Oleh: Michelia Alba
“Mereka
rela mengantri sepanjang ini hanya untuk bunuh diri?” Badrun terkejut mendengar
penjelasan Suparman.
Sebelumnya
memang Badrun sempat curiga dengan kelakuan warga yang tiap minggu sekali
mengadakan sebuah acara tertutup namun ramai pengunjung. Acara tersebut
diadakan di tepi jurang dekat rumah Suparman. Setiap malam hari pasti tempat
itu ramai sekali dikunjungi orang. Tidak hanya orang dari dalam negeri, orang
luar negeri pun berdatangan ke tempat itu. Dan yang menariknya lagi ada papan
nama besar terpampang di atas pintu masuk tempat mengerikan itu. Tulisannya
“Surga”.
“Tempat
ini memang selalu ramai pengunjung. Dari berbagai desa, kota, negara juga
datang kemari untuk melakukan bunuh diri. Ada yang perorangan, ada yang masal,
ada juga yang membawa teman-temannya atau saudaranya untuk melakukan itu.”
“Gila!
Dunia ini memang kejam. Sudah gila orang-orang itu!”
“Pak,
siapa yang bisa melawan penyakit? Semua penyakit datang kapan saja. Termasuk
penyakit gila. Orang lagi tidur kemudian tiba-tiba rumahnya mendadak kebakaran.
Barang-barangnya ludes. Ketika iman sudah hilang, ya… mau bagaimana lagi? Gila
pun datang. Akhirnya orang itu gila mendadak. Dan saat gila seperti itu, apa
ada orang lain mau menolongnya? Orang lain malah justru menjauhinya, kan?”
“Tapi
pasti ada pilihan lain selain mati bunuh diri.”
“Ya,
itu kan pikiran kita yang masih waras. Saya juga bilang apa? Gila itu bisa
datang kapan saja. Ketika akal sudah hilang dan hati sudah meredup pikiran
kotor pun akan merasuk. Bunuh diri menjadi jalan pintas untuk mempercepat
datangnya kebahagiaan di surga kelak.”
“Surga
katamu? Mana mungkin ada surga apabila seorang itu mati dengan cara bunuh diri.
Omong kosong!”
“Yah,
Bapak ini. Namanya orang stress, bahkan namanya sendiri saja mungkin sudah
lupa. Bagaimana mungkin dia dapat mengingat pelajaran sekolah dasar tentang
surga dan neraka? Kita memang belum merasakan suasana seperti itu, jadi kita
tahu perasaan mereka. Kita hanya bisa membual tentang ini-itu tanpa mengerti
perasaan mereka. Kita ini manusia yang sok tahu. Merasa paling benar dan paling
tahu. Coba Bapak lihat di sana nanti. Sebuah perayaan besar-besaran hanya untuk
orang yang ingin cepat masuk surga. Betapa senangnya mereka untuk cepat-cepat
mengakhiri hidupnya. Bayangkan jika kita menghentikan kegembiraan itu. Kita
akan merasa bersalah, bukan?”
“Tapi
orang yang melakukan bunuh diri itu hanyalah orang pengecut. Yang hanya bisa
lari dari kenyataan.”
“Iya,
saya memang sudah tahu itu. Justru aksi bunuh diri itu adalah sebuah keberanian
yang luar biasa. Siapa yang berani menggorok lehernya sendiri? Terjun dari
ketinggian 1000 meter tanpa parasut? Selain mereka itu. Sebaiknya Bapak jangan
ceramahi saya. Karena saya juga sama seperti Bapak. Tidak suka dengan praktek
seperti ini. Karena saya masih waras. Seandainya saya sudah tidak waras mungkin
saya akan berpikiran seperti mereka yang ada di sana. Dan saat itu pula ceramah
Bapak itu sudah tidak berguna bagi saya.” Suparman memberhentikan sejenak
kata-katanya untuk menyalakan rokoknya. Kemudian melanjutkannya lagi. “Begini
saja, Bapak besok ikut saya ke tempat itu kalau Bapak penasaran. Nanti saya
bayar tiket masuknya.”
“Tiket
masuk?”
“Iyalah
Pak. Uang zaman sekarang itu lebih dari sekedar nilai tukar barang. Uang bahkan
bisa merajai otak orang-orang dungu. Termasuk pengelola tempat ini.”
“Jadi
mau mati saja harus bayar?”
“Lha
memang iya. Tanpa bunuh diri pun, mati kan
memang harus membayar segala macam untuk mengurus ini-itu. Dari mulai pemandian
jenazah, tahlilan, penguburan jenazah, kalau mau dipindahkan mayatnya harus
bayar lagi, dan kalau mau pakai formalin juga harus bayar lagi. Sama saja kan Pak?”
Badrun
mengistirahatkan mulutnya untuk sejenak. Pikirannya sudah mulai tak karuan
mendengar omong kosong Suparman. Jelas apa yang dikatakan Suparman itu hanya
akan didengar oleh orang dungu saja. Orang yang tidak berpendidikan atau tidak
beriman. Bagi Badrun orang-orang seperti itu memang sepantasnya masuk “surga”
dengan cara mengenaskan.
Badrun
pulang ke rumahnya dengan sisa-sisa kantuk yang dibawanya. Sebenarnya pulang ke
rumah hanya akan mengingatkannya pada anjing kurap yang sering kali
merengek-rengek bagai bayi yang meminta sebutir permen. Belum lagi petugas
kepolisian yang mungkin akan datang sewaktu-waktu. Entah kapan dan dimana. Yang
pasti, untuk saat ini, Badrun tidak boleh berada di kota sampai pengusutan
kasus pengedaran narkoba sudah dianggap tuntas. Setidaknya selama dia
bersembunyi di desa ini, namanya akan dianggap hilang.
Badrun
memang sempat mendekap di penjara bersama istrinya selama 6 bulan karena
terbukti bersalah mengedarkan narkoba di kalangan pejabat. Setelah dipotong
dengan hari raya dan hari libur dia dan istrinya pun dibebaskan. Tidak butuh
waktu lama untuk keluar dari penjara, karena memang dalam penjara pun mereka
masih tetap mengedarkan narkoba. Usaha narkoba itu berjalan lebih pesat
dibandingkan usaha di luar penjara. Sampai akhirnya Badrun mempunyai rumah
sendiri di sebuah desa dengan mobil sederhana yang terlihat mewah bagi orang
kampung sana. Maka dari itu, dia harus tetap bersembunyi agar tetap bisa
menghirup udara sebebas-bebasnya. Apalagi kini istrinya sedang hamil 4 bulan.
Harapan menuju masa depan yang indah ada di depan mata.
Keesokan
harinya saat senja mulai mewarnai langit, Badrun pergi menuju tempat yang orang
bilang “Surga” itu. Sedikit demi sedikit udara dan aroma masakan hilir mudik
memasuki penciumannya. Suasana pedesaan yang sejuk disertai aroma dedaunan yang
kering menyatu bersama embun pagi seperti mengingatkan kembali pada masa
kecilnya dahulu. Masa kecil tanpa dosa dan tanpa masalah. Entah apa yang
membuat desa ini seakan-akan menghipnotis Badrun menapaki tingkat ketenangan
yang tinggi. Benar-benar relaksasi yang sempurna.
“Selamat
sore, Pak Badrun!” sapa Suparman dengan semangat.
“Selamat
sore. Bagaimana? Kita langsung ke sana?”
“Mari…mari.
Saya antar.”
Puluhan
orang sudah memadati “Surga”. Antrian kali ini lumayan panjang. Ada yang hanya
sekedar menonton aksi bunuh diri. Ada pula peserta yang ingin mendaftar untuk
bunuh diri. Untung saja acara ini dibatasi usianya. Bayangkan saja kalau
anak-anak pun diikut sertakan dalam ajang ini. Generasi yang akan datang akan
sangat hancur.
“Selamat
sore, Pak! Bapak mau mati atau hidup?” ujar petugas loket.
“Apa?”
Badrun terkejut.
“Bapak
mau mati atau hidup?” ulang petugas loket.
“Mmm
Pak. Ini semacam kode. Kalau Bapak mau mati, berarti Bapak mendaftar untuk
menjadi peserta bunuh diri. Kalau Bapak mau hidup, berarti Bapak hanya sekedar
menonton saja.” Jelas Suparman.
“Oh
begitu. Ya sudah saya mau hidup saja.” ujar Badrun.
“Apa
tidak sekalian mati saja Pak? Kan malu kalau hanya sekedar menjadi penonton.”
“Maksud
Anda apa? Mau saya mati?”
“Maaf
Pak. Kami hanya bertugas melayani. Memang disini kan ajang untuk bunuh diri. Jadi saya hanya menawarkan Bapak saja.”
“Ya
sudah. Bayarnya berapa?”
“Dua
puluh ribu Pak”
“Ini,
saya yang bayar,” ujar Suparman sambil memberikan uang.
“Memangnya
kalau biaya untuk bunuh diri itu berapa, Mbak?” Badrun penasaran
“Bapak
mau mati?” tanya petugas loket.
“Bukaan!
Saya hanya bertanya saja. Siapa yang mau mati?”
“Tergantung
Pak. Bapak mau masuk surga yang mana? Kalau paling mahal surge firdaus.
Biayanya sekitar satu milyar.”
“Semahal
itu?”
