Oleh: Michelia Alba
Kereta membelah angin
sejak lima belas menit yang lalu. Sekilas mata Dia bergerak ke arah jendela.
Dia melihat asap yang melesit bagai roket dari balik semak-semak. Aroma
pembakaran menyusup melalui celah pintu kereta yang sedikit terbuka. Belum
sempat Dia mengaggumi gunung yang terlihat biru di tempat yang jauh, Dia
mendengar suara tiga pengamen yang menengking. Rupanya mereka meminta upah atas
nyanyiannya dengan paksaan. Bahkan setelah tiga pengamen itu bergerak melangkah
lagi, mereka menegur penumpang yang berpura-pura tertidur.
Dia hanya tersenyum
sambil geleng-geleng kepala. “Betapa indahnya negeri ini. Tumbuh dengan liarnya
hingga perasaan serba salah kerap kali muncul. Aku tidak tahu sekarang mana
yang dermawan, mana yang serakah, mana yang kaya, dan mana yang miskin,”
ungkapnya dalam hati.
Sedetik kemudian
tembang asmarandana mengalun mesra di ponsel seseorang. “Ternyata masih ada
cinta terhadap negeri ini,” gumam Dia di dalam hatinya yang sering sekali
berbisik. Dia kembali menerawang jendela dengan saksama. Alam dibalik jendela bergerak
semakin cepat menjauh dari ekor kereta. Para petani sedang berusaha
mengendalikan keseran sambil tersengat matahari yang pedas. Sekarang bukan
masalah alam lagi yang Dia pikirkan. Dia hanya berpikir apakah warga di negeri
ini tidak ada lagi yang mau menjadi petani? Apakah tidak ada lagi yang mau
menjadi nelayan? Mereka menganggap pekerjaan itu adalah pekerjaan yang hina.
Hingga pemerintah lebih baik menerima beras dan ikan dari luar negeri dari pada
menyuruh para warganya menghasilkan produk dalam negeri. Ini semacam negeri
yang berpura-pura kaya.
Sampailah Dia di stasiun
pertama. Masih dengan tatapan dibalik jendela. Selintas dari ujung yang sulit
terlihat, seseorang terjatuh dengan sangat berat. Suaranya memang tidak terdengar
tapi mimik orang tersebut mengaduh. Namun, seperti biasa orang di sekelilingnya
hanya melihat dengan sinis. Sebagian orang hanya membuka mulutnya karena kaget,
kemudian menutupnya kembali dengan tangan. Orang yang baru saja terjatuh mulai
berdiri sambil mengesom kain bajunya. Pantas saja dia terjatuh, kakinya hanya
satu. Kini dia berjalan sambil meloncat-loncat.
Dia tiba-tiba berbisik
sendiri melalui hatinya yang cerewet, “Alangkah indah negeri ini. Penuh dengan
semangat gotong royong. Di saat orang sedang terjatuh orang-orang sangat peduli
terhadapnya. Menoleh dengan rasa khawatir yang tinggi. Dan mereka anggap itu
saja sudah cukup menjadi suatu bentuk kepedulian. Luar biasa.”
Mata Dia menengok ke
sebelah kanan, ke arah kursi samping. Seorang ibu ingin duduk di kursi tersebut
dengan barang-barang yang serba repot.
Namun, seperti biasa kelima orang yang telah lama duduk di kursi hanya terfokus
dengan ponsel yang mereka pegang. Mereka sedikit menoleh ke hadapan ibu yang
sedang kerepotan, kemudian kembali sibuk dengan ponselnya. “Oh tidak, alangkah
indahnya hidup ini jika sudah beranjak dewasa. Tinggal terfokus dengan ponsel,
hidup akan menjadi lebih bahagia. Suatu saat nanti mungkin aku akan menjadi
mereka,” ungkapnya dalam hati.
Sinar matahari masih
menerawang bumi. Cahayanya menembus atmosfer lantas meresap melalui kulit
kereta. Lampu kereta dinyalakan karena kereta hendak menerobos gelapnya
terowongan. Bau freon mulai menghilang dengan suhunya yang dingin. Kini suhu
menaik hingga kisaran dua puluh derajat celcius. Seorang bapak tua di hadapan
Dia mulai membuka jaket kulitnya karena merasa keringatnya sudah lengket
merekat bersama jaketnya. Kereta pun berjalan lagi dengan suara gemuruh di
bawah kereta.
Teriakan bayi tiba-tiba
menggema di dalam kereta. Dia sepertinya tahu alasan bayi itu menangis. Dia tau
perasaan bayi yang baru saja menangis itu. Adalah ulah seorang bapak yang
menggunakan sarung menyilang di tubuhnya.
“Pak, kumaha sih[1]
Pak? Yeuh[2]
liat itu AC nya teu[3]
jalan. Coba dibetulkan dulu. Saya kan sudah bayar disini. Harapan saya itu
mendapatkan fasilitas yang memuaskan. Ini mana? Malah saya kepanasan,” Bapak
yang menggunakan sarung itu marah-marah terhadap orang yang berseragam hitam.
“Iya Pak. Bapak sabar
dulu. Ini saya akan coba tanyakan dulu pada teknisinya,” orang yang berseragam hitam
itu menjawab.
“Sabar? Sabar? Sabar
apanya? Geus lila yeuh[4],
Pak. Rasanya seperti dipanggang.”
“Iya Pak. Saya juga
tahu.
“Kalau tahu cepat dong
dibetulkan. Inisiatif! Betulkan Pak?” Bapak itu mencoba mencari simpatisan yang
mendukung suaranya sambil menoleh ke sampingnya.
“Iya benar! Saya pikir
harga naik, kualitas pun naik. Ternyata sama saja. Saya kecewa,” kata orang
sebelahnya.
“Cepat Pak, saya sudah
tidak tahan!” ucap seorang wanita di hadapan Bapak yang menggunakan sarung itu.
Tampaknya suasana
kereta akan semakin memanas ketika semua orang sudah rusuh dengan kata-kata
pedasnya. Ditambah lagi orang yang berseragam hitam berdatangan untuk membela
rekannya. “Masalah semakin besar ketika seseorang tak mau bersabar. Situasi
semakin parah ketika orang mulai marah. Bentuk protes sepertinya tidak terlalu
bermanfaat disini. Seharusnya mereka yang protes melihat situasi dari berbagai
sudut pandang. Ini adalah hari pertama semua kereta menggunakan AC. Perbaikan
demi perbaikan pun perlu dilakukan.
Orang-orang seharusnya
dewasa untuk mengambil sikap. Tidak hanya protes dan mengambil langkah
sembrono. Tentu saja pekerjaan seseorang untuk menaruh AC di dalam kereta
tidaklah mudah. Namun, sering kali mereka yang protes tidak berpikir
sebelumnya. Mulut mereka seakan membesar secara tiba-tiba sehingga memperkecil
volume otaknya,” ucap Dia masih di dalam hatinya. Dia bergegas menengok langit
yang biru dibalik jendela daripada mempedulikan orang-orang yang kian berisik. Hatinya
bersuara lagi, “Betapa indahnya langit itu. Ingin aku segera dewasa agar dapat
mengukurnya dengan sianometer.”
Akhirnya kereta berada
dalam kegelapan terowongan. Dia tidak lagi menatap jendela yang berwarna kelam.
Sebagian orang menutup hidungnya dengan tangan karena asap kereta yang
dipantulkan dari terowongan masuk melalui celah-celah kosong dalam kereta.
Sebagian lagi hanya terfokus pada lamunan seakan tidak mempunyai hidung. Sebagian
lagi pulas dalam mimpinya masing-masing.
Kereta berhenti di
setasiun berikutnya. Seorang ibu dengan baju serba putih duduk di samping ibu
Dia. Tatapannya sibuk dengan barang-barang yang dibawanya. Tangannya ikut
bergerak-gerak menaruh barang di tempat yang tepat.
“Ibu mau ke mana?”
tanya ibu itu kepada ibu Dia
“Saya mau ke Bandung.”
“Oh gitu. Anaknya
usianya berapa tahun?”
“Tiga bulan.”
“Oh lucu sekali.
Namanya siapa?”
“Namanya Dia.”
Dia membalas senyum ibu
itu dengan ramah. Hanya itu yang bisa Dia lakukan. Dia hanya terdiam ketika
seseorang berada dalam masalah. Tubuhnya tidak kuasa untuk menolong orang-orang
yang membutuhkan. Namun hatinya tetap bergerak, bergrilya, dan beradu dalam
percakapan batin. Tidak ada yang mengetahui memang, namun itu sudah cukup
berarti bagi makhluk Tuhan yang baru saja sampai di bumi dari dua bulan yang
lalu.
Dia adalah orang yang
sebenarnya paling membutuhkan di bumi ini. “Aku tidak punya uang, tidak punya
kaki dan tangan untuk bergerak, tidak punya mulut untuk berbicara, tidak punya
tempat tinggal, dan tidak punya pemikiran terhadap masa depan. Aku tidak
berbeda dengan orang-orang di luar sana yang mengaku mempunyai banyak
kekurangan dan sangat membutuhkan. Perbedaannya hanyalah satu. Pemikiran. Aku
baru hadir di bumi ini dengan sejuta pertanyaan di dalam pikirannya.
Pemahamanku belum mapan sehingga malaikat selalu mengelilingi pikiranku. Lantas
mengapa orang lain di bumi ini yang mempunyai banyak kelebihan daripada aku
pandai mengeluh?” ucapnya dalam hati.
Bandung-Solo, 5
Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar