Kamis, 15 Mei 2014

Biografi Pengarang: Muhammad Bintang Yanita Putra


Oleh: Michelia Alba

     Muhammad Bintang Yanita Putra lahir di Tasikmalaya tanggal 26 Agustus 1993. Dia pernah sekolah di SD Amaliah, SMPN 4 Bogor, SMAN 4 Bogor, dan meneruskan kuliah di Universitas Sebelas Maret. Selain menulis, dia gemar sekali bermain basket dan berenang.
     Pada saat dia masuk ke SMA, dia dikenal sering jahil di kelasnya. Bahkan berkali-kali masuk ke ruang BP karena sering berbuat kesalahan. Tentu saja nilai di sekolah kurang begitu memuaskan. Semakin hari nilainya pun semakin menurun. Sampai akhirnya dia mulai menulis beberapa cerpen dan satu buah novel yang tak kunjung selesai. 
    Kecintaannya pada sastra dimulai sejak kecil. Tepatnya pada saat SD. Ibunya mempunyai beberapa bahan buku bacaan yang terletak di perpustakaan pribadi miliknya. Karya-karya seperti Fredy S, Cassandra, Hilman Hariwijaya, Ayu Utami, dan penulis angkatan 80 sampe 2000 lainnya pernah dia baca saat masih SD. Kegemarannya membaca pada saat SD membuat dia rajin menulis beberapa puisi. Pada saat SMP mulailah dia menulis beberapa puisi. Setidaknya itu dapat mengungkapkan isi hatinya.
Karya-karyanya antara lain Puisi yang berjudul “Pesan dari Situ” dan cerpen yang berjudul “September di Septunus” pernah masuk dalam buku kumpulan cerpen dan puisi “Kukenang Wajahmu”(Media Perkasa, 2013). Cerpen yang berjudul “Lukisan Immaginario” mendapatkan juara II di Festival Budaya 2013. Cerpen yang berjudul “Presiden” pernah masuk dalam koran harian Solopos.  
Selain itu, dia juga berhasil menerbitkan kumpulan cerpen miliknya yang bekerja sama dengan Indie Book Corner yaitu "Tempurung di Tengah Kota" (Yanita Pustaka 'Indie Book Corner', 2014). Empat belas cerpen miliknya ada di dalam buku tersebut. Judulnya antara lain: "Tempurung di Tengah Kota", "Keranjang", "Kali", "Lengan Sepuluh Meter", "Hologram di Atas Bumi Pertiwi", "Ngiung-Ngiung", "Oh Mega", "Titik di Seperdelapan Malam", "Kursi Hitam", "Jalan Terakhir", "Warisan si Aki", "Kandang Kanak-Kanak", "Boneka Yaruhiko", dan "Tanpa Nama"
Sampai saat ini, dia masih rajin menulis karya sastra. Dia selalu mengatakan, "Saya tidak peduli berapa kali saya menulis, berapa kali tulisan saya ditolak media masa, seberapa jelek tulisan saya. Saya hanya takut seandainya suatu saat nanti tidak diizinkan Tuhan untuk menulis lagi. Pada saat itu saya akan hilang tanpa dikenang. Dan saya tidak akan pernah dikenal oleh orang lain setelah tiada."


Tidak ada komentar:

Posting Komentar