“Kalau
yang gratis, Bapak bisa melakukannya di rumah sendiri. Tapi Bapak akan masuk
neraka seperti kata-kata orang. Mereka yang bunuh diri secara cuma-Cuma akan
masuk neraka. Bagaimana?”
Badrun
tidak menjawab pertanyaannya. Orang-orang di desa ini akan semakin aneh jika
omongannya ditanggapi. Lebih baik meninggalkan perkataan mereka yang tidak
jelas refrensinya itu.
Suara
gemuruh penonton semakin dahsyat ketika salah satu peserta memasuki arena
“kematiannya”. “Ayo! Tunggu apa lagi! Jangan biarkan surga menunggu lama!
Bidadari di sana menunggumu untuk kau permainkan!” teriak salah satu penonton
diiringi tawa yang liar.
Ada
delapan pintu masuk dengan tulisan yang berbeda. Firdaus, And, Na’im, Ma’wa,
Darusslam, Maqamah, Al Maqaamul Ammiin, dan Khuldi. Mungkin itu adalah sebuah
pertanda nama-nama surga. Bagi yang membayar paling tinggi maka dia akan
memasuki surga yang paling tinggi. Saat itu, salah satu peserta memasuki pintu
yang bernama Maqamah. Entah berapa bayaran yang harus dia bayar untuk mati di
tempat itu. Dia tampak ragu. Kakinya gemetar, keringatnya seperti mengepul di
seluruh badannya. Sorak sorai penonton semakin membuat wajahnya pucat.
“Astaga,
Imron?” ucap Suparman.
“Imron?”
“Dia
adalah salah satu orang yang tidak penah mau masuk ke dalam tempat ini.
Ternyata dia rapuh juga,” Suparman tertawa.
Tiba-tiba
teriakan menggelegar di arena “kematian”. Penonton bersorak bahagia. Badrun
yang baru saja bercakap dengan Suparman menoleh ke peserta yang tadi. Badrun
menyaksikan sendiri peserta itu lompat dan entah sekarang berada di mana.
Benar-benar mengerikan. Dia terduduk lemas seperti tak ada darah yang mau
mengalir. Jantung pun enggan memompa. Napas Badrun tersengal-sengal. Udara
semakin menipis.
Saat
Badrun mulai bisa bernapas, telepon genggamnya berdering. Dia mengangkatnya.
Suara isak tangis keluar dari dalam telepon genggam.
“Ada
apa?” Tanya Badrun. Dia tau persis itu adalah suara istrinya.
“Aku
tertangkap, Mas. Sekarang rumah kita disita oleh petugas kepolisian. Sekarang
aku sedang dalam perjalanan ke kantor polisi. Kamu juga dalam keadaan bahaya.
Hati-hati jangan sampai tertangkap! Karena…” pembicaraan terpotong oleh
kedatangan seseorang di hadapan Badrun.
Orang
itu langsung menyapa, “Selamat malam. Kami dari…”
Badrun
tidak mendengarkan kata-katanya. Badrun langsung lari terbirit-birit meninggalkan
orang itu.
“Jangan
bergerak!” dia petugas kepolisian setempat. Pistol pun diacungkan ke langit.
Suara tembakan membuat sorak-sorai penonton menjadi ricuh dan menyeramkan.
Penonton berhamburan keluar. Sementara itu, petugas kepolisian mengepung Badrun
dari segala arah. Ketika Badrun mendapatkan celah untuk berlari, kakinya malah
tertembak. Tangannya diborgol.
Namun
Badrun berontak dengan liarnya. Polisi tidak ada yang bisa menghentiannya
sekarang. Wajahnya merah seperti setan yang sedang mengamuk. Matanya tiba-tiba
menghitam. Penglihataan Badrun semakin kabur tapi tubuhnya mencabik-cabik ke
segala arah. Teriakan keras meluncur dari bibirnya. Semua orang tak ada lagi
yang berani mendekatinya. Kesadaran Badrun hilang tanpa kendali. Jiwanya
tertelan oleh gelapnya malam.
***
“Pak
Badrun sudah siuman?” kata perawat.
“Kok
saya bisa ada di rumah sakit?” tanya Badrun
“Munafik!”
ujar Suparman.
“Munafik
apanya?” tanya Badrun
Petugas
loket yang kemarin masuk ke ruangan. Dia mengeluarkan secarik kertas. “Bapak
Badrun sudah sadar ya? Kemarin itu Bapak masuk Surga Firdaus tapi Bapak belum
bayar tiket. Semuanya jadi satu miliyar rupiah. Berhubung Bapak masih hidup,
kami ada garansi kok Pak. Jadi, Bapak
bisa melakukan bunuh diri lagi secara gratis. Bapak mau?”
Badrun
meninggal. Padahal belum bayar tiket masuk.
Surakarta,
24 November 2014
(Pernah dimuat di Koran Solopos Edisi Minggu, 8 Februari 2015)