Jumat, 13 Juni 2014

Malaikat dalam Kereta


Oleh: Michelia Alba

Kereta membelah angin sejak lima belas menit yang lalu. Sekilas mata Dia bergerak ke arah jendela. Dia melihat asap yang melesit bagai roket dari balik semak-semak. Aroma pembakaran menyusup melalui celah pintu kereta yang sedikit terbuka. Belum sempat Dia mengaggumi gunung yang terlihat biru di tempat yang jauh, Dia mendengar suara tiga pengamen yang menengking. Rupanya mereka meminta upah atas nyanyiannya dengan paksaan. Bahkan setelah tiga pengamen itu bergerak melangkah lagi, mereka menegur penumpang yang berpura-pura tertidur.
Dia hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala. “Betapa indahnya negeri ini. Tumbuh dengan liarnya hingga perasaan serba salah kerap kali muncul. Aku tidak tahu sekarang mana yang dermawan, mana yang serakah, mana yang kaya, dan mana yang miskin,” ungkapnya dalam hati.
Sedetik kemudian tembang asmarandana mengalun mesra di ponsel seseorang. “Ternyata masih ada cinta terhadap negeri ini,” gumam Dia di dalam hatinya yang sering sekali berbisik. Dia kembali menerawang jendela dengan saksama. Alam dibalik jendela bergerak semakin cepat menjauh dari ekor kereta. Para petani sedang berusaha mengendalikan keseran sambil tersengat matahari yang pedas. Sekarang bukan masalah alam lagi yang Dia pikirkan. Dia hanya berpikir apakah warga di negeri ini tidak ada lagi yang mau menjadi petani? Apakah tidak ada lagi yang mau menjadi nelayan? Mereka menganggap pekerjaan itu adalah pekerjaan yang hina. Hingga pemerintah lebih baik menerima beras dan ikan dari luar negeri dari pada menyuruh para warganya menghasilkan produk dalam negeri. Ini semacam negeri yang berpura-pura kaya.
Sampailah Dia di stasiun pertama. Masih dengan tatapan dibalik jendela. Selintas dari ujung yang sulit terlihat, seseorang terjatuh dengan sangat berat. Suaranya memang tidak terdengar tapi mimik orang tersebut mengaduh. Namun, seperti biasa orang di sekelilingnya hanya melihat dengan sinis. Sebagian orang hanya membuka mulutnya karena kaget, kemudian menutupnya kembali dengan tangan. Orang yang baru saja terjatuh mulai berdiri sambil mengesom kain bajunya. Pantas saja dia terjatuh, kakinya hanya satu. Kini dia berjalan sambil meloncat-loncat.
Dia tiba-tiba berbisik sendiri melalui hatinya yang cerewet, “Alangkah indah negeri ini. Penuh dengan semangat gotong royong. Di saat orang sedang terjatuh orang-orang sangat peduli terhadapnya. Menoleh dengan rasa khawatir yang tinggi. Dan mereka anggap itu saja sudah cukup menjadi suatu bentuk kepedulian. Luar biasa.”
Mata Dia menengok ke sebelah kanan, ke arah kursi samping. Seorang ibu ingin duduk di kursi tersebut dengan barang-barang yang  serba repot. Namun, seperti biasa kelima orang yang telah lama duduk di kursi hanya terfokus dengan ponsel yang mereka pegang. Mereka sedikit menoleh ke hadapan ibu yang sedang kerepotan, kemudian kembali sibuk dengan ponselnya. “Oh tidak, alangkah indahnya hidup ini jika sudah beranjak dewasa. Tinggal terfokus dengan ponsel, hidup akan menjadi lebih bahagia. Suatu saat nanti mungkin aku akan menjadi mereka,” ungkapnya dalam hati.
Sinar matahari masih menerawang bumi. Cahayanya menembus atmosfer lantas meresap melalui kulit kereta. Lampu kereta dinyalakan karena kereta hendak menerobos gelapnya terowongan. Bau freon mulai menghilang dengan suhunya yang dingin. Kini suhu menaik hingga kisaran dua puluh derajat celcius. Seorang bapak tua di hadapan Dia mulai membuka jaket kulitnya karena merasa keringatnya sudah lengket merekat bersama jaketnya. Kereta pun berjalan lagi dengan suara gemuruh di bawah kereta.
Teriakan bayi tiba-tiba menggema di dalam kereta. Dia sepertinya tahu alasan bayi itu menangis. Dia tau perasaan bayi yang baru saja menangis itu. Adalah ulah seorang bapak yang menggunakan sarung menyilang di tubuhnya.
