oleh: Michelia Alba
“Tidak mungkin. Pasti ada di suatu tempat. Aku
yakin aku meninggalkannya di suatu tempat. Entah kapan. Entah dimana.” Suara
batin itu hanya mampu menggesek dinding hati, rongga hidung, dan langit-langit
mulut Sueb. Kemudian, telapak tangannya menggumpal seperti batu, uratnya
ditarik hingga menegang, keringatnya pun mencair di permukaan kulitnya, dan
otaknya berputar 180 derajat. Namun sayang, semua itu percuma. Suara Sueb
menghilang seketika. Entah kapan. Entah dimana.
Sueb menggeledah
barang-barang yang berada di kamar kostnya. Dalam sekejap kamar yang berlapis
perak dan emas itu pun berubah menjadi berantakan. Buku-buku sejarah
berdampingan dengan pakaian dalam, komputer terbungkus dengan handuk bekas
mandi, dan entah bagaimana caranya gergaji karatan pun terbaring bebas di
kamanya. Keadaan itu semakin membuatnya stres dan depresi. Dia benar-benar tidak
menemukan suaranya.
Sore hari, saat
nyanyian gagak terkadang mencabik-cabik perasaannya, Sueb menemui salah satu
sahabatnya. Dengan tergopoh-gopoh membawa dua puluh buku di dalam tasnya, dia
menerobos sunyi yang memaksanya untuk mundur. Tampaknya kali ini Sueb sungguh
geram dengan alam dan waktu yang telah mengutuknya menjadi bisu. Langkahnya
tidak bisa dihentikan.
“Tumben kamu datang ke
sini. Apakah kamu sudah mau mendengarkanku?” ucap Ben, sahabat Sueb, dengan
senyum yang sedikit miring.
Kurang dari sedetik
mata Sueb menatap Ben. Kemudian matanya menoleh ke pintu, jendela, pakaian,
celana atau apapun di sekitarnya. Sueb tidak bisa memaksakan matanya melakukan
kontak dengan orang lain.
Tiba-tiba sunyi datang
lagi menyelinap di antara mereka berdua. Tak ada yang berbicara sedikit pun.
Sueb mengutuk dalam hati apabila Ben tidak mengizinkannya masuk, maka saat pagi
datang Sueb akan langsung menghajarnya.
“Baiklah, silahkan
masuk,” ucap Ben seolah-olah mendengar kutukan batin Sueb. “Sebentar akan
kubuatkan kopi panas untukmu.”
Sueb termenung lama di
atas sofa bermotif batik sembari membayangkan kesalahan apa yang pernah
dilakukannya pada masa lalu. Ia bergerak perlahan menuju cermin yang terletak
di dinding ruang tamu. Korneanya mulai retak karena ada butiran air yang
berkali-kali mendobrak ingin keluar dan berteriak. Penyesalan seakan merampas
otaknya begitu saja.
Tiga tahun sudah Sueb
menjadi mahasiswa. Ambisinya memang sudah dipupuk dari pertama kali menginjakan
kakinya di kampus untuk menjadi mahasiswa terbaik. Cita-citanya yang kuat dan
janjinya kepada orang tua yang tinggal di tempat jauh membuat Sueb semakin
serius untuk menekuni bidang yang dia ambil.
Dia sudah terbiasa
melahap buku-buku tebal penuh teori dan analisis. Pergelangan tangannya sudah
menghitam akibat sering mengetik di atas keyboard. Permasalahan apapun dalam
makalah tidak ada satupun yang tidak bisa dia lewati. Mungkin pencernaannya haus
dengan ilmu pengetahuan. Saat sakitpun entah kenapa hanya buku yang dapat
menolongnya. Buku adalah obat paling baik baginya.
Ben dulu sering sekali
mengajak Sueb untuk keluar dari kamarnya yang sudah tak terurus itu. Baik untuk
berkumpul dengan suatu organisasi atau sekedar melepas penat dengan pergi
mendaki gunung. Semua percuma saja. Sueb hanya ingin mempunyai satu tujuan
dalam hidupnya. Adalah menjadi mahasiswa paling pintar dan sukses.
Berkali-kali Ben
mengingatkan Sueb agar tidak terus-terusan berada di depan komputernya atau di
hadapan bukunya. Itu juga percuma tidak ada satu pun ucapan Ben yang hinggap di
pemikiran Sueb. Dengan nada bercanda, Ben mengatakan “Kesuksesan itu seperti
takdir, bahkan orang bodoh pun bisa menjadi sukses. Jangan terlalu lama
terhipnotis dengan buku. Aplikasikan segera ke dunia nyata. Lama-lama jika kau
tidak mendengar ucapanku, telingamu itu akan mengering dan membusuk. Setelah
itu, telingamu hanya akan bisa mendengar bunyi yang frekuensinya di bawah 20
Hz. Dengan kata lain, kau hanya bisa berbicara dengan bunyi yang frekuensinya
di bawah 20 Hz. Dan saat itu pula, aku tidak akan pernah mendengar ucapanmu.
Kau paham?”
“Kalimat itu terdengar
seperti kutukan. Tetapi tidak mungkin. Mana ada teori semacam itu. Kau gila!”
ucap Sueb yang matanya masih tetap terpaku dengan bukunya.
“Mmm.. Mungkin teori
itu tidak ada di dalam buku. Itu ada di dunia nyata.”
Sueb melirik tajam.
“Oke, aku yang gila.
Sekarang aku harus pulang. Sampai jumpa lagi. Kalau kau berubah pikiran,
datanglah padaku. Kita akan bersenang-senang sejenak.” Ben mendekatkan wajahnya
ke hadapan Sueb, “Sebelum terlambat.”
Setelah itu, Ben tidak
pernah lagi membujuk Sueb untuk keluar. Sueb hidup dengan kesendiriannya.
Melompat dari satu tempat ke tempat lain yang hanya ada buku di dalamnya. Lapar
dan dahaganya sudah terpenuhi hanya dengan membaca buku. Di tambah dengan
internet yang kini sebagai hidangan penutupnya. Sueb nyaris tak pernah
berbicara, mendengar, dan menatap orang lain.
Sampai pada suatu hari
ketika dia sedang memesan tiket kereta untuk pulang ke kampungnya, dia sudah
kehilangan suaranya. Petugas stasiun kebingungan melihat tingkah Sueb yang
hanya menggerak-gerakan mulutnya tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Sueb pun
langsung bergegas menaiki motornya untuk kembali pulang ke kostannya. Dia
mencari suaranya di dalam buku. Setiap halaman dibolak-balik dengan cepat.
Setelah tiga jam
berkutat dengan ratusan buku, dia kembali ke stasiun. Sama seperti penyakit
biasa yang menyerangnya, dia berharap membaca buku dapat mengembalikan suaranya
yang hilang. Petugas stasiun pun lagi-lagi terheran-heran saat mendapati mulut
Sueb yang bergerak tanpa menimbulkan suara. Sesudah berkali-kali pulang pergi
dari kostan ke stasiun, akhirnya petugas stasiun menyarankan Sueb untuk pergi
ke dokter. Namun Sueb menolak. Batinnya berkecamuk, “Ini pasti kutukan!”
“Kopi sudah datang.”
Ben terdiam heran mengamati Sueb yang sedang memandang cemin, “Ada apa?”
Sueb menerima kopi
pemberian Ben. Dengan tangan yang gemetar dan perasaan yang berat, Sueb
mengambil gelas dengan kopi panas hangat di dalamnya. Ia dekatkan kopi itu ke
hadapan cermin. Lalu, dia mengarahkan tangan kanannya dan mulai melukis
kata-kata di permukaan cermin yang sudah terkena uap. “Sudah terlambat,” itulah
tulisannya.
Ben terdiam cukup lama
dan mencoba memahami situasi. Kakinya mulai berjalan perlahan mendekati kursi
ruang tamu. Direbahkanlah tubuhnya itu sambil mengambil rokok di atas meja.
Dalam sekejap asap sudah mulai memadati ruang tamu.
“Aku tidak percaya. Aku
benar-benar telah mengutukmu.”
Malam itu menjadi lebih
pekat daripada malam yang sebelumnya. Sueb pun berusaha berteriak seakan
memanggil petir untuk bergemuruh. Tangannya berkali-kali menghantam cermin.
Mulut Sueb menganga terus-menerus namun Ben hanya dapat mendengar pecahan
cermin. Jika ada seseorang yang dapat melihat, hanya nyamuk yang menyingkir
dari tempat itu. Mungkin benar, Sueb hanya bisa bersuara dengan frekuensi di
bawah 20 Hz. Tidak lebih.
Ratapan Sueb tak pernah
berhenti hingga malam sudah berada di tengah bumi. Dia sibuk mencari tahu di
dalam buku. Suaranya tidak pernah ditemukan di dalamnya. Dia pun menjelajah ke
kamar Ben. Hasilnya sama saja. Tidak ada buku yang dapat membuat suaranya
kembali. Tubuhnya dibanting berkali-kali, kepalanya diremas, dan mulutnya
dipukuli hingga dia mulai kelelahan. Mulut Sueb menganga dan meronta-ronta di
hadapan Ben meminta belas kasih. Sementara itu, Ben hanya memandang lurus tanpa
berkedip seakan Sueb hanyalah hologram. Sesekali asap rokok yang mengepul
menahan air yang hendak jatuh dari matanya.
*****
Satu bulan setelah
malam itu, Ben terus mengajak Sueb untuk bercakap-cakap bersama. Terkadang Sueb
diajak untuk berkunjung ke dalam sebuah organisasi. Setidaknya usaha itu
mengalami perkembangan. Sueb mulai bisa tersenyum kembali meskipun masih
mengucapkan kalimat dengan terbata-bata.
Hanya saja, ketagihannya
membaca buku tidak dapat ditolerir lagi. Dia bahkan membiarkan lambungnya
kosong hanya untuk menghabiskan waktu bersama bukunya itu. Makanan yang
dibelikan Ben di warung depan pun hanya dijamah beberapa kali saja oleh Sueb.
Ben benar-benar tidak
menyangka kalau perkataannya itu benar. Rasa bersalah pun terkadang menyelimuti
mimpi buruknya. Meskipun dengan cara berkumpul dengan orang banyak sudah
menujukan kemajuan bagi Sueb, Ben merasa ada yang kurang dari semua usaha itu. Ben
akhirnya mengantarkan Sueb untuk pulang ke kampungnya. Siapa tahu dengan
mengajaknya pulang ada secercah harapan baru.
Sebelum berangkat, Ben
menukar buku-buku Sueb yang ada di dalam tasnya dengan pakaian tanpa diketahui
Sueb. Benar saja, selama perjalanan Sueb mengalami kegelisahan yang luar biasa
tanpa buku. Dia merasa sangat ketakutan. Dia tidak berani menatap orang di
sekitarnya. Sueb berkali-kali mengutuk sahabatnya itu di dalam hati. Hingga
akhirnya Sueb menghabiskan perjalanannya di dalam toilet kereta. Para penumpang
lain pun terpaksa menggunakan toilet lain untuk buang air setelah Ben
memberikan penjelasan pada mereka.
Langit sudah menjadi
jingga ketika Sueb sampai di kampungnya. Ben menyampaikan apa yang terjadi pada
kedua orang tua Sueb. Orang tuanya bergeming lemas tak berdaya.
“Ini bukan semata-mata
salahmu. Kamilah yang memulai. Kami bahkan tidak sempat melihat pertumbuhanmu,”
Ibunya Sueb kehilangan kata-katanya. Tangisannya meledak tanpa bisa dijinakan.
Sueb hanya menunduk di
hadapan orang tuanya dengan tatapan yang kebingungan. Ayahnya Sueb berusaha
melanjutkan perkataan istrinya itu, “Sejak SD kami sudah menyekolahkanmu di
luar kota. Kami yang berjuang di sini, dan kau berjuang di sana. Kami titipkan
kamu kepada Bibi Yati. Namun setelah beliau meninggal, kini kamu hidup sendiri.
Kami tidak bisa mengurusmu dan
mendidikmu. Kami memang orang tua yang tidak becus.”
“Maafkan Ibu, Sueb.”
Ibunya Sueb langsung memeluk tubuh Sueb. “Ibu tidak ingin hal ini terjadi
padamu. Jika saja ibu selalu ada di sampingmu, mungkin hal ini tidak akan pernah
terjadi. Bahkan menjadi bisu pun Ibu tidak tahu. Ibu menyesal. Ibu minta maaf.
Ibu merindukanmu, Sueb.”
“Aku juga merindukanmu,
Ibu.”
“Hah?” Ibunya Sueb
melepas pelukannya.
“Iya. Maksudku, maafkan
aku juga Ibu. Aku tidak bisa mengurus diriku sendiri. Aku bukanlah anak yang
baik.”
“Bukan itu. Bukan itu
maksud Ibu. Kamu bisa bicara lagi?”
“Hah?”
Surakarta, 17
September 2014
(Juara I Lomba Safik Saseru UNS 2014)