Minggu, 11 Mei 2014

Abu yang Menguning


Oleh: Michelia Alba

Abu merenung di kesunyian malam. Tanpa henti dia menguraikan bait-bait doa dengan indah. Semakin dia berdoa, semakin deras tetesan air mata yang mengalir. Matanya masih berkaca-kaca ketika melihat pepohonan melambaikan tangannya untuk ikut bersamanya. Juga awan yang sedang berjalan-jalan terbawa angin. Dalam pertengahan doanya, dia mempertanyakan keberadaan bulan yang sejak tadi tidak menyapanya.
Masih di bumi yang berputar, dia berjalan keluar rumah. kakinya menghantam pasir dan rerumputan silih berganti. Kemudian sampailah dia di sebuah rumah yang berwarna hijau. Dia melihat dua orang anak yang sedang bermain kembang api. Sebelum sempat mulutnya terbuka lebar untuk menyapa, ibu dari kedua anak tersebut keluar.
“Ayo masuk, jangan main diluar! Itu ada orang aneh. Ayo cepat masuk!” ucap seoarang ibu dari kedua anak itu seraya menatap Abu secara kasar.
Abu menundukan kepalanya dan mulai berjalan lurus kembali. Udara yang dingin menusuk kulit orang-orang desa, tetapi tidak pada Abu. Dia tidak merasakan sentuhan angin dan sentuhan apapun disekujur tubuhnya. Kulitnya mati rasa tak berbekas. Bahkan ketika dia terkena air panas dari termos, kulitnya tidak terkelupas sama sekali. Hingga saat ini ia merasa kesulitan untuk membedakan kasar dan halus.
Abu duduk di pesisir pantai Katingga dekat desanya. Dia menatap luasnya lautan yang dingin serta pepohonan yang sedang tertidur. Ingin rasanya Abu membangunkan mereka semua lalu bernyanyi bersama seperti di pagi hari. Namun itu mungkin akan sangat menganggu waktu istirahatnya.
Dari kejauhan, Abu mendengar suara langkah seseorang. Orang itu seperti ingin mendekatinya. Telinga Abu semakin melebar. Suaranya menunjukan bahwa jaraknya sekitar satu kilometer dari tempat dia duduk. Kemudian dia meletakan telapak tangannya di pasir. Meskipun Abu tidak dapat merasakan sentuhan hangat dari pasir, dia tetap merasakan bisikan pasir yang masuk melalui pori-pori telapak tangannya. Bisikan itu kini mendarat ke hati dan pikirannya.
“Ibu?” tanya Abu dalam hati. Dia merasakan kedatangan ibunya dari kejauhan yang tidak terduga. Lalu dia membiarkan ibunya menghampirinya. Sampai telapak tangan ibunya yang halus menyapa pundak Abu.
“Aku tahu. Kamu sudah merasakan kedatangan ibu,” ucap ibunya sambil meletakan tubuhnya di samping Abu.
“Ada apa ibu datang ke sini? Apakah aku membangunkan ibu?”
“Jika kamu tahu tentang keberadaan ibu, maka ibu lebih tahu dari itu. Ibu tahu apa yang kamu lakukan.”
“Betapa sulitnya membohongi ibu. Bahkan menyembunyikan perasaanku pun tidak bisa kulakukan.”
Ibunya hanya bisa tersenyum mendengarnya. Kemudian menatap apa yang ditatap oleh anaknya. Dia mencoba merasakan apa yang dirasakan oleh anaknya. Dia menyesuaikan suhu tubuhnya dengan tubuh anaknya serta menyesuaikan angin dan sentuhan malam yang menggerogoti tubuhnya untuk mengetahui perasaan anaknya. Setelah dia mengerti, dia pun diam tanpa kata dan menunggu ucapan dari Abu.
“Sama seperti yang dulu. Pertanyaanku masih seperti itu. Apakah aku manusia?” Abu memalingkan wajahnya ke hadapan ibunya. Sinar mata mereka saling bertabrakan. Ternyata sinar mata Abu agak melukai mata ibunya. Goresan kecil di mata ibunya membuat air matanya mengalir keluar secara perlahan.
“Kamu…” belum sempat ibunya berkata, Abu memotong perkataannya.
“Kulitku sangat tebal hingga tidak bisa merasakan sentuhan angin. Warna kulitku kuning. Warna rambutku merah. Mataku juga berwarna merah api. Manusia seperti apa aku ini?”
“Ibu menganggap kamu adalah manusia. Kamu adalah ciptaan Tuhan yang dititipkan kepada ibu. Kamu adalah anak ibu satu-satunya.”
“Tapi mereka tidak!” Abu sedikit membentak ibunya.
Sepintas pikirannya terbang melayang kembali kepada masa lalu. Ketika dicaci maki, dilempar dengan batu, bahkan sempat ingin dibakar hidup-hidup. Untung saja ketika itu selalu ada ibunya yang menyelamatkannya. Dia membayangkan bahwa hidupnya tidak ada artinya. Teman satu-satunya yang dia miliki adalah matahari, malam, burung-burung, pasir, pepohonan dan alam yang bahkan tidak pernah sekalipun Abu merasakan sentuhannya.
Abu merasakan alam pun sama seperti dirinya. Tidak ada yang bisa dirasakan tetapi merakan sakit ketika dilecehkan. Dalam benaknya pun ia bertanya, “Apakah aku ini bukan manusia? Apakah aku ini seekor alam? Atau sebuah alam? Atau sesosok alam? Apakah aku ini?” Namun jawaban tidak pernah menjenguk pikirannya. Dia selalu sampai di jalan buntu. Kemudian kembali lagi ke titik awal. Setelah itu dia dibutakan oleh manusia-manusia disekitarnya.
Masih di bumi tempat ia berpijak, Abu menenangkan jiwanya dan membuyarkan lamunannya sejenak. Tangan ibunya mendekati tangan Abu dengan sentuhan sangat lembut.
“Kamu merasakannya?”
“Aku hanya bisa merasakan denyut jantung ibu, darah yang mengalir, jumlah sel yang berada dalam tubuh ibu, nadi yang berdetak, dan…mmm… Ibu mempunyai luka di bagian lutut? Coba aku lihat.”
“Sudahlah, nak. Tidak apa-apa. Ibu hanya jatuh ketika sedang mengangkat pakaian.”
“Mengapa ibu tidak mengatakannya padaku? Aku bisa membantu menyembuhkan lukamu.”
Ibu Abu tersenyum lalu berkata, “Itu bukan kelemahanmu, tapi apa yang kamu miliki adalah kelebihan yang tidak mungkin bisa dilakukan orang lain.”
“Tapi Bu, seberapa besar kelebihan yang aku miliki tidak akan mengubah pandangan mereka terhadap tubuhku yang menjijikan ini. Mereka akan tetap menyembunyikan anak-anak mereka agar tidak mendekati aku. Mereka akan tetap mempersiapkan batu-batu besar dirumahnya untuk melemparkannya kepadaku setiap aku melewati rumah mereka,” tidak hanya bibir yang berkata, tetapi seluruh tubuh Abu berkata panjang lebar mengenai hidupnya.
Selama ini hidup mereka hanya berdua tanpa seorang ayah. Ayahnya pergi ketika tahu akan mempunyai seorang anak yang membawa aib dan kesialan. Tetapi ibu Abu tetap memberikan separuh tenaga dan jiwanya untuk mempelihatkan bumi yang berputar kepada anaknya. Sebuah kehidupan yang hanya akan dinikmati oleh orang yang beruntung. Ibunya selalu meyakinkan Abu bahwa tidak ada kesialan bagi sesuatu yang hidup.
Masih di bumi dengan malam yang bersemayam, “Cobalah kamu tatap lautan itu. Jangan lupa untuk melihat langit di atasnya. Betapa akrabnya langit dan laut itu sehingga bisa menyatu diantara jarak dan kejauhan. Bahkan ketika malam hari perbedaan mereka sangatlah tipis,” ujar ibunya.
“Lalu?” tanya Abu yang sedikit bingung dengan perkataan ibunya.
“Itulah pandangan manusia. Langit yang terpisah dengan laut seakan menyatu satu sama lain. Tidak ada yang nyata terlihat benar-benar nyata. Mata manusia menipu manusia itu sendiri. Manusia tidak sempurna. Kamu juga tidak sempurna, bukan? Maka kamu dan manusia tidak memiliki perbedaan. Kamu bahkan bisa melebihi mereka yang sering melecehkan kamu.”
Abu diam bersama pasir yang diam-diam merangkak meninggalkan mereka berdua. Keheningan malam menyeruak di kalbu Abu yang sulit menerima kenyataan. Namun jiwanya seakan lebih tenang ketika mendengar perkataan ibunya. Pikrannya terbuka lebar seluas samudra. Dia pun berpikir, “Apa mungkin inilah sinar bulan yang aku harapkan keberadaannya sejak awal?” Kemudian Abu memeluk ibunya sangat erat hingga dapat merasakan hangatnya organ-organ yang bergerak dalam tubuh ibunya.
“Jangan pikirkan mereka. Kamu akan semakin kecil dihadapan mereka jika kamu mengeluh. Berbeda bukan suatu masalah jika itu menjadikannya lebih indah. Kamu mungkin tidak bisa mendekati mereka secara fisik tapi kamu bisa mendekati mereka secara batin. Kamu bahkan bisa merasakan perasaan orang-orang disekitarmu. Bangkitlah nak, jangan merasa kecil! Keindahan dunia yang diciptakan Tuhan untuk manusia tergantung dari rasa syukur yang diciptakan manusia untuk Tuhannya,” ucap Ibu Abu.  
Dalam pelukan yang erat, Abu melayangkan pertanyaan kepada ibunya, “Mengapa ibu tidak tinggalkan aku sendirian? Mengapa ibu terus ingin bersama aku bahkan untuk selamanya?”
“Cukuplah alasan ibu hanya satu. Karena kamu adalah alasan Tuhan menciptakan ibu di bumi.”
Masih di bumi yang tak pernah terlelap. Pepohonan pun menggugurkan malam seketika. Kepiting dan siput muncul ke permukaan untuk menyambut matahari datang lebih awal. Pelukan Abu dengan ibunya dirasakan oleh seluruh alam. Samudra tersenyum hingga sentuhan tangannya menyapu pergelangan kaki abu untuk bersalaman. Pagi itu adalah tanda hari baik akan datang di kehidupan Abu.

Surakarta, 20 Juli 2013






Tidak ada komentar:

Posting Komentar