“Pak, kumaha sih[1] Pak? Yeuh[2] liat itu AC nya teu[3] jalan. Coba dibetulkan dulu. Saya kan sudah bayar disini. Harapan saya itu mendapatkan fasilitas yang memuaskan. Ini mana? Malah saya kepanasan,” Bapak yang menggunakan sarung itu marah-marah terhadap orang yang berseragam hitam.
“Iya Pak. Bapak sabar dulu. Ini saya akan coba tanyakan dulu pada teknisinya,” orang yang berseragam hitam itu menjawab.
“Sabar? Sabar? Sabar apanya? Geus lila yeuh[4], Pak. Rasanya seperti dipanggang.”
“Iya Pak. Saya juga tahu.
“Kalau tahu cepat dong dibetulkan. Inisiatif! Betulkan Pak?” Bapak itu mencoba mencari simpatisan yang mendukung suaranya sambil menoleh ke sampingnya.
“Iya benar! Saya pikir harga naik, kualitas pun naik. Ternyata sama saja. Saya kecewa,” kata orang sebelahnya.
“Cepat Pak, saya sudah tidak tahan!” ucap seorang wanita di hadapan Bapak yang menggunakan sarung itu.
Tampaknya suasana kereta akan semakin memanas ketika semua orang sudah rusuh dengan kata-kata pedasnya. Ditambah lagi orang yang berseragam hitam berdatangan untuk membela rekannya. “Masalah semakin besar ketika seseorang tak mau bersabar. Situasi semakin parah ketika orang mulai marah. Bentuk protes sepertinya tidak terlalu bermanfaat disini. Seharusnya mereka yang protes melihat situasi dari berbagai sudut pandang. Ini adalah hari pertama semua kereta menggunakan AC. Perbaikan demi perbaikan pun perlu dilakukan.
Orang-orang seharusnya dewasa untuk mengambil sikap. Tidak hanya protes dan mengambil langkah sembrono. Tentu saja pekerjaan seseorang untuk menaruh AC di dalam kereta tidaklah mudah. Namun, sering kali mereka yang protes tidak berpikir sebelumnya. Mulut mereka seakan membesar secara tiba-tiba sehingga memperkecil volume otaknya,” ucap Dia masih di dalam hatinya. Dia bergegas menengok langit yang biru dibalik jendela daripada mempedulikan orang-orang yang kian berisik. Hatinya bersuara lagi, “Betapa indahnya langit itu. Ingin aku segera dewasa agar dapat mengukurnya dengan sianometer.”
Akhirnya kereta berada dalam kegelapan terowongan. Dia tidak lagi menatap jendela yang berwarna kelam. Sebagian orang menutup hidungnya dengan tangan karena asap kereta yang dipantulkan dari terowongan masuk melalui celah-celah kosong dalam kereta. Sebagian lagi hanya terfokus pada lamunan seakan tidak mempunyai hidung. Sebagian lagi pulas dalam mimpinya masing-masing.
Kereta berhenti di setasiun berikutnya. Seorang ibu dengan baju serba putih duduk di samping ibu Dia. Tatapannya sibuk dengan barang-barang yang dibawanya. Tangannya ikut bergerak-gerak menaruh barang di tempat yang tepat.
“Ibu mau ke mana?” tanya ibu itu kepada ibu Dia
“Saya mau ke Bandung.”
“Oh gitu. Anaknya usianya berapa tahun?”
“Tiga bulan.”
“Oh lucu sekali. Namanya siapa?”
“Namanya Dia.”
Dia membalas senyum ibu itu dengan ramah. Hanya itu yang bisa Dia lakukan. Dia hanya terdiam ketika seseorang berada dalam masalah. Tubuhnya tidak kuasa untuk menolong orang-orang yang membutuhkan. Namun hatinya tetap bergerak, bergrilya, dan beradu dalam percakapan batin. Tidak ada yang mengetahui memang, namun itu sudah cukup berarti bagi makhluk Tuhan yang baru saja sampai di bumi dari dua bulan yang lalu.
Dia adalah orang yang sebenarnya paling membutuhkan di bumi ini. “Aku tidak punya uang, tidak punya kaki dan tangan untuk bergerak, tidak punya mulut untuk berbicara, tidak punya tempat tinggal, dan tidak punya pemikiran terhadap masa depan. Aku tidak berbeda dengan orang-orang di luar sana yang mengaku mempunyai banyak kekurangan dan sangat membutuhkan. Perbedaannya hanyalah satu. Pemikiran. Aku baru hadir di bumi ini dengan sejuta pertanyaan di dalam pikirannya. Pemahamanku belum mapan sehingga malaikat selalu mengelilingi pikiranku. Lantas mengapa orang lain di bumi ini yang mempunyai banyak kelebihan daripada aku pandai mengeluh?” ucapnya dalam hati. 


Bandung-Solo, 5 Mei 2014


[1] Kumaha sih = Bagaimana sih
[2] Yeuh = Ini
[3] Teu = Tidak
[4] Geus lila yeuh = Sudah lama ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar