Aku belum bisa mengambil kesimpulan. Sebab aku pun belum tau
data-data apa yang ingin dia katakan padaku selanjutnya.
Dari
bahasanya yang tinggi, pastilah orang lain pun setuju kalau dia bukan orang
gila biasa. Pilihan katanya mencerminkan orang yang berilmu namun terperangkap
di dalam sebuah tempurung. Seperti pesawat yang sedang terbang lalu mendapatkan
sebuah goncangan yang dahsyat. Kemudian pesawat itu jatuh, hilang, atau bahkan
hancur. Aku tidak tahu. Yang jelas dia kehilangan siapa dirinya yang
sebenarnya. Anggap saja itu gambaran sebuah gangguan mental.
Aku
kembali dengan membawa secangkir kopi berisikan gula merah bubuk yang sudah
tercampur rata. “Bapak mau rokok?” tanyaku untuk menyegarkan suasana.
“Lancang
Anda!” teriaknya. “Saya heran dengan anak-anak zaman sekarang. Usia 6 tahun
sudah pandai merokok. Apa saja yang diajarkan oleh orang tuanya? Kalau orang
tuanya merokok ya anaknya pun ikut merokok. Kalau bukan orang tuanya yang
salah, pasti teman-temannya. Mau jadi apa anak-anak di masa depan? Kalau
merokok itu ya inget umur. Masih muda kok
sudah merokok. Udah gitu ngerokok kok
ngajak-ngajak?”
“Iya
Pak maaf,”
“Mana
koreknya?” tanya Pak Slamet dengan nada mengancam.
“Bapak
merokok?”
“Lho terkecuali saya. Saya boleh merokok.
Gua kan Presiden. Boleh dong? Lagian
anak-anak saya juga merokok ya saya juga ikut merokok lah. Masa saya tidak
merokok. Nanti yang ngajarin anak
saya ngerokok siapa lagi selain
saya?”
“Kata
bapak gak boleh ngajarin anak-anaknya merokok?”
“Rokok
itu halal. Semua orang boleh ngerokok
dan kasian juga para pedagang kalo rokok tidak lagi dijual bebas. Bisa-bisa
rakyat jadi pengagguran atau malah jadi pengemis. Ya saya sendiri sebagai
presiden tidak tega melihat itu semua. Ya saya sih terserah rakyat aja.”
Jawabannya
terkesan normal tanpa dibuat-buat dan tanpa ada imajinasi dari Pak Slamet. Aku
pun jika ditanya tentang hal seperti itu mungkin akan menjawab sama persis
dengan Pak Slamet. Tapi apakah orang lain pun akan menjawab seperti itu? Tidak
ada keyakinan, tidak ada kepastian, tidak ada ketegasan. Samakah orang biasa
dengan orang gila? Semakin lama aku disini, semakin sulit membedakan siapa yang
gila.
“Sudah
berapa lama di sini? Dan apa saja yang bapak lakukan disini?” menurutku ini
adalah pertanyaanku yang ketiga.
“Sudahku
bilang barusan, kalau saya itu orangnya santai. Pekerjaan saya hanya makan
selama 1 jam dan tidur selama 8 jam perhari. Kalau saya tidak ada kerjaan biasanya saya baca buku, menulis
novel, pergi ke desa-desa terpencil, mendengarkan aspirasi rakyat, menjalankan
proyek, dan menjalankan janji-janji saya terhadap rakyat. Dan itu saya jalankan
dengan suka cita. Makanya saya selalu tersenyum dan tertawa,” jawab Pak Slamet
sambil mengeluarkan asap rokok dari dalam tubuhnya.
“Barusan?
Kapan dia bilang seperti itu?” tanyaku dalam hati. Namun pertanyaan yang paling
besar dalam hatiku adalah “Apakah saya salah bertanya dengan orang gila? Dia
itu hanya mengkhayal. Apa aku terlalu serius?” Sepertinya para pakar psikolog
juga tidak memasukan kata-kata orang gila seperti dia ke dalam hati mereka.
Tapi ini sudah terlanjur. Mau bagaimana lagi. Yang bisa aku lakukan hanya mengajukan
pertanyaan inti. Daripada aku berbasa basi malah akan jadi repot nantinya.
Pertanyaan mengenai sudut pandang orang terhadap sesuatu. Pertanyaan ini juga
aku ajukan pada orang lain yang pernah aku temui.
“Menurut
Bapak, Apa tanggapan Bapak terhadap Negara Indonesia?”
“Negara
Indonesia? Oh itu. Dulu saya pernah bermimpi jadi gubernur salah satu provinsi
di Indonesia. Saya menjabat sekitar 7 tahun kalau tidak salah. Tapi, setelah
itu saya dituduh menggelapkan uang rakyat. Padahal jujur saya tidak pernah
korupsi sedikit pun. Saya dibesarkan oleh orang tua yang jujur dan baik
hatinya. Mana mungkin saya berbohong sampai bisa menggelapkan uang rakyat.
Saya
waktu itu difitnah. Banyak data-data palsu yang memberatkan saya. Soalnya
kenapa? Soalnya saya itu gak pernah mau diajak korupsi. Males. Ngapain coba korupsi. Eh malah saya yang disangka korupsi.
Banyak yang tidak suka sama saya. Jadi saya itu serba salah. Gak korupsi difitnah, kalau saya korupsi
ya saya masuk penjara. Tapi, tetep ada untungnya juga sih.”
“Ada
untungnya?”
“Iya”
“Apa
untungnya?”
“Untungnya
saya bangun dari mimpi itu. Dan ketika saya bangun saya sudah jadi Presiden
Korea Selatan. Untung kan?”
“Oh
iya Pak. Lebih untung seperti itu dari pada masuk penjara,”
“Ya
sebenarnya lebih baik masuk rumah sakit jiwa lah dari pada masuk penjara,”
“Kok
bisa?”
“Kan biar bisa jadi Presiden Amerika!”
“Bapak
sebenarnya Presiden apa sih?”
“Kok
malah tanya lagi? Kan saya orang
gila!”
***
Surakarta, 16 Maret 2014
(Pernah dimuat di Solopos, Minggu 6 April 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar